“Aku mati rasa…”
My eyes automatically point to him… His minds were whispering into my ears – no! – He was whispering to my ears! I was screaming surprised, but I can’t do anything. He came and tied me up with kind of invisible rope – no idea! I can’t move to anywhere, he insisted me to hear what he said. I didn’t understand what kind of language he was saying, but I stand quietly, closed my eyes, and he started babbling;
“Lupa sudah aku menjadi hamba, lupa sudah kalau aku pernah bilang aku cinta, lupa sudah jika dulu aku berlutut memohon kesempatan kedua. Namun kesempatan kedua selalu saja tidak cukup. Tapi Dia selalu bilang selalu ada kesempatan untukku. Lalu kesempatan ketiga itu pun datang, lalu sia-sia. Dia berikan yang keempat, lalu ku buang lagi dengan sengaja. Lalu Dia bungkus rapi dan cantik kesempatan kelima, namun lagi kucampakkan dengan kesadaran penuh. Kesempatan keenam datang, lalu yang ketujuh aku minta. Namun sampai ribuan pun itu selalu belum cukup untukku. Sampai kepekaan itu akhirnya lama-lama terkikis waktu, sampai sensitif itu menebal dilapisi oleh lapis kasar dan keras, sampai lembutnya tak terasa lagi – tak terciri lagi… Aku mati rasa.”
“Tahukah ciri-ciri orang lelah adalah mereka senang dengan menunggu? Maka aku sekarang senang menunggu. Aku menunggu mati! Andai saja dia Saw. tidak pernah meriwayatkan bahwa meminta mati itu dilarangNYA, maka setiap hari aku kan meminta agar Izrail segera mengetuk pintu rumahku. Maka setiap tengadahku kepadaNYA hanyalah untuk menyampaikan undangan istimewa kepada sang pencabut semua kesenangan itu agar segera tiba menjalankan tugas. Jangan kira aku si hebat yang sudah cukup bekal menghadap kepadaNYA, jangan pernah pikir bahwa aku seorang yang siap untuk mati, aku orang yang paling tidak siap! Aku pecundang yang menyerah dengan gempuran sang penggoda. Aku yang jatuh dan jatuh kepada lubang yang sama berkali-kali. Aku yang berlumur lumpur lalu mandi namun untuk berlumur kembali. Aku hanya seorang yang lelah, tidak ingin terjerumus lagi dan ingin siklus kebodohan yang sama ini berulang berkali-kali. Aku malu dengan denganNYA. Aku bilang aku mau berubah, namun aku tak pernah tahu apa yang berubah denganku. Sampai aku pun terperangkap dan tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan untuk melawan mereka sang penggoda terkutuk itu! Aku mati rasa.”
“Aku bukan teman mereka! Sungguh! Sungguh aku sama sekali bukan teman mereka, walau permintaannya selalu aku penuhi, walau godaannya selalu aku turuti, walau ajakanny selalu aku ikuti. Aku SANGAT BENCI mereka! Dengan sepenuh hati. Namun cerita-ceritanya selalu saja indah, tawaran-tawaranny selalu saja membuatku mengangguk dan tersenyum, kata-katanya cantik membuatku penasaran, kalimat-kalimatnya tak pernah gagal menghipnotisku, dan mereka adalah pendeskripsi yang sangat handal. Semuanya bisa sangat nyata di depan mata saat dia berbicara. Semuanya bagaikan dapat tersentuh langsung dengan tanganku saat dia berkata. Mengajakku dengan iming-iming ini permintaan terakhirnya dan tak akan mengajakku lagi selamanya. Lalu aku terbius dan kemudian aku menyesal. Semua seperti terjadi begitu saja, tiba-tiba aku mendapati diriku kembali berdiri di kubangan yang sama, berlumur dengan lumpur yang sama. Berkali-kali dia menggodaku berkali-kali pula dia menipuku mentah-mentah. Dan aku mau. Tidak pernah ada kata ‘terakhir’ untuknya untuk mengajakku. Bodohnya aku, bodohnya aku. Aku benar-benar sudah mati rasa.”
“Dia mungkin sudah bosan. Aku saja sudah muak dengan diriku yang lagi-lagi harus sadar bahwa aku tidak menggenggam janjiku. Dan untuk kesekian kalinya aku memohon ‘kesempatan’ itu datang lagi. Aku heran kenapa Dia tidak pernah bosan – ah, atau mungkin Dia padahal sudah bosan – kepada diriku yang selalu datang dalam keadaan kotor. Lumpur itu menetes disana sini, namun Dia selalu saja tersenyum melihatku walau tapak kakiku yang selalu saja meninggalkan jejak hina. Apakah Dia pernah marah? Kenapa dia dengan sangat mudah segera menyiramkan air membasuh badanku sampai bersih saat aku datang berlutut di depanNYA walau tanpa mengatakan apapun? Entah Dia sudah bisa membaca pikiranku atau mungkin Dia sudah tahu kebiasaanku. Kebiasaan? Dan kebiasaanku membuat kotoran… Apakah aku dilahirkan hanya untuk menjadi bagian kehidupan yang disebut sampah? Dan hanya Dia yang mau menerima sampah ini, membersihkannya tanpa enggan dan jijik. Dan di saat itulah perasaan lelah itu muncul. Kenapa Dia sangat baik padaku? Sedang aku tidak penah bisa baik kepadaNYA. Aku lelah kotor lalu melihatNYA tersenyum membersihkanku. Aku lelah… Biarkan aku mati saja jika aku hanya jadi sampah setelah Dia membuatku kembali cemerlang. Air mata ini selalu bohong! Aku ternyata tidak pernah benar-benar berjanji kepadaNYA. Aku lelah melihatNYA tersenyum dengan kotorku… Aku ingin melihatNYA tersenyum dengan cemerlangku…”
“Aku ingin melihatNYA tersenyum karena bersihku…”
“Sungguh… Aku mati rasa…”
And then he was starting crying. He cannot said any words anymore after that phrase; ‘aku mati rasa’, which I had no idea about the meaning of those words. He was sobbing really hard. Drowning with his own sad tears. I knew that was a sad crying. And then suddenly I was feeling free, he released me… I thought he just needs someone to be shared. But he walked far from me. My hands tried to reach his back, but he was more far and far from me… then vanished from my eyes with his creepy crying voice.
And then my eyes opened… Oh, it’s just a dream.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Kasih Jempolnya..