Tentunya permasalahan itu tidak
hanya menyangkut masalah umat secara keseluruhan tetapi juga
permasalahan kader dakwah perlu diperhatikan. Karena tidak dapat
dipungkiri bahwa semakin berkembangnya jumlah kader maka permasalahan
internal pun menjadi semakin kompleks.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa dakwah ini ibarat sebuah pohon, ranting atau daunnya adalah kader. Maka wajar jika ada daun yang berguguran, kader dakwah pun ada saja yang berguguran. Tetapi akan menjadi permasalahan jika banyak kader dakwah yang berguguran, maka bagaimanakah nasib pohon yang sebagian besar daunnya berguguran (jangan bayangkan pohon jati). Bukankah sebagai kader dakwah harus yakin bahwa kemenangan pasti semakin dekat. Lalu mengapa para kader masih mewajarkan jika ada kader dakwah yang berguguran sedangkan kemaksiatan masih merajalela.
Jika ditelusuri alas an para aktivis dakwah yang sempat mencicipi nikmatnya perjuangan lebih memilih mundur dari barisan dakwah adalah karena satu kata “kecewa”, Masyaa Allah. Alasan mengapa mereka kecewa sangatlah beragam, ada yang kecewa karena tidak siap mental menghadapi amanah, ada yang kecewa karena kader yang lain, ada yang kecewa karena murabbi, ada juga yang kecewa karena keputusan para qiyadah atau karena fitnah-fitnah yang diluncurkan para musuh.
Sudah menjadi sunnatullah ada kader yang berguguran karena Allah akan menggantikan kader yang lebih baik dan lebih banyak. Tetapi apakah Rasulullah membiarkan begitu saja para penerus Risalahnya melangkah mundur ke belakang meninggalkan barisan. Tentunya Rasulullah selalu berusaha merangkul para sahabat, keluarga, dan umatnya agar senantiasa menegakkan kalimatullah.
Begitu juga seharusnya yang dilakukan oleh para kader dakwah. Seringkali kader dakwah yang bisa bertahan membiarkan kader dakwah yang lain terjerumus pada kekecewaan. Bahkan lebih menyalahkan kader yang memilih mundur daripada berusaha merangkul kembali. Kesalahan akan banyak dilimpahkan kepada kader yang gugur karena terkait niatnya sudah terkontaminasi, terbawa oleh lingkungan, lebih berharap kepada manusia daripada kepada Allah sehingga menimbulkan kekecewaan, atau karena kesalahan lainnya. Kita sebagai kader dakwah yang bisa bertahan dalam barisan seharusnya bisa memandang objektif permasalahan saudara kita. Jika memang bergugurannya para kader adalah lebih dikarenakan masalah pribadi seharusnya kita bisa memandang masalah ini dari kacamata mereka yang berguguran. Karena boleh jadi kita sebagai kader yang bisa bertahan telah banyak mengecewakan kader lain sehingga lebih memilih mundur dari barisan.
Beberapa kejadian kader dakwah yang bisa bertahan lebih memilih membiarkan kader mundur karena tidak bisa memposisikan diri sebagai kader yang mundur dan lebih menyalahkan kemundurannya adalah karena kesalahannya sendiri. Padahal jika direnungkan kembali akan banyak sisi lain yang masih bisa dan harus dibenahi atau diperbaiki. Jika ada kata “kecewa” maka pasti ada sebab yang mengawalinya. Dari kata “kecewa” maka pasti ada yang mengecewakan dan dikecewakan. Oleh karena itu, kita akan mencoba memandang masalah ini bukan dari sisi orang yang merasa dikecewakan, tetapi mencoba lebih memandang sisi hal atau orang yang mengecewakan. Karena hal ini bisa menjadi bahan evaluasi bagi kader yang bertahan dengan tidak bermaksud mengecewakan.
Kita ketahui bahwa banyak kader yang berguguran karena berbagai alasan yang pada intinya lebih karena kata “kecewa”. Tetapi sejauh ini kita belum berusaha menggali lebih dalam tentang kemungkinan keterlibatan kita yang membuat mereka kecewa. Karena kemungkinan kita telah mengecewakan mereka yang telah memilih mundur. Hal ini lebih sering terjadi karena kelalaian kita menghalau diri dari sifat ujub atau sombong.
Kemungkinan yang membuat orang lain kecewa adalah masih terselipnya ujub di hati kita. Kecewa karena amanah, mungkin kita kurang peduli dengan beban yang ditanggung saudara kita, bahkan lebih sering merasa bahwa amanah yang ditanggung sendiri lebih berat sehingga kita membiarkan saudara kita gugur dalam barisan karena tidak sanggup memikul amanahnya. Bukankah ini berarti sifat ujub terselip disela menjalankan amanah seolah kita adalah orang yang paling banyak amanah, padahal hanya sebatas eksistensi bahkan mengabaikan peran saudara. Padahal amanah tidak hanya lingkup formal tetapi juga terkait peran.
Kecewa karena murabbi, ketika mengisi pekanan, mungkin masih sering merasa bahwa ilmu atau pengalaman yang dimiliki jauh lebih banyak dari binaan sehingga mengabaikan kemampuan dan pengalaman mereka sehingga tanpa kita sadari kita telah banyak mengecewakan binaan kita. Kita bisa belajar dari para murabbi kita dalam hal membina, belajar tentang tawadhu, kesungguhan, keikhlasan dan kesabaran mereka yang berhasil mendidik kita.
Kecewa karena kader, ketika bertemu dengan saudara kita, mungkin masih terselip sifat ujub dengan merasa paling shalih/ah, paling banyak melakukan amal shalih, paling banyak hafalan, sudah lebih senior, paling rajin menghadiri kajian sedangkan mengabaikan kebaikan dari saudara kita yang lain. Sifat ujub itu bukannya membawa saudara kita (apalagi yang belum paham) kepada saling berlomba-lomba dalam kebaikan tetapi malah justru membuat minder saudara kita yang pada akhirnya lebih memilih menjauh karena merasa tidak bisa dan tidak mampu. Pada intinya mengeksklusifkan diri merupakan bagian dari sifat ujub terlepas kader mudah membaur atau tidak.
Kader yang kecewa karena keputusan jama’ah sering kali disebabkan ketidakpahaman mereka tentang struktur dakwah. Tetapi yang menjadi permasalahan bagi kita adalah kurang mampunya kita sebagai kader dakwah dalam menjelaskan secara logika dan keamniahan dengan sistematis. Bahkan diskusi terkait dengan keputusan jama’ah sering dilengkapi dengan su’uzhan dan ghibah. Hal inilah yang biasanya memicu kader untuk mundur dari barisan.
Sedangkan untuk fitnah-fitnah tentu menjadi faktor luar yang akan terus-menerus menyerang. Maka sebagai kader dakwah kita pun harus mempersiapkan diri dengan system imun yang luar biasa. Sistem imun tersebut haruslah bisa menyokong kebutuhan ruhiyah, fikriyah dan jasmaniyah.
Jika ada kader dakwah yang mundur dalam barisan, tak perlu lagi kita katakan “mengapa kau keluar dari lingkaranmu dan mundur dari barisan ini?”. Tapi katakanlah “bagaimana kami bisa mengajakmu kembali pada kenikmatan berdakwah dan memperbaiki cara kami dalam meneruskan perjuangan Rasulullah?”
Seringkali justru kita merasa sungkan untuk merangkul kembali para kader dakwah yang mundur dalam barisan. Padahal mereka sedang menanti dan mengharapkan rangkulan dari kita. Mereka masih merindukan masa-masa saat berjuang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Mari kita ajak kembali mereka dengan mengawalinya melalui cara sederhana yakni dengan menanyakan kabar, mendengar curhatnya, bertukar pikiran, dan mendoakan mereka serta menyertakan wajah-wajah mereka dalam lantunan doa rabithah.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa dakwah ini ibarat sebuah pohon, ranting atau daunnya adalah kader. Maka wajar jika ada daun yang berguguran, kader dakwah pun ada saja yang berguguran. Tetapi akan menjadi permasalahan jika banyak kader dakwah yang berguguran, maka bagaimanakah nasib pohon yang sebagian besar daunnya berguguran (jangan bayangkan pohon jati). Bukankah sebagai kader dakwah harus yakin bahwa kemenangan pasti semakin dekat. Lalu mengapa para kader masih mewajarkan jika ada kader dakwah yang berguguran sedangkan kemaksiatan masih merajalela.
Jika ditelusuri alas an para aktivis dakwah yang sempat mencicipi nikmatnya perjuangan lebih memilih mundur dari barisan dakwah adalah karena satu kata “kecewa”, Masyaa Allah. Alasan mengapa mereka kecewa sangatlah beragam, ada yang kecewa karena tidak siap mental menghadapi amanah, ada yang kecewa karena kader yang lain, ada yang kecewa karena murabbi, ada juga yang kecewa karena keputusan para qiyadah atau karena fitnah-fitnah yang diluncurkan para musuh.
Sudah menjadi sunnatullah ada kader yang berguguran karena Allah akan menggantikan kader yang lebih baik dan lebih banyak. Tetapi apakah Rasulullah membiarkan begitu saja para penerus Risalahnya melangkah mundur ke belakang meninggalkan barisan. Tentunya Rasulullah selalu berusaha merangkul para sahabat, keluarga, dan umatnya agar senantiasa menegakkan kalimatullah.
Begitu juga seharusnya yang dilakukan oleh para kader dakwah. Seringkali kader dakwah yang bisa bertahan membiarkan kader dakwah yang lain terjerumus pada kekecewaan. Bahkan lebih menyalahkan kader yang memilih mundur daripada berusaha merangkul kembali. Kesalahan akan banyak dilimpahkan kepada kader yang gugur karena terkait niatnya sudah terkontaminasi, terbawa oleh lingkungan, lebih berharap kepada manusia daripada kepada Allah sehingga menimbulkan kekecewaan, atau karena kesalahan lainnya. Kita sebagai kader dakwah yang bisa bertahan dalam barisan seharusnya bisa memandang objektif permasalahan saudara kita. Jika memang bergugurannya para kader adalah lebih dikarenakan masalah pribadi seharusnya kita bisa memandang masalah ini dari kacamata mereka yang berguguran. Karena boleh jadi kita sebagai kader yang bisa bertahan telah banyak mengecewakan kader lain sehingga lebih memilih mundur dari barisan.
Beberapa kejadian kader dakwah yang bisa bertahan lebih memilih membiarkan kader mundur karena tidak bisa memposisikan diri sebagai kader yang mundur dan lebih menyalahkan kemundurannya adalah karena kesalahannya sendiri. Padahal jika direnungkan kembali akan banyak sisi lain yang masih bisa dan harus dibenahi atau diperbaiki. Jika ada kata “kecewa” maka pasti ada sebab yang mengawalinya. Dari kata “kecewa” maka pasti ada yang mengecewakan dan dikecewakan. Oleh karena itu, kita akan mencoba memandang masalah ini bukan dari sisi orang yang merasa dikecewakan, tetapi mencoba lebih memandang sisi hal atau orang yang mengecewakan. Karena hal ini bisa menjadi bahan evaluasi bagi kader yang bertahan dengan tidak bermaksud mengecewakan.
Kita ketahui bahwa banyak kader yang berguguran karena berbagai alasan yang pada intinya lebih karena kata “kecewa”. Tetapi sejauh ini kita belum berusaha menggali lebih dalam tentang kemungkinan keterlibatan kita yang membuat mereka kecewa. Karena kemungkinan kita telah mengecewakan mereka yang telah memilih mundur. Hal ini lebih sering terjadi karena kelalaian kita menghalau diri dari sifat ujub atau sombong.
Kemungkinan yang membuat orang lain kecewa adalah masih terselipnya ujub di hati kita. Kecewa karena amanah, mungkin kita kurang peduli dengan beban yang ditanggung saudara kita, bahkan lebih sering merasa bahwa amanah yang ditanggung sendiri lebih berat sehingga kita membiarkan saudara kita gugur dalam barisan karena tidak sanggup memikul amanahnya. Bukankah ini berarti sifat ujub terselip disela menjalankan amanah seolah kita adalah orang yang paling banyak amanah, padahal hanya sebatas eksistensi bahkan mengabaikan peran saudara. Padahal amanah tidak hanya lingkup formal tetapi juga terkait peran.
Kecewa karena murabbi, ketika mengisi pekanan, mungkin masih sering merasa bahwa ilmu atau pengalaman yang dimiliki jauh lebih banyak dari binaan sehingga mengabaikan kemampuan dan pengalaman mereka sehingga tanpa kita sadari kita telah banyak mengecewakan binaan kita. Kita bisa belajar dari para murabbi kita dalam hal membina, belajar tentang tawadhu, kesungguhan, keikhlasan dan kesabaran mereka yang berhasil mendidik kita.
Kecewa karena kader, ketika bertemu dengan saudara kita, mungkin masih terselip sifat ujub dengan merasa paling shalih/ah, paling banyak melakukan amal shalih, paling banyak hafalan, sudah lebih senior, paling rajin menghadiri kajian sedangkan mengabaikan kebaikan dari saudara kita yang lain. Sifat ujub itu bukannya membawa saudara kita (apalagi yang belum paham) kepada saling berlomba-lomba dalam kebaikan tetapi malah justru membuat minder saudara kita yang pada akhirnya lebih memilih menjauh karena merasa tidak bisa dan tidak mampu. Pada intinya mengeksklusifkan diri merupakan bagian dari sifat ujub terlepas kader mudah membaur atau tidak.
Kader yang kecewa karena keputusan jama’ah sering kali disebabkan ketidakpahaman mereka tentang struktur dakwah. Tetapi yang menjadi permasalahan bagi kita adalah kurang mampunya kita sebagai kader dakwah dalam menjelaskan secara logika dan keamniahan dengan sistematis. Bahkan diskusi terkait dengan keputusan jama’ah sering dilengkapi dengan su’uzhan dan ghibah. Hal inilah yang biasanya memicu kader untuk mundur dari barisan.
Sedangkan untuk fitnah-fitnah tentu menjadi faktor luar yang akan terus-menerus menyerang. Maka sebagai kader dakwah kita pun harus mempersiapkan diri dengan system imun yang luar biasa. Sistem imun tersebut haruslah bisa menyokong kebutuhan ruhiyah, fikriyah dan jasmaniyah.
Jika ada kader dakwah yang mundur dalam barisan, tak perlu lagi kita katakan “mengapa kau keluar dari lingkaranmu dan mundur dari barisan ini?”. Tapi katakanlah “bagaimana kami bisa mengajakmu kembali pada kenikmatan berdakwah dan memperbaiki cara kami dalam meneruskan perjuangan Rasulullah?”
Seringkali justru kita merasa sungkan untuk merangkul kembali para kader dakwah yang mundur dalam barisan. Padahal mereka sedang menanti dan mengharapkan rangkulan dari kita. Mereka masih merindukan masa-masa saat berjuang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Mari kita ajak kembali mereka dengan mengawalinya melalui cara sederhana yakni dengan menanyakan kabar, mendengar curhatnya, bertukar pikiran, dan mendoakan mereka serta menyertakan wajah-wajah mereka dalam lantunan doa rabithah.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Kasih Jempolnya..