Kamis, 19 April 2012

Siklus Pembukuan dan Akuntansi Selangkah demi selangkah


Akuntansi sering didefinisikan sebagai seni melakukan pencatatan,  pengelompokan, dan pelaporan transaksi keuangan. Rangkaian—selangkah demi selangkah—proses itulah yang disebut dengan “Siklus Akuntansi” yang sering diistilahkan dengan “pembukuan (bookkeeping)”.

Apakah pembukuan sama dengan akuntansi? Jelas berbeda. Pekerjaan pembukuan selesai sampai pada siklus saja, sementara pekerjaan akuntansi jauh lebih luas dari sekedar siklus akuntansi (pembukuan), termasuk auditing (pemeriksaan), penyusunan sistem akuntansi, akuntansi manajemen, hingga perpajakan.

 

Di tulisan ini saya akan berfokus pada siklus akuntansi (pembukuan) saja. Apa saja langkah-langkah yang dilalui dalam satu siklus akuntansi.

Ada 9 (sembilan) langkah yang dilalui dalam satu siklus akuntansi, yaitu:


Langkah-1. Mengumpulkan Dan Menganalisa Data Transaksi

Siklus akuntansi dimulai dari proses pengumpulan data transaksi keuangan dalam bentuk bukti transaksi yang oleh orang awam disebut ‘nota’.  Sesungguhnya bukti transaksi keuangan tidak selalu dalam bentuk nota, bisa jadi dalam bentuk lain—misalnya: akte, surat perjanjian, kwitansi, surat pengakuan utang-piutang.

Melalui bukti inilah data transaksi keuangan diidentifikasi. Setelah bukti transaksi terkumpul, selanjutnya dianalisa (bahasa awamnya dinilai)—apakah transaksi itu sah untuk diakui atau tidak, berapa yang harus diakui.

Misalnya:  Per hari ini PT. ABC membeli perlatan kantor, atas pembelian tersebut PT. ABC memperoleh bukti transaksi berupa nota. Disamping membeli peralatan kantor perusahaan juga membayar upah buruh, atas pembayaran upah tersebut, buruh PT. ABC menandatangani kwitansi, dan seterusnya.
Bukti-bukti transaksi tersebut oleh pagawai accounting dikumpulkan, lalu dinilai apakah bukti transaksi itu sah atau tidak, berapa besarnya nilai transaksi yang harus diakui.




Langkah-2. Mencatat Transaksi (Menjurnal/Posting)

Setelah bukti transaksi terkumpul dan dinilai, langkah selanjutnya adalah memasukan nilai yang terdapat pada bukti transaksi ke dalam buku catatan transaksi. Proses ini disebut dengan proses pencatatan—yang oleh orang akuntansi disebut “menjurnal” sering juga disebut “posting”.

Proses menjurnal bisa jadi dilakukan setiap kali ada transasi secara terus menerus sepanjang hari atau dimasukan sekaligus di sore hari. Catatan-catatan transaksi di langkah ini dalam akuntansi disebut dengan “Jurnal Umum (General Journal)”. Buku-buku yang menampung catatan transaksi ini sering disebut dengan buku jurnal umum (saya akan membahas jenis-jenis buku catatan ini di postingan lain secara terpisah).

    Misalnya: Pukul 9 pagi ada transaksi penjualan, setelah nota dinilai (pada langkah-1) langsung dijurnal ke dalambuku penjualan. Pukul 10 pagi terjadi transaksi penjualan berikutnya, nota dinilai, setelah itu dijurnal. Bisa jadi transaksi-transaksi tersebut dikumpulkan saja dahulu, baru kemudian dijurnal menjelang penutupan jam kerja. Saya menyarankan agar setiap transaksi langsung dijurnal (jangan dikumpulkan terlebih dahulu).
Di era komputerisasi sekarang ini, proses menjurnal tidak lagi dilakukan dengan mencatat di buku. Melainkan di,masukan ke dalam sistem (software akuntansi).


Langkah-3. Memindahkan Catatan Transaksi ke Buku Besar

Pada langkah sebelumnya (jurnal umum), catatan transaksi masih dalam kondisi tercampur (berbagai macam transaksi ditampung dalam satu catatan). Di langkah ketiga ini, catatan transaksi tersebut dipindahkan ke dalam kelompok-kelompok akun (account)—sesuai dengan jenis transaksinya.

    Misalnya: Jenis transaksi penjualan dipindahkan ke dalam akun penjualan, jenis transaksi pembelian bahan baku dimasukan ke dalam akun persediaan dan utang, jenis transaski berupa pembelian aset dimasukan ke dalam akun aktiva tetap, dan seterusnya.
Kelompok-kelompok akun ini disebut “Buku Besar (General Ledger)”. Di dalam akun buku besar,  satu jenis transaksi terkumpul menjadi satu kelompok, misalnya: akun buku besar penjualan terdiri dari transksi-transaksi penjualan saja, akun kas terdiri dari transaksi-transaksi yang berupa kas saja, akun aktiva tetap terdiri transaksi-transaksi aktiva tetap saja.

Di akhir proses ini, kumpulan nilai-nilai transaksi akan membentuk nilai akhir yang disebut dengan “saldo akhir (ending balance)”. Saldo akhir bisa berupa saldo debit atau saldo kredit, sesuai dengan jenis akunnya:

    Akun-akun kelompok aktiva (kas, piutang, persediaan, aktiva tetap) bersaldo debit.
    Akun-akun kelompok kwajiban (utang) bersaldo kredit
    Akun kelompok ekuitas pemilik (modal, laba ditahan) bersaldo kredit
    Akun pendapatan bersaldo kredit
    Akun biaya bersaldo debit



Catatan:

Di era komputerisasi, kehadiran software akuntansi membuat proses pada langkah ketiga ini parktis tidak diperlukan lagi. Sotware yang dipakai oleh perusahaan secara otomatis melakukan proses pemindahan data dari jurnal umum ke buku besar, begitu langkah kedua (menjurnal umum/posting) dilakukan.

Dalam akuntansi manual proses pemindahan ke buku besar mungkin dilakukan setiap menjelang penutupan buku, sehingga saldo akhir buku besar juga baru bisa dilihat. Sedangkan dalam akuntansi terkomputerisasi (menggunakan software akuntansi), proses pemindahan terjadi setiap kali transaksi dimasukan ke dalam software akuntansi—dan dan saldo akhir langsung bisa dilihat sesaat setelah posting dilakukan.




Langkah-4. Membuat “Neraca Percobaan (Trial Balance)”

Membuat neraca percobaan biasanya dilakukan setiap menjelang penutupan buku. Apa itu neraca percobaan? Bagaimana cara membuatnya?

Di masa sekarang ini semua perusahaan sudah menggunakan sistim ‘double entry’ yang mensyaratkan kondisi yang seimbang (balance). Artinya setiap penambahan pada suatu akun selalu disertai oleh pengurangan di akun lain—demikian sebaliknya. Sebagai implementasi, setiap transaksi dicatat ke dalam 2 (atau lebih) jenis akun sekaligus.

    Misalnya: PT. ABC membeli perlatan kantor senilai Rp 1 juta. Atas transaksi pembelian ini dicatat dengan sistim double-entry, sehingga jurnalnya menjadi:

    [Debit]. Aktiva – Peralatan Kantor = Rp 1 juta

    [Kredit]. Kas = Rp 1 juta

    

Artinya: atas satu transaksi penjualan tersebut, di satu sisi membuat nilai aktiva peralatan kantor bertambah sebesar 1 juta, di sisi lainnya akun kas berkurang pada nilai yang sama, sehingga terjadi kondisi seimbang (balance). Dengan demikian, setelah semua transaksi terkumpul dan terakumulasi di buku besar, penggunaan sistim double-entry membuat NILAI—atau rupiah—jenis akun bersaldo debit akan selalu sama dengan jenis akun bersaldo kredit.

Proses membuat neraca percobaan (trial balance) pada langkah ini dimaksudkan untuk melakukan percobaan—memastikan bahwa nilai jenis akun bersaldo debit sama dengan jenis akun bersaldo kredit—balance (seimbang). Atau secara keseluruhan, jumlah nilai transaksi debit sama dengan transaksi kredit. Konkretnya, saldo-saldo akhir akun bersaldo debit dijumlahkan, dan saldo-saldo akun bersaldo negatif juga dijumlahkan, lalu dibandingkan. Jika nilainya sama berarti balance (sudah benar).

Bagaimana jika tidak sama (tidak balance)? Disilidiki—dicari tahu, mengapa tidak sama. Yang jelas sudah pasti ada ketidaksesuaian pencatat (jurnal).




Langkah-5. Membuat (Jurnal) Penyesuaian

Ada berbagai kemungkinan penyebab terjadinya ketidaksesuaian—sehingga nilai akun bersaldo debit dengan akun bersaldo kredit menjadi tidak sama (tidak balance):

 1.  Adanya transaksi yang belum dicatat
 2.  Adanya transaksi yang dicatat terlalu besar atau terlalu kecil (kesalahan perhitungan)
 3.  Adanya transaksi yang tidak bisa diakui sekaligus akibat penerapan sistim akrual (misalnya: Atas pembelian aktiva tetap tidak bisa dibebankan sebagai biaya sekaligus, melainkan dialokasikan secara bertahap melalui penyusutan. Atas pendapatan diterima dimuka tidak bisa diakui sekaligus, melainkan di alokasikan secara bertahap. Atas beban bunga, beban sewa, pendapatan sewa, pendapatan bunga, dll).

Untuk semua penyebab itu, dibuatkan jurnal penyesuaian agar kesimbangan tercapai (saya akan membahas topik jurnal penyesuaian secara khusus di tulisan lain). Untuk pengalokasian penyusutan dan transaksi akrual, perlu dibuatkan tabel perhitungan dan jadwal.

Setelah jurnal penyesuaian dimasukan, proses dilanjutkan ke langkah berikutnya.




Langkah-6. Membuat Neraca Percobaan Setelah Penyesuaian (Adjusted Trial Balance)

Langkah keempat diulangi sekalilagi. Bila masih belum balance, maka langkah kelima juga dulangi. Kedua langkah ini akan terus diulangi hingga kondisi seimbang (balance) tercapai.




Langkah-7. Menyusun Laporan Keuangan (Financial Statements)

Setelah kesimbangan tercapai maka ‘Laporan Keuangan’ bisa disusun. Laporan keuangan adalah salah satu produk utama proses akuntansi, terdiri dari empat jenis laporan yaitu:

    Laporan Laba Rugi (Income Statement/Profit and Loss Statement)
    Neraca (Balance Sheet)
    Laporan Arus Kas (Cash Flow Statement)
    Laporan Perubahan Ekuitas/Modal (Equity Statement)

(saya akan bahas masing-masing laporan isi secara lebih terperinci melalui tulisan-tulisan lain di JAK).




Langkah-8. Melakukan Penutupan Buku (Closing The Book)

Pendapatan dan biaya terakumulasi dan dilaporkan untuk periode tertentu (umumnya bulanan, kuartalan atau tahunan. Institusi keuangan seperti bank mungkin melakukannya setiap hari). Agar kedua jenis akun ini tidak bercampur dengan periode berikutnya, maka perlu ditutup—sehingga saldonya menjadi nol—di setiap akhir periode.

    Selisih antara pendapatan dengan biaya menghasilkan nilai tertentu. Nilai itulah yang disebut “Laba (Profit)” atau “Rugi (Loss)”. Laba terjadi bila selisih tersebut bernilai positif (Pendapatan lebih besar dibandingkan biaya), sedangkan rugi terjadi bila selisih bernilai negatif (biaya lebih besar dibandingkan pendapatan).

Penutupan dilakukan dengan memasukan jurnal pembalik (reversal journal)—pendapatan yang biasanya dijurnal di sisi kredit, pada proses ini ditempatkan di sisi debit; dan biaya yang biasanya ditempatkan di sisi debit, pada proses ini ditempatkan di sisi kredit—sehingga akun-akun pendapatan dan biaya akan menjadi nol.

    Nilai selisih (laba/rugi) dipindahkan ke neraca, yaitu akun “Laba Peride Ini (Current Earning)” yang akan menambah akun “Laba Ditahan (Retained Earning)”.

Catatan: Khusus jurnal pembalik untuk menutup pendapatan dan biaya juga disebut “jurnal penutupan (closing jurnal)“.

Setelah langkah ke delapan ini dilakukan, maka akun-akun pendapatan dan biaya akan bernilai nol. Akun yang masih memiliki nilai saldo hanya akun-akun yang masuk dalam kelompok neraca saja (kas, piutang, persediaan, aktiva tetap, utang, dan modal atau ekuitas pemilik). Nilai saldo akun-akun keompok neraca terus diakumulasi dan dilanjutkan di periode-periode berikutnya.




Langkah-9. Memebuat Penyesuaian Kembali (Pasca Penutupan)

Langkah terakhir ini dilakukan untuk 2 tujuan, yaitu:

    Untuk memastikan bahwa semua kelompok akun pendapatan dan biaya telah ditutup; dan
    Untuk memastikan bahwa semua saldo akun kelompok neraca sudah dalam kondisi seimbang (balance) dan siap untuk menjadi saldo awal pembukaan buku periode berikutnya.

Itulah langkah-langkah yang dilewati dalam proses akuntansi, yang sering disebut dengan pembukuan (bookkeeping). Rangkayan langkah-langkah tersebut adalah satu siklus akuntansi (accounting cycle)—dan akan berulang di periode-peride berikutnya sepanjang perusahaan masih beroperasi.



Saya berharap, tulisan siklus pembukuan dan akuntansi ini dapat memberi gambaran yang jelas mengenai proses pembukuan dan akuntansi.

Terlihat tidak terlalu sulit ya? Pada kenyataannya, tidak semudah itu. Menjadi semakin rumit ketika menangani transaksi untuk jenis bidang usaha yang berbeda (perusahaan jasa, retail, manufaktur/industri, perbankan, real estate/developer, pertambangan, pertanian dan holticultura, francais, telekomunikasi, dan lain sebagainya)—masing-masing memiliki kekhasan dan standar perlakuan akuntansi yang berbeda-beda.

Tetapi jangan khawatir. Di tulisan-tulisan berikutnya, saya akan banyak membahas langkah-per-langkah ini secara mengkhusus—lebih rinci mendekati proses pekerjaan yang sesungguhnya. Proses pencatatan, pengelompokan dan pelaporan transaksi keuangan akun-per-akun—sesuai dengan bidang usahanya, dengan segala permasalahannya. Mau serius belajar akuntansi? Ikuti terus di JAK.

Rabu, 18 April 2012

Bagaimana Mencatat Pengeluaran Sebelum Perusahaan Beroperasi...

Ini sudah menjadi persoalan jamak bagi teman-teman di accounting yang kebetulan menangani perusahaan-perusahaan yang menjelang atau baru akan beroperasi: bingung mengenai bagaimana caranya mencatat pengeluaran-pengeluaran sebelum perusahaan beroperasi.

Pengeluaran-pengeluaran sebelum perusahaan beroperasi kerap terjadi. Mulai dari pengeluaran-pengeluaran untuk urusan riset pasar, bayar konsultan, mencari lokasi usaha, perjanjian-perjanjian, akte notaris, pembukaan rekening, hingga mengurus perijinanan.

Memang tidak banyak orang yang sungguh-sungguh paham mengenai hal ini. Bahkan konsultan sering memberi advise yang terkesan menggampangkan—hanya karena tidak mau pusing. Saya selalu suka ide penyederhanaan—mempermudah dan mempersingkat, dan sejnisnya. Siapa yang tidak suka dengan sesuatu yang mudah, cepat, dan efektif?

Hanya saja, tidak semua hal bisa disederhanakan, apalagi penyederhanaan yang hanya bersifat solusi sesaat—namun berbuntut pusing di kemudian hari. Bayangkan jika prosedur operasi (bedah) otak dari yang seharusnya 25 disederhanakan menjadi 15 langkah. Atau, prosedur merakit bomb dari yang seharusnya 30 disederhanakan menjadi 5 langkah saja. Apakah itu bagus?

Prosedur akuntansi tentu tidak serumit bedah otak, juga tidak seseram merakit bomb. Tetapi ada hal-hal yang jika disederhanakan bisa berbuntut ledakan masalah dikemudian hari yang efeknya mungkin tidak kalah dahsyat dengan bomb—terutama hal-hal yang ada kaitannya dengan ‘hak-dan-kewajiban’, terlebih-lebih masalah uang, masalah bisnis. Buntutnya bisa masuk bui atau bayar ganti rugi—sama seperti dokter yang melakukan maal praktek atau orang yang meledakan bomb sembarangan, bisa masuk penjara kan?

Untuk itu, kepada rekan-rekan di accounting saya selalu menyarankan agar jangan membiasakan diri mengambil ‘jalan pintas’ (instant), pergunakan logika, pahami persoalannya, lalu cari solusi terbaik. Tidak ada salahnya pusing-pusing sedikit, hitung-hitung untuk memetangkan pengetahuan. Otak yang jarang dipakai lama-lama akan tumpul, iya kan?

Kembali ke persoalan utama, yaitu: pengeluaran-pengeluaran sebelum perusahaan beroperasi. Untuk sungguh-sungguh memahami persoalan ini, ada beberapa aspek mendasar yang musti diketahui terlebih dahulu, antara lain:

    Aspek akuntansi—sudah pasti
    Aspek perpajakan—juga sudah pasti
    Aspek legal (hukum), terutama sekali terkait dengan badan usaha—prosedur akuntansi dan perpajakan patokan dasarnya memang masalah legalitas.

Dalam artian, mau dicatat (diperlakukan) seperti apapun tak masalah, sepanjang ketiga aspek itu tidak dilanggar—accountable sekaligus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.

Mengapa sangat terkait dengan persoalan legalitas (hukum)? Karena pendirian usaha pada dasarnya bukan hanya sekedar event (kejadian) ekonomis. Melainkan sekaligus merupakan kejadian hukum. Tentu harus sangat memperhatikan aspek hukum, dalam hal ini.

“Lalu bagimana cara mencatatnya? Dari tadi koq ceramah melulu?” mungkin ada yang berpikir seperti itu. Oke. Pindah ke paragraf selanjutnya…




Cara Menentukan Apakah Pengeluaran Masuk Buku Perusahaan Atau Tidak

Sebelum berpikir tentang bagaimana mencatat pengeluaran pra-operasi (pre-operation), ada satu pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu: Bentuk badan usahanya apa? Usaha dagang (UD milik perseorangan)? CV (persekutuan)? atau Perseroan Terbatas (PT)?

Jika itu usaha perseorangan, berarti tidak jadi masalah mau dicatat seperti apa saja silahkan, yang penting jelas dan bisa dipahami. Saya katakan boleh-boleh saja karena perusahaan perseorangan sesungguhnya tidak ada kewajiban untuk membuat pembukuan (kecuali untuk urusan cari kredit bank).

Tetapi jika bentuk badan usahanya adalah persekutuan/kongsi (CV misalnya) atau Perseroan Terbatas, nah ini tidak boleh main catat saja. Segala sesuatunya musti jelas, karena memang ada peraturan yang harus ditaati. Ada hak-dan-kewajiban antar anggota persekuan (atau pemegang saham) yang berpotensi menjadi sengketa di kemudian hari jika tidak tercatat dengan baik—sesuai aturan yang ada.

    Catatan: Adanya potensi sengketa itulah mengapa perusahaan persekutuan dan perseroan terbatas TIDAK BOLEH mencampur-adukan antara keuangan pribadi dengan keungan perusahaan.



“Hubungannya dengan mencatat transaksi apa?” pasti ada yang ingin bertanya seperti itu.

Nah ini dia yang sering saya sebut “orang accounting yang cuma mau jadi tukang jurnal”. Kalau tidak mau diberi julukan seperti itu ya tunjukan bahwa sebutan itu tidak benar. Untuk menunjukan itu, pahami dahulu persoalannnya—jangan mau main catat saja. Kalau main catat saja, nanti ditanya “apa yang dicatat?”-pun tidak tahu, bukan cuma susah naik gaji, tapi juga memalukan. Benar tidak?

Inilah inti masalah pencatatan pengeluaran-pengeluaran sebelum operasi, yaitu: apakah pengeluaran tersebut masuk beban perusahaan yang akan dioperasikan atau tidak? Dengan kata lain, apakah boleh dimasukan ke dalam buku perusahaan atau tidak?

Jawabannya: TERGANTUNG (bukan tergantung pada cantolan lho). Maksud saya, tergantung:

    Tanggal Transksi
    Tanggal Pendirian perusahaan
    Pengluaran Untuk Keperluan Apa—terkait urusan apa



Ada beberapa langkah yang harus dilalui untuk tahu persis cara mencatat pengeluaran-pengeluaran sebelum operasi:

    Langkah-1. Kumpulkan nota-notanya dan buat daftar – Catat di Excel saja dahulu (tanggal berapa, transaksi apa, untuk urusan apa, nilai transaksinya berapa), dibuatkan daftar juga boleh. Ingat: pengeluaran tanpa bukti transakasi jangan diterima. Katakan sama bossnya, jika mau dicatat harus ada bukti transaksi.
    Langkah-2. Minta photo copy akte pendirian perusahannya – Cari TANGGAL PENDIRIAN perusahaan.
    Langkah-3. Bandingkan tanggal transaksi dengan tanggal pendirian perusahaan – Buat 2 kelompok: mana pengeluaran yang tanggal notanya SEBELUM tanggal pendirian perusahaan, dan mana yang SESUDAH-nya.
    Langkah-4. Tentukan mana yang masuk buku mana yang tidak – Nota yang tanggalnya SESUDAH tanggal pendirian perusahaan masuk ke buku perusahaan, sedangkan yang SEBELUM? Masih tanda tanya. Tahan dahulu.



Dari keempat langkah di atas, pasti sudah bisa diketahui yang mana masuk ke buku perusahaan. Bukan hanya itu, tetapi di mata atasan (boss) anda terlihat sebagai orang yang sungguh berhati-hati, sekaligus bertanggung-jawab. Pantas dipercaya untuk urus uang perusahaan. Selanjutnya tinggal membuat jurnalnya. Lanjut….




Membuat Jurnal Pengeluaran Sebelum Perusahaan Beroperasi

Sudah tahu prosedur menjurnal? Jika masih ragu-ragu (atau sekedar penasaran) silahkan baca tulisan saya sebelumnya mengenai “Cara Mudah Membuat Jurnal”. Ada baiknya jika saya ulang sedikit:

Mau membuat jurnal:

Langkah-1. Kumpulkan nota – yang ini sudah dilakukan tadi

Langkah-2. Analisa isi bukti transaksi – Transksi apa, untuk keperluan apa, sehingga tahu akan masuk akun apa. Dalam kasus ini, yang namanya pengeluaran kemungkinnnya hanya 2:

    Dibiayakan secara bertahap melalui pengalokasian—masuk kelompok aktiva (aset) dahulu.; atau
    Dibiayakan sekaligus—alias masuk kelompok biaya



Langkah-3. Buat Jurnal – Sekalilagi, khusus dalam kasus ini, ada dua kelompok pengeluaran saja, yaitu:

(1). Untuk pengeluaran yang ADA kaitannya dengan peroleh (pembelian) aktiva tetap, sudah pasti masuk ke kelompok aktiva tetap. Jika itu biaya perolehan (pembelian) aktiva ya catat sebagai aktiva—termasuk pengeluaran yang terkait dengan perolehan aktiva. Misalnya:

Bayar notaris untuk pembuatan akte sewa tempat usaha selama 5 tahun, ada kaitannya dengan aktiva tak berwujud (Hak Sewa) sehingga dicatat sebagai aktiva dengan jurnal:

[Debit]. Hak Sewa = xxxx
[Kredit]. Kas = xxxx

Atau bayar tukang instalasi listrik, ada kaitannya dengan aktiva bangunan, maka dicatat sebagai penambah aktiva bangunan, dengan jurnal:

[Debit]. Aktiva – Bangunan = xxxx
[Kredit]. Kas = xxxx

Atau memperluas tempat parkr, ada kaitannya dengan perolehan bangunan juga dicatat ke aktiva bangunan. Dan yang sejenisnya.

(2) Sedangkan untuk pengeluaran-pengeluran yang TIDAK ada kaitannya dengan perolehan aktiva tetap, maka masuk kelompok BIAYA? Jawabannya: “Iya”. TETAPI, karena perusahaan belum beroperasi—masih dalam persiapan, maka TIDAK BISA dibiayakan pada saat itu juga. Kenapa? Jangan lupa: matching principle—setiap biaya harus bisa dihubungkan dengan pendapatan yang akan timbul. Dalam hal ini, karena perusahaan belum beroperasi berarti pendapatannya belum ada, sehingga biayanya belum bisa dihibungkan dengan pendapatan. Artinya: Biaya belum boleh diakui sebagai biaya.

“Lalu diakui sebagai apa?” Buat akun ‘Biaya Dibayar Di Muka’ sering disebut ‘Prepaid’. Walaupun sebutannya ‘Biaya Dibayar Dimuka’ ini bukan kelompok akun di Lapora Laba Rugi, melainkan masuk kelompok Neraca (biasanya ditempatkan satu baris di bawah kelompok Piutang). Jurnalnya:

[Debit]. Biaya Dibayar Di Muka – Listrik = xxxx (masuk ke Neraca)
[Kredit]. Kas = xxxx

Nah, nanti jika perusahaan sudah mulai beroperasi baru dipindahkan ke kelompok biaya—alias dibiayakan, dengan jurnal:

[Debit]. Biaya Listrik = xxxx (masuk Laporan Laba Rugi)
[Kredit]. Biaya Dibayar Di Muka – Listrik = xxxx

Dengan begitu, maka saldo akun ‘Biaya Dibayar Dimuka’ akan menjadi nol (terhapus).

    Tips: Jika saldo akun ‘Biaya Dibayar Dimuka’-nya cukup besar—karena proses persiapan operasinya cukup lama, maka biayakan secara bertahap, tidak apa-apa. Yang penting terus dibiayakan setiap bulan hingga saldonya bernilai nol.

Bagaimana sampai di sana?

Oke. MASIH ada satu hal yang mengganjal, ingat tadi ada pengeluaran-pengeluaran SEBELUM tanggal pendirian perusahaan, bukan? Bagaimana nasibnya?



Cara Menangani Pengeluaran Sebelum Tanggal Pendirian Perusahaan

Bicarakan dengan pimpinan perusahaan. Sampaikan sama beliau, karena itu pengeluaran terjadi sebelum tanggal pendirian maka tidak bisa diakui sebagai pengeluaran perusahaan. Jika beliau memaksa harus dimasukan, saya ada trick-nya:

Biasanya ada hubungannya dengan perolehan Aktiva. Jika iya, masukan ke Aktiva tetapi lawannya JANGAN kas, melainkan ‘Modal’. Artinya: pengeluaran tersebut dianggap sebagai modal (modal bentuknya tidak selalu dalam kas, aktiva tetap juga boleh).

Masalahnya: apakah pemegang saham lainnya setuju? Apakah jumlah setoran modal di akte pendirian perusahaan bisa diubah? Nah, sampaikan hal itu pada pimpinan: Apakah beliau bersedia membuatkan akte perubahan?

    Itu sebanya tadi saya menekankan aspek legalitas (hukum) karena ada kaitannya dengan ‘hak-dan-kewajiban’ anggota persekutuan.

Jika nilainya cukup besar, mungkin beliau bersedia, ya tidak apa-apa, malah bagus. Justru inilah yang paling benar. Tetapi kalau nilainya kecil, sudah pasti beliau tidak bersedia. Kalau tidak bersedia ya mau bagaimana lagi—pasti beliau bisa mengerti bahwa pengeluaran sebelum tanggal pendirian memang tidak bisa dimasukan ke dalam buku perusahaan. Bagaimana? Mudah bukan? Selamat bekerja. Sukses selalu.

Selasa, 17 April 2012

Akuntan Yg Tdk Bkrja di KAP adalah Pecundang.....

Ini tentang karir akuntan. Ada semacam persepsi umum bahwa: seorang akuntan yang tidak peranh bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah pecundang. Anggapan ini seolah-olah mengatakan bahwa berkarir di dunia akuntansi tetapi belum pernah bekerja di KAP sesungguhnya tidak berkarir. Benarkah demikian?

Entah sejak kapan persepsi ‘Akuntan-Yang-Tidak-Bekerja-di-KAP-adalah-Pecundang’ ini mulai beredar. Siapa yang menghembuskannya pertamakali juga tidak jelas. Yang jelas anggapan ini sudah menjalar hingga ke mahasiswa-mahasiswi akuntansi, terutama di universitas-universitas besar di Indonesia.

Saya pernah bekerja di KAP tetapi tak pernah berpikir seperti itu. Pada kenyataannya, justru saya bertahan hanya sebentar di sana (sekitar 5 tahunan), bosan, lalu pindah jalur. 10 tahun lainnya saya berada di luar KAP—hingga saat ini. Aneh ya ada akuntan yang bosan kerja di KAP? Sesungguhnya tidak, jika anda sudah baca tulisan saya ini hingga selesai.

Anggapan ‘Akuntan-Yang-Tidak-Bekerja-di-KAP-adalah-Pecundang’ ini tidak 100% buruk juga tidak 100% baik. Pengalaman saya menunjukan bahwa anggapan ini lebih banyak keliru dibandingkan benarnya. Lebih banyak sisi buruk dibandingkan sisi baiknya.

Saya tidak menafikan bahwa bekerja di KAP memang menantang (untuk beberapa tahun). Untuk bisa diterima bekerja di KAP yang memiliki reputasi tinggi (macam KPMG, PwC, Ernst & Young atau Deloitte Touche, bukanlah sesuatu yang mudah. Didukung oleh sistim perekrutan yang sudah sangat mapan—berpengalaman puluhan (jika tidak ratusan) tahun, ditambah oleh kemapanan financial, KAP bereputasi tinggi tidak semabarangan menerima akuntan—bahkan untuk level junior sekalipun.

Tentu, mencoba membidik karir yang dianggap sulit adalah bagus—terutama untuk pemuda/pemudi yang baru atau baru akan menapaki karir di akuntansi. Menjadi bagus, setidaknya untuk 2 alasan berikut ini:

1. Merasa tertantang adalah energi positif yang bisa membuat seseorang (rata-rata orang) menjadi selalu bersemangat dan antusias.

2. Kebiasaan ‘bekerja-dengan-standar-mutu-tinggi’ akan terus terbawa hingga di perjalanan karir berikutnya (jika tidak tertimbun selamanya di sana).



Hanya 2 hal itu yang bisa saya lihat sebagai sisi baik (positif). Sedangkan sisanya hanya sisi buruk (negatif)-nya.

Secara umum, menjadi auditor di KAP—dimanapun itu, hanya bekerja diseputaran “mengutak-atik” isi laporan keuangan. Mencari tahu apakah laporan keuangan klien yang di audit sudah sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku atau tidak, lalu memberikan pendapat: wajar, wajar dengan catatan, atau tidak wajar. Tak lebih dari itu. Ditindih oleh desakan deadline—dimana rata-rata KAP seperti itu, waktu untuk belajar sesuatu yang lain nyaris tidak ada.

Memang, pekerjaan di KAP tidak selalu auditing. Bisa jadi kompilasi, atestasi, dan seterusnya. Tetapi sekalilagi aktivitasnya hanya seputaran laporan keuangan—mulai dari jurnal, buku besar, neraca percobaan hingga laporan keuangan (komersial maupun fiscal). Sudah itu saja. Sekalilagi, ini bagus untuk pemula—agar skill menjurnal dan mengutak-atik laporan keuangan semakin mantap.

Padahal, dunia akuntansi dan keuangan dalam skup yang lebih luas tidak sesempit itu. Urusan akuntansi dan keuangan bukan sekedar ‘otak-atik laporan keuangan’. Bukan sekedar melakukan penilaian apakah perlakuan akuntansi suatu perusahaan sudah sesuai standar atau tidak.

Saya pribadi, setelah 5 tahun bekerja di KAP sudah tidak menemukan tantangan lagi. Saya merasa itu tidak cukup. Bertahan bekerja di KAP adalah belenggu bagi potensi kemampuan dan kapasitas saya. Dasar pertimbangan yang paling kuat mendesak saya untuk tidak bekerja di KAP lagi adalah karena satu alasan yang bagi saya sangat mendasar, yaitu: Di KAP hanya tahu data yang sudah jadi (entah itu berupa nota, bahkan sudah berupa jurnal)—tanpa tahu bagaimana transaksi keuangan dalam bisnis sesuangguhnya terjadi.

Sehingga, bisa saya katakana bahwa: menjadi seorang auditor di KAP sesungguhnya hanya cocok untuk mereka yang masih ingin belajar mematangkan pemahaman menganai jurnal, buku besar, dan laporan keuangan—yang sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Tetapi tidak sesuai untuk mereka yang sudah melewati fase tersebut.

Membandingkan pengalaman saya di dalam dan di luar KAP menunjukan betapa pentingnya memahami “apa sesunggungnya di balik angka-angka di jurnal dan laporan keuangan itu?”. Jauh lebih penting dibandingkan sekedar mengetahui apakah suatu laporan keuangan sudah sesuai standar akuntansi atau belum. Mengapa?

1. Akuntansi tidak ada fungsinya jika tidak ada bisnis atau perusahaan (apa yang mau dijurnal, dihitung dan dilaporkan jika tidak ada aktivitas binis atau usaha?).

2. Para pelaku usaha tak peduli apakah laporan keuangan mereka sesuai standar akuntansi atau tidak. Mau dicatat seperti apa, mau dihitung menggunakan metode apa, mau dilaporkan dengan format penyajian seperti apa, silahkan saja, samasekali tak penting bagi mereka. Yang mereka pedulikan cuma satu yaitu: PERUSAHAAN UNTUNG.

3. Di perusahaan-perusahaan yang sudah go publik, mungkin manajemen atau board director merasa senang bila Laporan Laba Rugi mereka menunjukan laba—apalagi jika labanya terus meningkat dari waktu-ke-waktu. Investor mungkin juga tertarik. Akan TETAPI, apakah pemegang saham yang sudah ada pasti senang? Tidak. Mereka tak peduli laporan keuangan. Yang mereka pedulikan hanya satu, yaitu: DIVIDEN—apakah perusahaan bagi dividen atau tidak, berapa besarnya?



Dari 3 fakta tersebut, menurut pandangan saya: dibandingkan sekedar menjurnal, membuat laporan keuangan, melakukan penilaian apakah laporan keuangan sudah sesuai standar atau tidak, JAUH LEBIH BERHARGA DAN MEMBANGGAKAN jika seorang akuntan bisa:

1. Mencegah Kerugian – Mengetahui lebih awal mengenai potensi risiko bisnis sekaligus memberikan rekomendasi untuk melakukan pencegahan kerugian dengan menggunakan data keuangan dan non-keuangan (operasional). Apakah seorang auditor di KAP menjalankan fungsi itu? Saya rasa tidak. Fungsi seperti itu biasanya dilakukan oleh seorang internal auditor (di bawah supervise seorang controller). Auditor di KAP lebih banyak bekerja menggunakan data-data historis (yang transaksi bisnisnya sudah terjadi).

2. Mendorong Efisiensi dan Produktifitas – Memberikan masukan-masukan (melalui analisa data akuntansi dan keuangan) untuk meningkatkan efisiensi tanpa menghambat produktifitas dalam opersional perusahaan. Fungsi seperti ini hanya bisa dijalankan oleh mereka yang memahami business best practice—praktek berbisnis mulai dari perencanaan hingga opersional—yang sifatnya spesifik antara satu usaha dengan usaha lainnya. Apakah seorang auditor (bahkan yang sudah berlevel partner sekalipun) punya kapasitas ini? Saya meragukannya. Kemampuan ini tidak diperoleh dari memahami standar akuntansi yang menjadi kitab sucinya para auditor

3. Memitigasi Masalah Keuangan – Menemukan akar masalah sekaligus memberikan rekomendasi solusi yang ampuh untuk mengatasi masalah dalam suatu bisnis (usaha). Mampu mengetahui dimana akar masalah keuangan yang terjadi—apakah di struktur modal, di perencanaan, di opersional, atau di pengawasan. Selanjutnya memberikan rekemndasi bagaimana cara mengatasinya. Terakhir memberi contoh implementasi sekaligus mengawal agar implementasi bisa berjalan sesuai yang diharapkan—dan masalah bisa diatasi. Apakah seorang auditor di KAP mampu melakukannya? Saya tidak yakin.

Tiga fakta dasar ditambah dengan tiga orientasi baru inilah yang ingin saya tawarkan kepaka teman-teman yang sedang atau akan berkarir di dunia akuntansi.

Bukan berarti memulai karir di kantor akuntan publik (KAP) adalah suatu kekeliruan atau buruk. Samasekali bukan. Yang keliru adalah menetapkan karir di KAP sebagai tujuan akhir. Sebaliknya, menjadi auditor di KAP seharusnya hanya batu loncatan—untuk mematangkan skill teknis menjurnal dan implementasi standar akuntansi saja. Selanjutnya harus ditinggalkan (jangan mengubur diri di sana untuk selamanya), jika ingin menuju ke level yang lebih tinggi, mulai belajar mencari ARTI DI BALIK ANGKA-ANGKA di laporan keuangan dengan cara belajar memahami opersional bisnis (perusahaan) yang sesungguhnya.

Itulah karir seorang akuntan yang paling ideal menurut saya. Saya percaya setiap orang memiliki pola berpikir serta cara menilai yang berbeda. Setiap orang menjalankan karirnya sesuai dengan apa yang diyakininya baik. Tak ada yang salah dengan semua itu. Yang salah adalah ‘merasa’ lebih baik dibandingkan yang lain atau merasa lebih buruk dibandingkan yang lain.

Untuk itu, bagi teman-teman yang kebetulan sedang tidak berkarir di kantor akuntan publik (KAP), jangan pernah berkecil hati. Tidak menjadi seorang auditor di KAP bukan berarti pecundang. Jika anda tidak mau belajar—merasa puas hanya dengan jadi tukang jurnal di perusahaan, ya memang jauh jika dibandingkan dengan seorang auditor. Sebaliknya, jika mau berlajar lebih dari sekedar jadi tukang jurnal, saya yakin suatu saat nanti kualitas dan pendapatan (gaji) anda jauh lebih tinggi dibandingkan seorang auditor di KAP. Sukses selalu.

Minggu, 15 April 2012

Sepuluh Kesalahan Dalam Mendidik Anak

Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Maka, kita sebagai orang tua bertanggung jawab terhadap amanah ini. Tidak sedikit kesalahan dan kelalaian dalam mendidik anak telah menjadi fenomena yang nyata. Sungguh merupakan malapetaka besar ; dan termasuk menghianati amanah Allah.

Adapun rumah, adalah sekolah pertama bagi anak. Kumpulan dari beberapa rumah itu akan membentuk sebuah bangunan masyarakat. Bagi seorang anak, sebelum mendapatkan pendidikan di sekolah dan masyarakat, ia akan mendapatkan pendidikan di rumah dan keluarganya. Ia merupakan prototype kedua orang tuanya dalam berinteraksi sosial. Oleh karena itu, disinilah peran dan tanggung jawab orang tua, dituntut untuk tidak lalai dalam mendidik anak-anak.

BAHAYA LALAI DALAM MENDIDIK ANAK
Orang tua memiliki hak yang wajib dilaksanakan oleh anak-anaknya. Demikian pula anak, juga mempunyai hak yang wajib dipikul oleh kedua orang tuanya. Disamping Allah memerintahkan kita untuk berbakti kepada kedua orang tua. Allah juga memerintahkan kita untuk berbuat baik (ihsan) kepada anak-anak serta bersungguh-sungguh dalam mendidiknya. Demikian ini termasuk bagian dari menunaikan amanah Allah. Sebaliknya, melalaikan hak-hak mereka termasuk perbuatan khianat terhadap amanah Allah. Banyak nash-nash syar’i yang mengisyaratkannya. Allah berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya” [An-Nisa : 58]

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhamamd) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” [Al-Anfal : 27]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban terhadap yang dipimpin. Maka, seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

“Artinya : Barangsiapa diberi amanah oleh Allah untuk memimpin lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya dalam keadaan mengkhianati amanahnya itu, niscaya Allah mengharamkan sorga bagianya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

SEPULUH KESALAHAN DALAM MEDIDIK ANAK
Meskipun banyak orang tua yang mengetahui, bahwa mendidik anak merupakan tanggung jawab yang besar, tetapi masih banyak orang tua yang lalai dan menganggap remeh masalah ini. Sehingga mengabaikan masalah pendidikan anak ini, sedikitpun tidak menaruh perhatian terhadap perkembangan anak-anaknya.

Baru kemudian, ketika anak-anak berbuat durhaka, melawan orang tua, atau menyimpang dari aturan agama dan tatanan sosial, banyak orang tua mulai kebakaran jenggot atau justru menyalahkan anaknya. Tragisnya, banyak yang tidak sadar, bahwa sebenarnya orang tuanyalah yang menjadi penyebab utama munculnya sikap durhaka itu.

Lalai atau salah dalam mendidik anak itu bermacam-macam bentuknya ; yang tanpa kita sadari memberi andil munculnya sikap durhaka kepada orang tua, maupun kenakalan remaja.

Berikut ini sepuluh bentuk kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya.

[1]. Menumbuhkan Rasa Takut Dan Minder Pada Anak
Kadang, ketika anak menangis, kita menakut-nakuti mereka agar berhenti menangis. Kita takuti mereka dengan gambaran hantu, jin, suara angin dan lain-lain. Dampaknya, anak akan tumbuh menjadi seorang penakut : Takut pada bayangannya sendiri, takut pada sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditakuti. Misalnya takut ke kamar mandi sendiri, takut tidur sendiri karena seringnya mendengar cerita-cerita tentang hantu, jin dan lain-lain.

Dan yang paling parah tanpa disadari, kita telah menanamkan rasa takut kepada dirinya sendiri. Atau misalnya, kita khawatir ketika mereka jatuh dan ada darah di wajahnya, tangan atau lututnya. Padahal semestinya, kita bersikap tenang dan menampakkan senyuman menghadapi ketakutan anak tersebut. Bukannya justru menakut-nakutinya, menampar wajahnya, atau memarahinya serta membesar-besarkan masalah. Akibatnya, anak-anak semakin keras tangisnya, dan akan terbiasa menjadi takut apabila melihat darah atau merasa sakit.

[2]. Mendidiknya Menjadi Sombong, Panjang Lidah, Congkak Terhadap Orang Lain. Dan Itu Dianggap Sebagai Sikap Pemberani.
Kesalahan ini merupakan kebalikan point pertama. Yang benar ialah bersikap tengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak dikurang-kurangi. Berani tidak harus dengan bersikap sombong atau congkak kepada orang lain. Tetapi, sikap berani yang selaras tempatnya dan rasa takut apabila memang sesuatu itu harus ditakuti. Misalnya : takut berbohong, karena ia tahu, jika Allah tidak suka kepada anak yang suka berbohong, atau rasa takut kepada binatang buas yang membahayakan. Kita didik anak kita untuk berani dan tidak takut dalam mengamalkan kebenaran.

[3]. Membiasakan Anak-Anak Hidup Berfoya-foya, Bermewah-mewah Dan Sombong.
Dengan kebiasaan ini, sang anak bisa tumbuh menjadi anak yang suka kemewahan, suka bersenang-senang. Hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak peduli terhadap keadaan orang lain. Mendidik anak seperti ini dapat merusak fitrah, membunuh sikap istiqomah dalam bersikap zuhud di dunia, membinasakah muru’ah (harga diri) dan kebenaran.

[4]. Selalu Memenuhi Permintaan Anak
Sebagian orang tua ada yang selalu memberi setiap yang diinginkan anaknya, tanpa memikirkan baik dan buruknya bagi anak. Padahal, tidak setiap yang diinginkan anaknya itu bermanfaat atau sesuai dengan usia dan kebutuhannya. Misalnya si anak minta tas baru yang sedang trend, padahal baru sebulan yang lalu orang tua membelikannya tas baru. Hal ini hanya akan menghambur-hamburkan uang. Kalau anak terbiasa terpenuhi segala permintaanya, maka mereka akan tumbuh menjadi anak yang tidak peduli pada nilai uang dan beratnya mencari nafkah. Serta mereka akan menjadi orang yang tidak bisa membelanjakan uangnya dengan baik.

[5]. Selalu Memenuhi Permintaan Anak, Ketika Menangis, Terutama Anak Yang Masih Kecil.
Sering terjadi, anak kita yang masih kecil minta sesuatu. Jika kita menolaknya karena suatu alasan, ia akan memaksa atau mengeluarkan senjatanya, yaitu menangis. Akhirnya, orang tua akan segera memenuhi permintaannya karena kasihan atau agar anak segera berhenti menangis. Hal ini dapat menyebabkan sang anak menjadi lemah, cengeng dan tidak punya jati diri.

[6]. Terlalu Keras Dan Kaku Dalam Menghadapi Mereka, Melebihi Batas Kewajaran.
Misalnya dengan memukul mereka hingga memar, memarahinya dengan bentakan dan cacian, ataupun dengan cara-cara keras lainnya. Ini kadang terjadi ketika sang anak sengaja berbuat salah. Padahal ia (mungkin) baru sekali melakukannya.

[7]. Terlalu Pelit Pada Anak-Anak, Melebihi Batas Kewajaran
Ada juga orang tua yang terlalu pelit kepada anak-anaknya, hingga anak-anaknya merasa kurang terpenuhi kebutuhannya. Pada akhirnya mendorong anak-anak itu untuk mencari uang sendiri dengan bebagai cara. Misalnya : dengan mencuri, meminta-minta pada orang lain, atau dengan cara lain. Yang lebih parah lagi, ada orang tua yang tega menitipkan anaknya ke panti asuhan untuk mengurangi beban dirinya. Bahkan, ada pula yang tega menjual anaknya, karena merasa tidak mampu membiayai hidup. Naa’udzubillah mindzalik

[8]. Tidak Mengasihi Dan Menyayangi Mereka, Sehingga Membuat Mereka Mencari Kasih Sayang Diluar Rumah Hingga Menemukan Yang Dicarinya.
Fenomena demikian ini banyak terjadi. Telah menyebabkan anak-anak terjerumus ke dalam pergaulan bebas –waiyadzubillah-. Seorang anak perempuan misalnya, karena tidak mendapat perhatian dari keluarganya ia mencari perhatian dari laki-laki di luar lingkungan keluarganya. Dia merasa senang mendapatkan perhatian dari laki-laki itu, karena sering memujinya, merayu dan sebagainya. Hingga ia rela menyerahkan kehormatannya demi cinta semu.

[9]. Hanya Memperhatikan Kebutuhan Jasmaninya Saja.
Banyak orang tua yang mengira, bahwa mereka telah memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Banyak orang tua merasa telah memberikan pendidikan yang baik, makanan dan minuman yang bergizi, pakaian yang bagus dan sekolah yang berkualitas. Sementara itu, tidak ada upaya untuk mendidik anak-anaknya agar beragama secara benar serta berakhlak mulia. Orang tua lupa, bahwa anak tidak cukup hanya diberi materi saja. Anak-anak juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Bila kasih sayang tidak di dapatkan dirumahnya, maka ia akan mencarinya dari orang lain.

[10]. Terlalu Berprasangka Baik Kepada Anak-Anaknya
Ada sebagian orang tua yang selalu berprasangka baik kepada anak-anaknya. Menyangka, bila anak-anaknya baik-baik saja dan merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan, tidak pernah mengecek keadaan anak-anaknya, tidak mengenal teman dekat anaknya, atau apa saja aktifitasnya. Sangat percaya kepada anak-anaknya. Ketika tiba-tiba, mendapati anaknya terkena musibah atau gejala menyimpang, misalnya terkena narkoba, barulah orang tua tersentak kaget. Berusaha menutup-nutupinya serta segera memaafkannya. Akhirnya yang tersisa hanyalan penyesalan tak berguna.

Demikianlah sepuluh kesalahan yang sering dilakukan orang tua. Yang mungkin kita juga tidak menyadari bila telah melakukannya. Untuk itu, marilah berusaha untuk terus menerus mencari ilmu, terutama berkaitan dengan pendidikan anak, agar kita terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak, yang bisa menjadi fatal akibatnya bagi masa depan mereka. Kita selalu berdo’a, semoga anak-anak kita tumbuh menjadi generasi shalih dan shalihah serta berakhlak mulia. Wallahu a’lam bishshawab.

[Disadur oleh Ummu Shofia dari kitab At-Taqshir Fi Tarbiyatil Aulad, Al-Mazhahir Subulul Wiqayati Wal Ilaj, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd]