Kamis, 04 April 2013

Membangun Rumah Tangga Sampai Ke – Syurga

 
Seorang suami akan merasa bahagia jika bisa bertemu istri dan anaknya. Begitu pula sebaliknya, anak akan merasa bahagia jika bisa bertemu dengan orang tuanya. Dan tentunya,  kebahagiaan dalam kebersamaan ini diharapkan terjadi selamanya. Tidak hanya di dunia, namun juga berlanjut sampai di akhirat. Bisakah kita  mewujudkan harapan ini? Kalaupun bisa, bagaimanakah caranya?
Dalam pandangan agama Islam, suami, istri dan anak bisa bahagia berkumpul bersama tidak hanya di dunia, namun berlanjut sampai di akhirat. Namun, untuk mewujudkannya tidaklah mudah. Diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Jika tidak, masing-masing akan berada di tempat atau derajat yang terpisah.
Merujuk keterangan yang ada dalam al-Quran dan Hadits, setidaknya ada dua syarat agar kita bisa berkumpul bersama dalam kebahagiaan di akhirat kelak, yaitu sebagai berikut
#1. Adanya Kesamaan Visi dan Misi dalam Keimanan
Alloh SWT berfirman dalam QS At-Thuur 21:
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”
Ayat ini memberikan pemahaman, bahwa agar orang tua dan anak dapat berkumpul dalam kebahagiaan di surga, maka syaratnya harus memiliki kesamaan visi dan misi dalam keimanan. Jika salah satu dari anggota keluarga berbeda, maka tempatnya akan berbeda pula dan tentunya tidak  mungkin dapat bertemu.
Kebersamaan dengan anggota keluarga di surga, merupakan kesempurnaan kenikmatan bagi mereka yang berhak masuk ke surga. Dalam salah satu riwayat di jelaskan bahwa saat orang-orang yang berhak masuk surga menginjakkan kakinya di surga, pertanyaan pertama yang muncul adalah dimanakah orang tua, anak, dan istri kami?. Ini menunjukkan bahwa orang yang masuk surga merasakan ‘kekurangan’ selama mereka belum melihat keluarganya.
Saat anak dan keluarganya tidak satu derajat di surga, mereka pun menyampaikan keinginannya kepada Alloh dengan mengatakan, aku beramal di dunia untuk-MU dan untuk kebahagiaan mereka. Untuk itu, hadirkanlah mereka di surga ini.
#2.  Kesamaan Dalam Beramal Sholeh
Syarat kedua agar bisa dipertemukan di Surga adalah adanya kesamaan dalam beramal sholeh. Hal ini sebagaimana tercermin dari  doa para malaikat kepada Alloh dalam QS Al Ghaafir 8:
“Ya Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam syurga ‘Adn yang Telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Berdasarkan ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kesamaan amal sholeh antara suami, istri dan keturunannya menjadi modal utama untuk bisa bertemu di surga. Dan, tentunya amal sholeh ini merupakan manivestasi atau penterjemahan dari kesamaan visi dan misi keimanan.
Oleh karena itu, jika kita memiliki keinginan atau harapan agar kebahagiaan bersama berlanjut sampai di akhirat kelak, maka salah satu caranya tiada lain berupaya semaksimal mungkin untuk menjadikan diri sendiri dan anggota keluarga memiliki kesamaan iman dan amal sholeh.
Kisah nabi Nuh as dan anaknya memberikan gambaran lebih lanjut, bahwa ketidaksamaan visi iman dan amal sholeh akan mengakibatkan terputusnya hubungan keturunan menurut versi Alloh.  Nabi Nuh, berusaha mendidik anaknya untuk beriman dan beramal sholeh. Namun anaknya durhaka dan memilih jalan lain. Saat bah melanda, nabi Nuh bermunajat, “Ya Robbi, selamatkanlah anakku, karena sesungguhnya ia keluargaku”, Dan Alloh berkata lain, “Wahai Nuh, ketahuilah ia bukan keluargamu“.
Untuk itulah, marilah berjuang meraih keimanan dan amal sholeh. Waspadalah, jangan sampai anak dan keluarga kita terkena polusi kekufuran,  karena dengannya akan memisahkan tempat di akhirat kelak.
Semoga Alloh membimbing rahmat dan hidayah-Nya terhadap keluarga besar dan keturunan kita.
“Dikutip dari Khutbah Jum’at, April 2012, Mesjid Darussalam Kota Wisata, Khotib Ahmad Qusyairi Suhail MA

Rabu, 03 April 2013

RAGU Jelang Nikah, HARUS Bagaimana?


Ukhti Pertama: Kak, saya akhwat berusia 42 tahun yang berencana menikah. Calon suami saya adalah seorang duda yang ditinggal wafat oleh istrinya dan mempunyai tiga orang anak. Selama ini, saya adalah tulang punggung keluarga dan ketika nanti menikah, saya harus berhenti bekerja dan ikut suami tinggal di luar kota yang jaraknya cukup jauh. Hal inilah yang membuat saya ragu karena khawatir siapa yang akan menjadi tulang punggung keluarga sepeninggal saya. Kalau mundur (mengurungkan pernikahan), rasanya tidak mungkin mengingat usia saya yang tidak lagi muda. Jujur, dulu sudah ada beberapa ikhwan yang datang melamar namun selalu saya tolak dengan alasan tidak siap meninggalkan keluarga. Saat ini, saya sudah istikharah, tapi hati ini kerap berubah-ubah. Hari ini mantap, besoknya berubah lagi. Bagaimana saya harus bersikap, Teh? Sementara, persiapan jelang nikah pun harus saya sendiri yang memikirkan dari A sampai Z-nya.


Ukhti Kedua: Kak, sudah dua bulan saya taaruf dengan calon suami, dan di bulan berikutnya dia mengkhitbah. Saat khitbah, saya mendengar langsung dari ibunya jika calon saya tidak punya apa pun, selain ilmu yang bisa dia berikan. Hal itu menjadi keberatan saya sehingga saat acara khitbah berlangsung saya tidak antusias dan bahkan cuek. Sehabis khitbah, keluarga saya bertanya kepada saya mengenai maksud dari ilmu yang diutarakan di acara tersebut. Akhirnya, saya pun cerita bahwa calon saya tersebut mempunyai pekerjaan sampingannya adalah meramal. Sekarang, keluarga saya pun bingung dan keberatan untuk menikahkan kami. Teh, langkah apa yang harus saya ambil agar tidak sampai membuat tersinggung pihak keluarga pria mengingat gedung sudah di-booking dengan menggunakan dana dari pihak calon saya tersebut.

Ukhti berdua, ketika seseorang menikah, hari pernikahan adalah hari kebahagiaan mempelai dan seluruh anggota keluarga. Pernikahan menjadi salah satu momen paling istimewa dalam hidup. Oleh karena itu, harus dipersiapkan secara matang.
Namun, terkadang ada beberapa hal yang tidak berjalan sesuai rencana. Perbedaan pandangan antara dua keluarga kerap membuat calon pengantin ragu. Biasanya, hal ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran yang beralasan. Coba dipikir ulang, apakah hal tersebut termasuk hal prinsip atau tidak.
Jangan karena telanjur menyiapkan resepsi pernikahan, lalu mengorbankan masa depan Anda seumur hidup dengan menikahi orang yang salah atau pernikahan dipenuhi rasa keraguan.
Jangan karena ingin pesta pernikahan berlangsung megah atau sayang pada uang yang sudah diinvestasikan, lalu sinyal-sinyal ketidakmantapan diabaikan.
Kehidupan setelah menikah akan berjalan bertahun-tahun. Anda dan pasangan juga butuh kesiapan membangun keluarga yang harmonis. Oleh karena itu, perlu diupayakan adanya kesamaan visi dan misi tentang ketaatan beragama, jenjang karier, jenis pekerjaan, tempat tinggal, cara membesarkan anak, kepedulian menyantuni orangtua, dan sebagainya yang berguna untuk masa depan rumah tangga dengan pasangan masing-masing.
Nah, berikut saran yang bisa saya berikan kepada ukhti berdua berkaitan dengan rasa ragu yang melanda jelang hari pernikahan. Semoga menjadi solusi.
1. Sampai detik terakhir menjelang akad nikah, berdoa dan istikharahlah. Berserah dirilah kepada Allah Swt. Disarankan untuk tetap mengukur kemantapan diri, apakah mau maju atau mundur dengan menalar situasi dan kondisi yang terjadi menjelang hari pernikahan. Hendaknya, pernikahan dapat menjadi kebaikan dan amal saleh bagi diri, agama, dunia, dan akhirat yang bersangkutan. Kalau sudah mantap, ambillah segala risikonya. Sebab, nikah adalah ujian iman, agama, serta kesabaran.
2. Siapkan mental untuk menjadi istri, ibu, mantu, dan ipar. Menikah dengan duda beranak, berarti mental mesti harus lebih siap daripada menikahi pria lajang. Berkaca pada rumah tangga Rasulullah Saw. dan para nabi lainnya, diharapkan dapat memotivasi ukhti untuk bermental sekuat Siti Hajar, Siti Asiah, Siti Aisyah, dan Siti Khadijah.
3. Lebih aman membatalkan khitbah dari sekarang, daripada nanti sesudah menikah berujung pada perceraian. Maka, mengenai ada pihak yang tersinggung dengan keputusan kita membatalkan pernikahan adalah risiko yang harus diambil. Meski membatalkan khitbah atau pernikahan bisa saja tanpa menyebut alasannya, tetapi tetap harus disampaikan dengan diplomasi yang baik. Hal tersebut bisa disampaikan oleh mediator orangtua yang berbicara langsung dengan bersikap tegas dan santun.
4. Tinjau ulang mengenai keberadaan prinsip agama atau akhlak yang berbeda. Bila ada hal prinsip agama yang dilarang atau dilanggar, jelas pernikahan tidak bisa diteruskan. Alhamdulillah bagi ukhti kedua. Wujud kasih sayang Allah Swt. kepada ukhti adalah dengan terbukanya kondisi calon sebelum hari pernikahan. Ukhti seharusnya bersyukur bisa menyelamatkan diri dari sekarang daripada sesal kemudian tidak berguna.
5. Dengarkan nasihat keluarga atau teman. Tidak sedikit keluarga atau teman yang dapat memberi saran atas permasalahan jelang nikah. Dengarkan karena mereka tentu ingin berpartisipasi dalam suksesnya pernikahan Anda. Namun demikian, hal tersebut tidak berarti mereka memiliki kekuasaan penuh atas sikap dan keputusan Anda.
Jangan biarkan orang lain mengintervensi keputusan Anda hanya karena ingin menyenangkan hati mereka. Prioritaskan yang terbaik dan paling tepat untuk Anda dan keluarga besar.
6. Saat memutuskan menikah, fokus pada hal-hal yang menjadi syarat sahnya nikah. Calon pengantin hendaknya banyak berdzikir, berdoa, serta jangan gugup karena khawatir pernikahan tidak berjalan sesuai dengan rencana (serba perfeksionis) yang pada gilirannya akan membuat emosi Anda mudah tersulut.
Harus benar-benar dipahami bahwa pernikahan yang sakral adalah rangkaian proses ibadah, dari sejak pemilihan jodoh, khitbah, ijab qabul, dan resepsi. Maka, persiapkan rangkaian khutbah nikah, penghulu KUA, maskawin, saksi, dan wali nikah dengan sebaik-baiknya. Calon pengantin harus senantiasa bertawakal kepada Allah Swt. setiap saat dan selalu berdoa semoga acara berjalan dengan hikmat dan berkah. Jangan lupa pula untuk mengucap syukur kepada Allah Swt. atas dukungan doa orangtua dan handai taulan.
7. Terimalah bantuan tenaga dari orang terdekat agar Anda bisa istirahat. Jangan ragu melibatkan keluarga atau teman Anda saat merencanakan hari pernikahan. Bantuan dari mereka akan membuat perasaan semakin bahagia. Namun, tidak berarti semua kerabat bisa mengatur penyelenggaraan walimah. Kendali penuh tetap berada di tangan calon pengantin atau orangtua. Yang terpenting, hindari khalwat atau berdua-duaan dengan calon suami saat mengurus persiapan nikah. Hindari sesi foto prewedding berdua-duaan karena belum muhrim.
8. Hemat anggaran agar tidak israf, tidak mubazir, dan berlebih-lebihan. Buatlah anggaran serinci dan sehemat mungkin. Cantumkan juga biaya tak terduga untuk antisipasi. Pembuatan anggaran ini sangat penting demi mengantisipasi adanya masalah ketika hari H tiba atau menghindarkan diri dari utang. Lebih baik menikah secara sederhana daripada ada perasaan yang mengganjal karena pernikahan tidak sesuai dengan anggaran dan kebarokahan harta. Wallahu a‘lam.

Sumber : http://www.percikaniman.org/category/teh-sasa-esa-agustina/ragu-jelang-nikah-harus-bagaimana


Hukum Memakai Janur dalam Pernikahaan

Saat saya melangsungkan pernikahan, seorang teman berbisik bahwa saya melakukan dosa besar karena memasang janur sebagai atribut walimah. Alasannya, janur suka dijadikan sarana ibadah agama Hindu, karena itulah kita haram menggunakannya untuk pesta pernikahan. Ustadz benarkah apa yang dikatakan teman saya itu? Mohon penjelasan.



Jawaban :
Oleh Ust. Aam Amirudin

Memang benar janur itu menjadi sarana ibadah umat Hindu. Coba Anda perhatikan saat mereka melakukan upacara ngaben, janur menghiasi ritual tersebut. Persoalannya, haramkah kita memanfaatkannya dalam pernikahan atau kegiatan lainnya? Kawan Anda berkesimpulan haram, mungkin merujuk pada hadits Nabi saw. yang menyebutkan, “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka mereka adalah termasuk di dalamnya”. Tampaknya kawan Anda terjebak pada apa yang disebut dengan Fallacy of Dramatic Instance artinya kesalahan yang disebabkan karena over-generalisation (generalisasi secara membuta).
Karena ada keterangan yang melarang menyerupai kebiasaan umat nonmuslim, maka seluruh yang biasa dipakai umat nonmuslim menjadi haram. Ini yang disebut over-generalisation (generalisasi secara membuta). Padahal hadits tersebut harus dilihat dari segi konteksnya, yaitu menyerupai ritual atau ibadah yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
Sementara urusan yang tidak diniatkan sebagai ritual, walaupun ada kesamaan tidaklah dilarang karena ada keterangan yang menyebutkan, “Sesungguhnya amal itu bergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari ) Tidaklah haram kita membuat umbul-umbul yang terbuat dari janur, kalau niatnya bukan untuk ritual (ibadah), tapi hanya sekedar tanda adanya walimah sehingga memudahkan para undangan menemukan posisi atau tempat pernikahan.
Saat Idul fitri banyak umat Islam Indonesia yang membuat ketupat dari janur. Apakah ini haram? Jawabnya: Tidak! Karena kita tidak berniat menyerupai ibadah umat Hindu. Pakaian resmi ibadah umat Yahudi adalah celana dan jas hitam serta dasi. Pertanyaannya, bolehkah kita memakainya? Jawabnya, tentu boleh karena kita pakai jas hitam dan dasi niatnya bukan untuk menyerupai ritual Yahudi, kita memakainya dengan niat menjaga kerapihan dan terkesan resmi. Over-generalisation (generalisasi secara membuta) akan mengakibatkan ajaran-ajaran agama menjadi terasa sempit dan kita akan mengalami ketidak konsistenan.
Tidak konsisten namanya, kalau tidak boleh pakai janur saat pernikahan, namun boleh dipakai untuk membuat ketupat. Wallahu A’lam.
#Tulisan ini diambil dari majalah Percikan Iman


Selasa, 02 April 2013

Hukum Menikah Lewat Internet atau Telepon

Akhir-akhir ini banyak orang yang menanyakan hukum menikah lewat telepon atau internet, apakah sah menutut pandangan Syariah? Jika tidak sah, bagaimana solusinya bagi orang-orang yang tempatnya saling berjauhan, sebagaimana yang terjadi pada diri salah seorang TKW yang berkerja di Hongkong dengan masa kontrak 2 tahun,

kebetulan dia punya kenalan orang dari Solo, keduanya sudah saling mencintai dan ingin segera melakukan akad pernikahan,  sedang kondisi mereka berdua tidak memungkinkan untuk saling bertemu dalam waktu secepatnya, apa yang harus mereka kerjakan, menikah lewat telepon atau internet, atau bagaimana?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan di sini bahwa proses pernikahan dalam Islam mempunyai aturan- aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang sah harus terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan qabul,  sedang syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini semuanya harus dilakukan dengan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur penipuan dan pengelabuhan. Oleh karena itu, calon suami atau wakilnya harus hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di tempat, dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad pernikahan.
Maka untuk menentukan hukumnya, paling tidak ada dua syarat sah nikah yang harus dibahas terlebih dahulu:
Syarat Pertama: calon mempelai laki-laki atau yang mewakilinya dan wali perempuan atau yang mewakilinya harus berada dalam satu majlis ketika dilangsungkan akad pernikahan.
Pertanyaannya adalah apakah dua pihak yang berbicara melaui telepon atau internet untuk melakukan transaksi dianggap dalam satu majlis, sehingga transaksi tersebut menjadi sah?  Dalam hal ini, Majma’ Al Fiqh telah menetapkan hukum penggunakan ponsel, HP, dan internet di dalam melakukan transaksi, yang isinya sebagai berikut: “Jika transaksi antara kedua pihak berlangsung dalam satu waktu, sedangkan mereka berdua berjauhan tempatnya, tetapi menggunakan  telepon, maka transaksi antara keduanya dianggap transaksi antara dua pihak yang bertemu dalam satu majlis.” (Majalah Majma’ Al Fiqh Al Islami, OKI, periode ke – 6  no:2/1256)
Syarat Kedua: pernikahan tersebut harus disaksikan oleh dua orang atau lebih.
Pertanyaannya adalah dua saksi pernikahan tersebut tidak bisa menyaksikan secara langsung akad pernikahan tersebut, mereka berdua hanya bisa mendengar suara akad pernikahan dari kedua belah pihak melalui telepon atau internet, apakah persaksian keduanya telah dianggap sah atau tidak?
Masalah di atas mirip dengan  masalah persaksian orang buta yang mendengar sebuah transaksi antara dua belah pihak, apakah  persaksian orang buta tersebut sah?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:
Pendapat pertama menyatakan bahwa persaksian orang buta tersebut tidak bisa diterima. Ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah.
Berkata Al Kasani: “Persaksian orang buta tidak diterima dalam semua hal. Karena dia tidak bisa membedakan antara kedua belah pihak.” (Badai’ Shonai’ 3/243)
Berkata Imam Syafi’I: “Jika seseorang memberikan persaksian, sedangkan dia buta dan mengatakan: saya menetapkannya, sebagaimana saya menetapkan segala sesuatu dengan mengetahui suaranya atau dengan meraba, maka persaksian orang buta tersebut tidak bisa diterima, karena suara mempunyai kemiripan satu dengan yang lainnya, begitu juga  rabaan mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya” (Al Umm: 7/46)
Pendapat Kedua menyatakan bahwa persaksian orang buta bisa diterima selama dia menyakini suara tersebut. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanabilah.
Tersebut di dalam buku Al Mudawanah Al Kubra (5/ 43): “Apakah dibolehkan seorang buta memberikan persaksian di dalam masalah perceraian? Berkata Imam Malik: “Iya, dibolehkan jika ia mengenali suara tersebut. Berkata Ibnu Al Qasim: Aku bertanya kepada Imam Malik: “Seorang laki-laki mendengar tetangganya dari balik tembok sementara dia tidak melihatnya, ia mendengar tetangga tersebut mencerai istrinya, kemudian dia menjadi saksi atasnya berdasarkan suara yang dia kenal? Imam Malik menjawab: persaksiannya diperbolehkan.”
Di dalam kitab Ad Dzakhirah (10/164) disebutkan: “Kesaksian orang buta terhadap pembicaraan diperkenankan (dianggap sah).”
Di dalam kitab Mukhtashor Al Khiraqi  (hlm: 145) disebutkan: “Diperbolehkan persaksian orang buta jika dia yakin dengan suara tersebut.”
Pendapat kedua ini berdalil dengan beberapa hadits, diantaranya adalah:
1. Hadits Abdullah bin Umar ra, bahwasanya nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada waktu malam, maka makan dan minumlah sampai terdengar adzan Ibnu Maktum” (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bahwa adzan Ibnu Maktum (beliau adalah seorang yang buta) merupakan persaksian darinya terhadap masuknya waktu sholat. Seandainya persaksian orang buta tertolak, tentunya adzannya juga tidak sah.  Begitu juga yang mendengar adzan digolongkan orang yang buta, karena hanya mendengar suara muadzin tanpa melihat secara langsung fisik dari muadzin tersebut, dan itupun dianggap sah.  (Ibnu Abdul Barr, Tamhid: 10/61, An Nawawi, Syarh Muslim: 7/202, Ibnu Hajar, Fathul Bari: 5/ 265)
2.  Dari Aisyah berkata: “Pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sholat tahajud di rumahku, dan beliau mendengar suara Ubad yang sedang sholat di masjid, beliau bertanya, ”Wahai Aisyah apakah itu suara Ubad?” Saya menjawab: “Benar“, beliau langsung berdo’a: “Ya Allah berilah kasih sayang kepada Ubad.” (HR Bukhari)
Dua hadits di atas menunjukkan secara kuat bahwa persaksian orang buta dibolehkan dan dianggap sah di dalam ibadah dan mua’malah.
Jika demikian halnya, bagaimana hukum persaksian dua orang di dalam akad pernikahan lewat telepon maupun internet, apakah dianggap sah?
Orang yang menikah lewat telepon dan internet tidak lepas dari dua keadaan:
Keadaan Pertama: Salah satu pihak yang melakukan akad serta dua orang saksi tidak yakin dengan suara pihak kedua. Maka dalam hal ini, pernikahan lewat telepon dan internet hukumnya tidak sah.
Inilah yang diputuskan oleh  Lajnah Daimah li Al Ifta’ ketika ditanya masalah tersebut, mereka memutuskan sebagai berikut:
“Dengan pertimbangan bahwa pada hari-hari ini banyak penipuan dan manipulasi, serta canggihnya orang untuk meniru pembicaraan dan suara orang lain, bahkan diantara mereka ada yang bisa meniru suara sekelompok laki-laki dan perempuan baik yang dewasa maupun yang masih anak-anak, dia meniru suara dan bahasa mereka yang bermacam-macam sehingga bisa menyakinkan orang yang mendengar bahwa yang bicara tersebut adalah orang banyak, padahal sebenarnya hanya satu orang.
Begitu juga mempertimbangkan bahwa Syariat Islam sangat menjaga kemaluan dan kehormatan, dan agar berhati-hati dalam masalah tersebut lebih dari masalah lainnya seperti muamalah. Oleh karenanya, Lajnah memandang bahwa seharusnya tidak menyandarkan secara penuh akad pernikahan ijab dan qabul serta perwakilannya dengan menggunakan alat telepon, agar tujuan Syariat bisa teralisir serta  lebih menekankan kepada penjagaan terhadap kemaluan dan kehormatan, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada orang-orang jahat untuk bermain-main dalam masalah ini dengan manipulasi dan penipuan. Wabillahi at Taufiq.”
Keadaan Kedua: kedua belah pihak yang melakukan akad sangat mengenal suara antara satu dengan yang lain, begitu juga dua orang saksi yakin bahwa itu suara dari pihak kedua yang melakukan akad. Pada kondisi seperti ini, persaksian atas pernikahan tersebut dianggap sah, dan pernikahannya sah juga. Khususnya dengan kemajuan teknologi sehingga seseorang bisa bicara langsung dengan pihak kedua melalui gambar dan suara, sebagaimana yang terdapat dalam teleconference.
Dalam hal ini Syekh Bin Baz, mufti Negara Saudi ketika ditanya oleh seseorang yang menikah lewat telepon dan mereka saling mengenal suara masing-masing pihak, beliau menyatakan bahwa pernikahaannya sah.
Tetapi walaupun demikian tidak dianjurkan bagi orang yang ingin menikah untuk menggunakan alat teknologi seperti yang diterangkan di atas kecuali dalam keadaan terpaksa dan darurat, hal itu untuk sifat kehati-hatian di dalam melakukan pernikahan karena berhubungan dengan kehormatan seseorang. Wallahu A’lam.

Panji.


Saat Perasaan Itu Hadir: “Buruan Nikah atau Bunuh Saja Perasaan?

Saat Perasaan Itu Hadir: “Buruan Nikah atau Bunuh Saja Perasaan? Keindahan malam dan sayup-sayup lantunan surah Ar-Ruum memberi motivasi untuk mengurai, melukis, merangkai, menyatu kata menjadi kalimat tentang perasaan itu hadir. Kita pasti pernah merasakan cinta atau pesona dengan makhluk Allah, terkadang perasaan itu hadir membuat kita bingung, pusing, galau, gelisah, dan bertanya pada diri sendiri.
“Antara nikah atau bunuh perasaan”
Nah ketika perasaan itu hadir apa tindak lanjutnya? Bagaimana sikap kita? Seperti apa respon kita? Apakah kita harus membunuh perasaan tersebut? Apakah perasaan tersebut membuat kita tak semangat? Apakah perasaan tersebut menjadi pribadi galau atau gelisah? Seperti bahasa D’Masiv “Cinta ini membunuhku” :)
Sedangkan cinta adalah fitrah yang berlaku atas makhlukNya dan cinta pesan agung Allah pada manusia. DitulisNya ketika mencipta makhluk-makhlukNya di atas Arsy. Seperti pemilik cinta jelas dalam surah Ar-Ruum: 21:
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Senada dengan ungkap Pak Romi Sastrio Wahono dalam blog pribadinya hendaknya ketika perasaan itu hadir ubah definisi dan paradigma perasaan tersebut serta bangkitlah, lanjutkan perdjoeangan.
Selanjutnya ungkapan familier pak Romi Satrio Wahono dalam buku beliau (dapat apa sich dari Universitas),Janganlah kalian mengejar cinta. Jadilah legenda yang penuh dengan prestasi dan manfaat untuk orang lain, maka cinta akan silih berganti mengejar kalian. Dan ketika masa itu datang, pilihlah takdir cintamu, kelola cintamu, atur kadarnya, arahkan posisinya, dan kontrol kekuatan cinta sesuai dengan tempatnya”
Jadi perasaan itu tidak perlu kita matikan, tidak perlu kita bunuhkan, tidak perlu kita musnahkan, tidak perlu kita kejar-kejarkan, buru, dan cinta itu perlu kita kelola dalam wadah yang baik dan kesucian nilai.
Namun tidaklah mudah untuk menjaganya dan mengelola perasaan itu seperti membalik telapak tangan apalagi mengelola perasaan pada masa sekarang karena begitu ribuan godaan, rayuan, dan bisikan syetan maupun nafsu untuk menangkapi, merespon atau meletak perasaan di tempat nan salah sehingga salah mengekspresikan perasaan kita.
Insya Allah banyak cara menuju roma hanya dibutuhkan azzam, tekad, niat, keinginan, dan kesabaran untuk menjaga hati menjadi hati yang perawan. Mari kita alih perasaan kita dan mengelola perasaan dengan berbanyak dzikir, mengaji, bermanfaat untuk orang lain dan menyibukkan menjadi pribadi berilmu.
Ketika telah berazzam dan bersungguh-sungguh menjaga perasaan tersebut hanya mencintai Allah maka akan berlaku pula pertolongan Allah untuk memudahkan setiap urusan kita dalam menjaga dan menemu perasaan yang halal.
Jadikan itu sebagai pondasi memotivasi kita untuk senantiasa mengelola cinta menuju arah yang lebih baik dan tauti selalu hati kita dengan Allah Azza wajalla
Mari kita lantunkan doa pernah dilafazkan Sayyid Qutb dalam denyut perasaannya,Ya Allah Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa pada taat pada Mu….maka kokohkanlah. Ya Allah ikatkanlah, kekalkanlah cintanya.”
Semoga kita termasuk hamba Ilah yang mampu menjaga, mengelola, dan menata perasaan hingga waktu Allah pertemukan kita dengan hamba Allah yang pantas untuk kita miliki perasaannya dan mari kita komitmen bangun perasaan kita hingga perasaan kekal hingga surga.

https://www.facebook.com/Mrn.Panji?ref=tn_tnmn