Jumat, 23 Maret 2012

JAngan jadikan Pernikah Tujuan akhir


"Akhirnyaaaa...!" Begitu komentar teman-teman Anda ketika akhirnya Anda menyebarkan undangan pernikahan Anda. Selama ini Anda dikenal sebagai perempuan cuek, yang tidak juga menampakkan tanda-tanda akan menikah. Sehingga ketika akhirnya mengumumkan pernikahan, terlontarlah kata tersebut.

Banyak perempuan menganggap menikah adalah suatu tujuan dalam hidupnya. Hal ini umumnya dialami oleh perempuan yang sejak kecil dibebani suatu konsep bahwa siklus hidup seseorang adalah lahir, sekolah, bekerja, lalu menikah. Menikah di sini dijadikan suatu tahapan akhir dalam siklus hidup tersebut, sehingga hidup perempuan belum tuntas jika belum menikah. Akan menjadi penghalang besar ketika perjalanan cinta perempuan tak semulus harapannya. Akhirnya, ketika usianya semakin bertambah dan terus didesak untuk menikah, begitu menemukan seorang pria yang dinilai cukup memenuhi syarat, perempuan segera memutuskan untuk menikah.

Pada tahap ini, perempuan tentu menganggap bahwa tugasnya sebagai perempuan telah selesai. Tak akan ada lagi desakan atau tuntutan dari keluarga untuk menikah. Bagaimana hidup akan berjalan setelah menikah adalah urusan nanti. Perempuan menjadi lega karena telah berhasil mengubah statusnya dari lajang menjadi menikah.

Perlu disadari bahwa keputusan untuk menikah adalah suatu keputusan besar. Anda akan menjalani sisa hidup Anda bersama pria yang Anda pilih ini. Dibutuhkan suatu komitmen untuk menjalani hidup dalam susah dan senang, komitmen untuk memahami bagaimana kepribadian pasangan Anda yang sesungguhnya, komitmen untuk mencari jalan keluar bila terjadi masalah, dan tentunya komitmen untuk saling membahagiakan. Artinya, dengan menikah Anda justru baru memasuki suatu babak baru dalam kehidupan Anda. Tak percaya?

Bila biasanya Anda mengurus diri sendiri, kini harus mengurusi suami, anak, dan ikut merawat dan membantu biaya perawatan mertua Anda sakit. Anda harus mampu mengelola keuangan agar mampu mencukupi kebutuhan pokok seperti biaya kesehatan, sekolah anak, cicilan rumah dan mobil, dan lain-lainnya. Anda juga masih harus berkompromi dengan suami yang ternyata memiliki perbedaan prinsip hidup. Begitu masa bulan madu berlalu, hal-hal itulah yang Anda hadapi dalam rutinitas sehari-hari.

Anda mungkin juga tak akan menyadarinya, namun akan ada masalah yang muncul bila Anda menganggap tujuan akhir dalam hidup Anda sudah terpenuhi dengan menikah:
1. Anda tidak merasa perlu lagi menghujaninya dengan perhatian, hal yang dulu selalu Anda lakukan untuk "mengikatnya".
2. Anda merasa tak perlu lagi merawat diri untuk memikat seorang pria, karena merasa sudah "laku". Akhirnya, penampilan Anda begitu asal-asalan. Anda tak peduli lagi dengan berat badan yang terus bertambah, muka kusam karena kelelahan, atau berpakaian seadanya.
3. Anda merasa berat dalam menjalani tanggung jawab Anda sebagai istri, menantu, dan ibu. Segalanya Anda anggap sebagai beban, sehingga membuat Anda stres.
4. Hal-hal baru yang Anda temui pada suami, seperti sifat-sifat dan kebiasaannya, Anda anggap sebagai jebakan, karena tidak Anda lihat saat belum menikah.
5. Anda mulai enggan bermesraan dengan suami, dari sekadar ngobrol hingga berhubungan intim. Apalagi jika Anda menikahinya hanya supaya bisa menikah.

Namun, Anda tidak perlu khawatir. Hal-hal di atas tidak akan Anda alami jika Anda telah memahami betul mengapa Anda menikah. Artinya, Anda telah mengetahui dan bersedia menerima semua tanggung jawab Anda sebagai istri maupun ibu. Sehingga, tugas dan tanggung jawab yang berat tersebut akan Anda jalani dengan senang. Karena bagaimana pun, tujuan menikah adalah mendapatkan kebahagiaan.

Aku dan Bapak.., Tak Ada..


Hampir setengah jam ku tercenung di depan layar Monitorku ini..
Yang nampak hanya kursor hitam yang sedari tadi berkedip di sudut kiri atas kotak putih ini..
Otakku blank, tak ada yang mampu ku tulis, pun hanya sebuah kalimat..
Entah kenapa akhir-akhir ini kepala ku dipenuhi sosok itu, bapak..
Sekian tahun ku hidup dan besar di tangan seorang ibu..
Limpahan kasih sayang darinya dan kakak-kakakku membuatku lupa bahwa aku tak punya bapak..


Entah kenapa baru kali ini ku merasa kehilangan lagi, sejak kepergiannya belasan tahun lalu, saat aku belum tahu apa-apa..
Kata kalian yang baru kehilangan bapak, kalian merindukannya..
Namun, aku bahkan tak tahu cara merindukan seorang bapak, apa yang aku harus rindukan darinya?
Aku tak paham..
Kalian katakan, sejak kepergiannya kalian butuh figure seorang bapak..
Bahkan bagaimana rasa memiliki bapak pun aku tak tahu..

Bagiku, bapak hanya ingatan masa kecil ku.. selebihnya, tak ada..
Ku coba mengingat tentangnya.. namun tak sedikitpun ku rasakan apa-apa..
Seperti apa rasanya di cintai bapak?
Bagaimana rasanya dilindungi bapak?
Senangkah dalam pangkuan bapak?
Apa rasanya di gendong seorang bapak?
Tak pernah terfikir oleh ku untuk membayangkan semua itu..
Bagiku, yang memiliki bapak hanya orang lain, aku memang di takdirkan hidup tanpa dia..
Mungkin karena Allah lebih sayang  padanya, hingga menghendaki bapak lebih dekat padaNya..

Aku ingat ketika kecil, hatiku sangat iri melihat teman-teman sekolahku, yang sangat girang ketika pengumuman kenaikan kelas, yang datang menerima rapornya adalah bapak mereka..
Sementara aku, walau selalu meraih rengking pertama di kelas, namun harus puas dengan kedatangan tanteku menerima raporku..

Juga ketika teman-temanku di ganggu oleh teman yang lain yang nakal, mereka akan menangis dan berteriak pada teman yang nakal, akan melaporkan pada bapaknya, dan hal itu mampu membuat temanku yang nakal itu menciut nyalinya dan menghentikan kenakalannya..

Namun aku ? kepada siapa ku harus mengadu dengan semua kenakalan mereka? Pada siapa ku akan meminta tolong ketika ku mengalami kesulitan seperti ketika kelas 3 SD ku disuruh membuat prakarya dari kayu untuk di pahat menjadi ‘lepa-lepa’ (perahu), teman-temanku tak sedikitpun terbebani, karena di rumah mereka ada bapak yang mampu menyelesaikan semua urusannya dengan mudah.. namun aku, aku harus bersusah payah mencari kayu sendiri, memotong dengan tangan kecilku yang akhirnya berakhir penuh luka dan tertusuk kayu.. 
sejak kecil ku harus mampu menyelesaikan masalahku sendiri.. mengahadapi teman-teman laki-laki yang suka menarik kepang rambutku, tanpa menangis, aku tak suka menangis, karena jika kalian menangis, mungkin ada tangan bapak yang menyekanya.. Namun aku, dengan menangis, membuatku tanpak semakin lemah.. Dan akhirnya aku harus mampu mengusap air mataku sendiri..

Walau ketika sedihku tak mampu lagi ku bendung, akupun memilih sudut kamarku dan meringkuk menangis di sana dengan bantal di mulut agar tante dan nenek tak tahu aku sedih..

Bapak, entah apa yang harus ku tulis tentangnya.. tak ada kenangan.. tak ada cerita..
Bahkan ku tak tahu bagaimana rasanya memiliki bapak..

*********************************************

Aztriana, Makassar

Kasih Yang Tersia.....

Ini adalah sebuah cerita yang menggambarkan bagaimana kasih sayang orang tua kepada kita, tapi terkadang banyak yang tidak mensyukurinya.

Seorang pemuda sebentar lagi akan diwisuda, sebentar lagi dia akan Menjadi seorang sarjana, akhir dari jerih payahnya selama beberapa tahun di bangku pendidikan. Beberapa bulan yang lalu dia melewati sebuah showroom, dan saat itu dia jatuh cinta kepada sebuah mobil sport, keluaran terbaru dari Ford. Selama beberapa bulan dia selalu membayangkan, nanti pada saat wisuda ayahnya pasti akan membelikan mobil itu kepadanya. Dia yakin, karena dia anak satu-satunya dan ayahnya sangat sayang padanya, sehingga dia yakin banget nanti dia pasti akan mendapatkan mobil itu. Dia pun berangan-angan mengendarai mobil itu, bersenang-senang dengan teman-temannya, bahkan semua mimpinya itu dia ceritakan keteman-temannya.

Saatnya pun tiba, siang itu, setelah wisuda, dia melangkah pasti ke ayahnya. Sang ayah tersenyum, dan dengan berlinang air mata karena terharu dia mengungkapkan betapa dia bangga akan anaknya, dan betapa dia mencintai anaknya itu. Lalu dia pun mengeluarkan sebuah bingkisan,… bukan sebuah kunci! Dengan hati yang hancur sang anak menerima bingkisan itu, dan dengan sangat kecewa dia membukanya. Dan dibalik kertas kado itu ia menemukan sebuah Al-Qur’an yang bersampulkan kulit asli, dikulit itu terukir indah namanya dengan tinta emas. Pemuda itu menjadi marah, dengan suara yang meninggi dia berteriak, “Yaahh… Ayah memang sangat mencintai saya, dengan semua uang ayah, ayah belikan Al-Qur’an ini untukku ? ” Lalu dia membanting Alquran itu dan lari meninggalkan ayahnya. Ayahnya tidak bisa berkata apa-apa, hatinya hancur, dia berdiri Mematung ditonton beribu pasang mata yang hadir saat itu.

Tahun demi tahun berlalu, sang anak telah menjadi seorang yang sukses,dengan bermodalkan otaknya yang cemerlang dia berhasil menjadi seorang yang terpandang. Dia mempunyai rumah yang besar dan mewah, dan dikelilingi istri yang cantik dan anak-anak yang cerdas. Sementara itu ayahnya semakin tua dan tinggal sendiri. Sejak hari wisuda itu, anaknya pergi meninggalkan dia dan tak pernah menghubungi dia. Dia berharap suatu saat dapat bertemu anaknya itu, hanya untuk meyakinkan dia betapa kasihnya pada anak itu.

Sang anak pun kadang rindu dan ingin bertemu dengan sang ayah, tapi mengingat apa yang terjadi pada hari wisudanya, dia menjadi sakit hati dan sangat mendendam.

Sampai suatu hari datang sebuah telegram dari kantor kejaksaan yang memberitakan bahwa ayahnya telah meninggal, dan sebelum ayahnya meninggal, dia mewariskan semua hartanya kepada anak satu-satunya itu. Sang anak disuruh menghadap Jaksa wilayah dan bersama-sama ke rumah ayahnya untuk mengurus semua harta peninggalannya. Saat melangkah masuk ke rumah itu, mendadak hatinya menjadi sangat sedih, mengingat semua kenangan semasa dia tinggal di situ.

Dia merasa sangat menyesal telah bersikap jelak terhadap ayahnya. Dengan bayangan-bayangan masa lalu yang menari-nari di matanya,dia menelusuri semua barang dirumah itu. Dan ketika dia membuka brankas ayahnya, dia menemukan Alquran itu, masih terbungkus dengan kertas yang sama beberapa tahun yang lalu.Dengan airmata berlinang, dia lalu memungut Alquran itu, dan mulai membuka halamannya. Di halaman pertama Alquran itu, dia membaca tulisan tangan ayahnya, ‘Ayah sangat mencintai dan bangga padamu nak..”

Selesai dia membaca tulisan itu, sesuatu jatuh dari bagian belakang Alquran itu. Dia memungutnya,….sebuah kunci mobil! Di gantungan kunci mobil itu tercetak nama dealer, sama dengan dealer mobil sport yang dulu dia idamkan ! Dia membuka halaman terakhir

A-Quran itu,dan menemukan di situ terselip STNK dan surat-surat lainnya, namanya tercetak di situ. dan sebuah kwitansi pembelian mobil, tanggalnya tepat sehari sebelum hari wisuda itu.

Dia berlari menuju garasi, dan di sana dia menemukan sebuah mobil yang berlapiskan debu selama bertahun-tahun, meskipun mobil itu sudah sangat kotor karena tidak disentuh bertahun-tahun, dia masih mengenal jelas mobil itu, mobil sport yang dia dambakan bertahun-tahun lalu. Dengan buru-buru dia menghapus debu pada jendela mobil dan melongok ke dalam. bagian dalam mobil itu masih baru, plastik membungkus jok mobil dan setirnya, di atas dashboardnya ada sebuah foto, foto ayahnya, sedang tersenyum bangga.

Mendadak dia menjadi lemas, lalu terduduk di samping mobil itu, air matanya tidak terhentikan, mengalir terus mengiringi rasa menyesalnya yang tak mungkin diobati…

Kamis, 22 Maret 2012

Surat Cinta Untuk Suamiku...


Entah dengan apa ku harus menggambarkan segala rasaku padamu..
Tak cukup dengan untaian kata, dan barisan kalimat indah..
Tak mampu tergambar dengan pewarna apapun, semuanya terlalu indah..
Tak ada kan kanvas yang mampu membingkai semua warna tentangmu..
Karena kau begitu indah disini.. dihatiku..


Tahukah betapa besar rasa syukurku, ketika Allah memilihku menjadi pendampingmu..
Tak pernah ku merasa cukup mensyukuri nikmat itu..
Batapa bahagiaku ketika kau memilihku diantara sekian banyak bidadari yang jauh lebih indah di luar sana..
Kau tahu dengan sangat tahu, aku hanya wanita dengan segala keterbatasan. dan kau tetap memilihku..

Duhai lelaki pilihan Allah untukku..
Tahukah betapa buncahan di dada ini seakan ingin meledak, membawaku ke awan yang hanya mampu kuekspresikan dengan air mata.
ketika dari lisanmu kau sebut namaku dalam lantunan ijab kabul yang suci.
ketika itu pula ku abdikan diriku padamu, dengan segala ketundukan yang kumiliki..
dan kau tahu, bahwa akan ku patuhi inginmu selama tak bermaksiat pada sang maha Kasih, Rabbul izzati..

Duhai Lelakiku, penghias mata dan hatiku..
Tak pernah ku lalui tiap hari, tiap jam, tiap detik kecuali kulalui hanya dengan jatuh cinta padamu..
Tak akan pernah berkurang rasa ini padamu, karena disini di hati ini kaulah yang terindah..
Dan akupun berharap dengan segala kekuranganku, kau sudi menjadikanku perhiasan terindah di mata dan hatimu..
Aku tahu, diri ini tak jelita dan tak se cerdas Aisyah, apa lagi setakwa Khadijah, Namun sungguh ku akan belajar mencintaimu seperti mereka, cinta yang terbingkai atas namaNya..

Kasihku, pewarna terindah dalam hidupku..
tahukah betapa tiap pagi kulalui dengan rasa cemas melepasmu pergi, sungguh bukannya ku tak percaya pada kesetiaanmu.
Namun mungkin karena cinta ini begitu besar padamu, dan akan berakhir dengan pelukan penuh rindu ditiap senjaku..
menyambutmu dengan segenap rindu dan cintaku.

Pelipur laraku..
Aku pun tahu betapa lelah dan penat harimu, bergelut dengan rutinitas kerjamu..
Kau lalui dengan penuh keikhlasan demi aku, demi anak-anak kita, demi kami amanahmu dariNya..
Sungguh, katika kau lelap dalam tidurmu, aku menangis menatapmu dalam wajah lelahmu..
betapa ku hargai tiap tetesan keringatmu, bukan berapa banyak yang telah kau beri, namun berapa banyak cinta dalam tiap tetes keringatmu, dalam tiap lelahmu.. Dan aku selalu merasa cukup dengan itu..

Cintaku, labuhan hatiku..
Gandeng tanganku ke JannahNya..
Jangan segan membangunkanku di 1/3 malam terakhir, bersama kita mengarungi samudra cinta dalam lautan dzikir..
jangan pernah segan menegurku dalam tiap khilafku, aku adalah wanita bisa, ada kalanya ku berbuat salah padamu, maka bersabarlah padaku, jangan membentakku atau membiarkanku..
kau tahu aku adalah kaum yang tercipta dari tulang rusuk yang bengkok..
Tatap mataku dengan cintamu, genggam tanganku dan nasihati aku dengan lembut. kau akan menemukanku menangis dalam dekapanmu.. dan kau akan kembali memiliki hatiku..

Kasihku dunia akhirat..
Kau adalah nahkodaku, kemana kau mengarahkan haluan rumah tangga kita, disitu pula aku akan mengikutimu..
Maka jadilah imam yang baik untukku, Ajarkan aku mencintaimu karenaNya..
Ridholah padaku, maka Rabb kitapun akan Riho padaku..
Mudahkanlah jalanku ke JannahNya..

Sungguh, cintaku padamu akan bertambah seiring ketakwaanmu padaNya, dan akan berkurang dengan kemaksiatanmu padaNYa.. Aku mencintaimu karena Allah..


*****************************@@@@@@@@@@********************************

Rabu, 21 Maret 2012

Hingga aku menutup mata, aku masih tetap dijalan ini

Jika saja jalan ini indah, pasti tak sedikit kan mengiringi..
Jika saja jalan ini mudah, lihatlah betapa banyak yang bertahan..
Jika saja jalan ini singkat, akan banyak yang setia menyertai..
Jika saja jalan ini menjanjikan nikmat dunia, maka akan banyak yang tergiur manisnya..

Namun jalan ini tak semulus itu..
Begitu banyak onak dan duri..
Penuh kerikil tajam menanti di hadapan..
Begitu sulit dan berkelok-kelok..
Bagitu panjang dan jauh membentang..


Perjuangan ini tak semanis dalam bayangan..
Iman di hati tak selamanya membumbung tingginya..
Akan ada lelah, perih, sakit, dan jenuh..
Dan seytan pun kan segera mengambil peran..
Menambah lelah, semakin lelah, menambah jenuh semakin jenuh..

Kawan, ingatkah dulu di awal kita berjumpa?
Ghiroh di dada begitu membuncah..
Bersama dengan lantang kita teriakkan kalimatullah..
Dengan tangguh dan setegar karang berada di shaff terdepan..
Tak rindukah dengan indahnya rasa itu..?

Kawan,  kau benar, estafet perjuangan akan selalu berganti..
Kita yang dulu pemegang kendali, akan terganti dengan generasi selanjutnya..
Namun, sudikah kita jika ruh dalam raga masih bersemayam,
Namun kita telah menjadi orang yang tergantikan..?
Benarkah nama kita telah terukir dalam tinta emas perjuangan..?
Atau terhapus karena giuran dunia yang memabukkan?

Kawan, Betapa dulu indahnya lelah dalam balutan iman..
Manisnya letih dan penat dalam bara dakwah yang membara..
Namun kini, ribuan detik terlewat demi mengejar dunia..
Ratusan jam berlalu demi segenggam harta..
Adakah dakwah masih menjadi nafas kita..?
Adakah jalan ini masih kita rindukan..?

Ketika gerakan tangan kita mengalirkan kesembuhan pada manusia..
Adakah bersamanya keikhlasan masih terjaga?
Ataukah sepenuhnya telah ditujukan untuk meraih indahnya dunia?
Ketika Setiap detiknya jiwa dan raga kita bergelut dalam roda kehidupan duniawi..
Lupakah kita..?

Dahulu diantara perihnya sakharatul maut, sesosok manusia mulia merintih dalam sakit yang luar biasa..
Bukan sakitnya yang dia takutkan.. bukan keluarganya..
Namun Ummatnya.. ummatnya.. kita..
Tahukah kenapa? Karena dia tahu, betapa dunia akan menyeret kita jauh darinya..

Maka...
andai engkau terjatuh,bangkitlah kembali...
andai terluka,sabarlah dan harapkanlah pahala berlipat tak terhingga...
andai lelah dan lemah,ingatlah gerbang Firdaus yg menanti dan saat perjumpaan dengan wajahNya...
tahukah engkau saudariku,mengapa perjuangan itu pahit??
Karena syurga itu manis..

Teriakkan dalam hati.. resapi dalam hingga ke jantung.. mengalir dalam setiap aliran darah kita..
“Islam.. Kami Masih di sini.. Dan akan tetap Di sini.. Hingga tubuh ku kaku, hingga jantung tak berdetak, hingga mata ini menutup dari dunia.. kami masih di sini..”


Ukhti.., Kamipun Pernah Merasakannya

Tertegun aku malam ini, seorang saudariku mengeluhkan semua kegundahan hatinya..
Dia lelah dan mulai jenuh dengan aktifitas dakwah dan tarbiyah..
Entah kenapa hatinya begitu sulit dia gerakkan ke majelis-majelis ilmu lagi..
Ku terdiam dan mendengar semua ceritanya..
Setelah dia selesai, akupun tersenyum dan berkata..

Ukhti, bukan hanya kau yang merasakannya, aku juga demikian..
Bahkan akhwat-akhwat yang lain yang mungkin keilmuannya jauh di atas kitapun juga merasakannya.

Ukhti, jalan yang kita tempuh ini bukan medan yang mudah…
Kita harus mampu menekan semua keinginan kita yang sejalan dengan nafsu kita, jika itu bertentangan dengan kehendakNya..
Pilihan hidup kita ini, berbeda dengan mereka di luar sana.
Mereka yang hidup tanpa ilmu, akan bebas melakukan apapun yang mereka inginkan..
Namun kita, kita punya tujuan di atas itu semua..
Kau ingat kan ukhti ? apa tujuan kita sebenarnya? (kataku sambil tersenyum padanya)
RidhoNya.. Ridho Allah..
Kau tahu kan? Bagaimana memperolehnya?  (kau hanya terdiam, dengan mata berkaca-kaca)
(tersenyum)  Ridho itu hanya dapat kita peroleh dengan menjalani hidup sesuai dengan kehendakNya..
Ridho itu hanya mampu kita raih dengan menjauhi semua hal yang tak di sukainya..
Lalu bagaimana kita mampu mengetahui apa yang Dia kehendaki dan yang tak dikehendakinya?
Yah, dengan menuntut ilmu, dengan mendatangi majelis-majelis dzikir itu..
Hanya dengan begitu kita tahu, jika itu saja kita mulai lelah mencari tahu, lalu bagaimana kita bisa meraih RidhoNya?

Ukhti, Jangan kau kira, keimanan kami akhwat-akhwat yang lain selalu stabil dan berada dalam taraf tinggi, dipuncak iman..
Tidak, kami pun sama denganmu, rasa jenuh itu pun senantiasa menghampiri, namun ingatlah,
Itulah tipu daya syaitan, dia tak akan lelah mendatangi  kita hingga kita melangkah di belakangnya mengikutinya dan semakin jauh dari jalan Allah..
Kamipun kadang sangat merasa malas, merasa betapa berat kaki ini melangkah, tapi kami paksakan diri ini bergerak, bahkan kalau perlu akan kami seret kaki kami menuju halaqah-halaqah itu, kenapa? ingatlah dan tanamkan dalam hatimu, hanya jiwa-jiwa terpilih yang dikuatkan Azzamnya oleh Allah untuk melangkah mendekatiNya ke taman-taman syurgaNya.
Dan katakan pada dirimu.. bahwa jiwa-jiwa terpilih itu haruslah kau..
Ukhti, ketahuilah, manusia hanya berada dalam 2 keadaan, jika ia tak berada dalam keadaan bertakwa pada Allah maka pastilah ia berada pada kondisi bermaksiat pada Allah..
Ukhti, kematian datang kapan saja, relakah kau jika kau di panggil dalam keadaan lalai padaNya?
Jika kau menghadap pada Allah dalam keadaan futur.
Alangkah merugi orang-orang yang disesatkan oleh Allah setelah beriman..
Alangkah kasihan orang-orang yang membelenggu dirinya dalam nafsu duniawi yang merupakan kenikmatan sesaat..
Alangkah menderitanya seseorang yang berjalan menyelisihi Allah..

Ukhti kau katakan malu untuk kembali, kau malu karena telah lama meninggalkan tarbiyah dan jamaah ini?
Apa yang kau malukan? Pada siapa? Allah? Akwat? Murobbiyah?
Masyaallah, ukhti.. ketahuilah, kami jauh lebih bahagia menemukanmu kembali berada dalam barisan jamaah ini, bahkan tak akan mungkin pernah terpikir di kepala kami untuk mencemoohmu, bahkan kami akan sangat kagum padamu, batapa kuat dirimu melawan godaan syaitan yang begitu besar pada dirimu dan kau mampu kembali ketengah-tengah kami..
Kami bahkan akan sangat iri padamu, betapa Allah sangat mencintaimu dengan tak pernah membiarkanmu jauh darinya, kendati banyak kekecewaan yang kau toreh di hatiNya, namun lihatlah Saking cintaNya Allah padamu, keimanan itu tetap dia lekatkan di hatimu, lihatlah betapa kegelisahan dan rasa rindu dengan jalan ini masih ada dihatimu.. lalu apa yang kau malukan? Tahukah kau? Bahwa Allah akan lebih bahagia mendapatkan hambanya yang kembali padaNya dan bertobat, dari pada seorang musafir yang menemukan bekalnya yang hilang di padang pasir.. lalu apa yang kau tunggu?
Ukhti, jangan malu, kembalilah.. jangan takut, kembalilah..
Kami masih tetap disini, seperti dulu.. menyambutmu dengan tangan terbuka..
Tak ada yang berubah..

Kau menangis.. Bahagia..

Kupeluk..
Ana uhibbuki fillah..
**************************************************

Aztriana_Makassar ^_^

Ukhuwah..Hanya Manis Di ujung Lidah..

Kisah Kiriman dari Akh Marwan

 
Bismillahirrahmanirrahiim Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ini adalah perjalanan hidupku, yang aku goreskan lewat kata-kata, sebab bibir ini telah keluh untuk berucap... Malam ini, kulihat jarum jam telah menunjukan pukul 02.00 dini hari, namun aku masih belum bisa memejamkan mataku, bayang-bayang kepiluan selalu mengganggu fikiranku, dan hari ini, adalah hari ke 4 dimana aku telah pergi meninggalkan rumah dan segala kepiluan yang ada dilamannya. Hari ini juga adalah hari yang ke 4 dimana aku telah terpisah dengan istri dan anak-anakku.
Kurasakan kerinduan ini teramat mendalam, aku ingin memeluk mereka, aku ingin merengkuh mereka dalam dekapan kasih sayang, namun ternyata aku tak memiliki daya untuk mewujudkannya. Aku terpaksa meninggalkan mereka dengan sebuah alasan yang jelas, aku ingin berihtiar untuk sebuah urusan yang begitu menyesakkan dadaku, dan aku sendiri tak tahu sampai kapan semua ini akan beroleh penyelesaian...aku bingung, hatiku kalut..., aku seperti orang hina yang mengetuk pintu hati setiap insan untuk meminta pertolongan..., yah.., pertolongan yang begitu sangat berarti buat hidupku dan keluargaku, namun hingga kini pertolongan itu seolah masih jauh dari hidupku...

Al-kisah...:

Tujuh tahun yang lalu, ayahku telah meminjam dana sejumlah Rp. 15.000.000 pada seorang dermawan, karena sebuah desakan kehidupan yang menyeretnya terpaksa harus meng-adakan dana tersebut, dimana saudarku yang tua meminta segera dinikahkan dengan wanita pujaan hatinya, padahal kondisi keluarga saat itu sanagat tidak mendukung, namun kondisi tersebut tak dimengerti oleh kakakku, sehingga bila hasrat hatinya tak dikabulkan oleh ayah, maka rumah kami yang akan menjadi sasaran kemarahannya, yah, dia berniat akan membumihanguskan rumah dan seisinya bila nanti impiannya tak jadi nyata..., itulah mengapa kedua orang tuaku terpaksa harus mengadakan uang tersebut dengan jalan meminjam dari dermawan yang dapat terketuk pintu hatinya..., saat itu, karena aku masih kuliah, sehingga aku tak dapat berkata apapun, selain berdoa semoga orang tuaku dapat melunasi pinjaman tersebut. Waktu terus bergulir, hingga masalah itupun usai berlalu..., bahkan aku sendiri telah lupa dengan masalah piutang tersebut, tahun 2006 aku menikah dengan seorang muslimah yg taat, hari-hari kami lalui dengan kebahagiaan, berbagai cobaan kami lalui bersama, hingga lahirlah 2 Jundi mungil dari rahimnya, Alhamdulillah, alangkah bahagianya hatiku saat itu, hingga datanglah musibah ini.., dermawan tersebut datang menemui kami dan menagih uang yang dipinjam ayah pada 7 tahun silam, saat itu aku shock, aku tak menyangka kalau ternyata pinjaman itu selama 7 tahun belum dibayar oleh ayah, hingga kondisi beliau saat ini tak memungkinkan lagi untuk membayar pitang tersebut, faktor usia dan ekonomi yang pas-pasanlah yang menjadi alasannya, hatiku miris mendengarnya, sakit..namun perlahan muncul rasa iba dalam hatiku..”Kasihan ayah..dia harus mengalami ini dimasa tuanya, haruskah aku berlepas diri dari masalah ini?, sementara dia adalah ayahku.., ya Allah..kuatkanlah hatiku...” itulah ujuarku saat itu. Kucoba untuk bermusyawarah dengan kedua saudaraku, mencari solusi yang terbaik untuk melepaskan beban ayah yang kini tengah merong-rong masa tuanya, namun kedua saudaraku tidak memberi respon dan memilih untuk pergi menjauh dari kehidupan kami, karena tak ingin menanggung malu dengan rong-rongan penagih yang setiap hari datang kerumah, aku sangat terpukul, air mataku tak terbendung. Yang ada dalam benakku hanyalah “ayah”, kasihan dia..., kuingat betul saat itu, ba’da jum’at aku bermusyawarah dengan istriku, kulihat tak ada guratan sedih diwajahnya, ketegarannya membuat aku kuat dalam menghadapi kemelut hidup ini, bahkan dari bibirnya terucap kata-kata yang begitu bijak, yang telah membuatku lupa, bahwa aku sedang dalam masalah besar, Subhanallah...terima kasih ya ALLAH, engkau mengujiku dengan maslaah ini, namun KAU pula telah mengutus penawarnya yang saat ini tengah mendampingiku. Maha Suci Engkau ya Allah. Akhirnya, dengan kesepakatan bersama (aku dan Istri), tabungan yang belum seberapa, yang telah berbulan-bulan lamanya kami tabung untuk mewujudkan Rumah Mungil Impian, kami ikhlaskan untuk membayar tagihan pinjaman tersebut meskipun belum sepenuhnya menutupi, dan istriku telah rela menelan pahitnya kehidupan dengan memulai segalanya dari awal, bahkan terkadang harus merelakan hasrat hati dalam perasaan lapar dan haus, begitu tabahnya dia hingga kesyukuran tak pernah pupus dari bibirku. Hingga suatu hari, tepatnya hari selasa 25 Agustus 2009, aku diundang oleh Saudaraku kesurabaya untuk sebuah urusan, yah, Urusan Dakwah, saat undangan itu tiba, hatiku bimbang, aku tak tahu apakah aku harus memenuhi undangan tersebut atau tidak, sementara aku di deadline harus menutupi sisa piutang ayah pada tanggal 5 sepetember 2009, disisi yang lain, istriku tercinta baru 2 pekan lamanya usai melahirkan putra kedua kami. Dalam kebimbangan tersebut, lagi-lagi istriku memotifasi aku untuk memenuhi undangan tersebut, Katanya padaku saat itu “aba, pergilah.., tak usah fikirkan umi, sebab Allah akan menjaga kami, dan insya Allah aba selamat hingga pulang nanti, ini adalah bagian dari dakwah, yakinlah bahwa BILA KITA MENOLONG AGAMA ALLAH, MAKA DIA PULA AKAN MENOLONG KITA DARI KESULITAN DAN HIMPITAN HIDUP..”, kata-kata lembutnya itu yang membuat hatiku yakin untuk memenuhi undangan tersebut, akhirnya aku silaturahim kesurabaya dengan niat LILLAHI TA’ALAA.., hari-hari aku lalui dengan semangat saat berada disana, ukhuwah yang begitu kental dan kemesraan yang indah bersama saudara-saudara seaqidah telah membuatku melupakan masalah yang kutinggalkan di Gorontalo, berbagai aktifitas aku tekuni disana, dan aku sangat menikmatinya, sebab aku melakukan sebuah tugas mulia, hingga pada hari ahad malam tanggal 30 agustus 2009 aku dikagetkan dengan dering handpone yang kupinjam dari sahabatku disana, kulihat ada sebuah panggilan dari nomor yang kukenal, yah, nomor sahabatku dari makassar, perlahan telepon itu aku jawab, kudengar suara diseberang, ternyata suara ayahku, dalam teleponya beliau dengan tersedu dalam tangisannya mengingatkan aku agar segera pulang, karena deadline waktu pelunasan sisa pinjaman tinggal 6 hari lamanya, mendengar hal tersebut aku jadi panik, kemana lagi aku harus mencari dana sejumlah itu untuk menutupi sisa pinjaman tersebut, akhirnya dengan menanggalkan rasa malu aku mulai berikhtiar pada saudara-saudaraku diasna, dan berharap ada angin segar yang dapat membuat aku tersenyum kembali setelah ketegangan dan rasa panik yang menggelayut dihatiku, tapi sepertinya kondisi pula yang membuat mereka tak bisa berbuat banyak, hanya tatapan sedih dan ucapan doa yang keluar dari bibir mereka, Ya ALLAH, lalu aku harus bagaimana?, haruskah aku menyegerakan diri untuk pulang?, sementara masih ada tugas yang harus aku selesaikan disurabaya ini. Dengan perasaan sedih aku mengungkapkan niatku untuk segera pulang kemakasar, semua terjadi begitu cepat, hingga hanya dalam hitungan jam aku telah kembali menginjakan kakiku dimakassar, saat pertama kali menapakan kaki ditanah kelahiranku, berbagai perasaan berkecamuk dihatiku, antara bahagia, cemas dan bingung, bahagia karena bisa berkumpul bersama keluargaku, bersama istri dan anak-anakku, serta cemas dan bingung dengan masalah yang sedang menantiku, namun aku berusaha untuk menjalani semuanya, karena ini sudah merupakan garisan hidup yang harus aku lalui, Ya ALLAH..berikan aku petunjuk untuk melalui semua ini. Hari-hari mulai aku lewati, jarum jam tak mau kompromi, dia selalu berputar menunaikan kewajibannya. Demi kehormatan keluarga, berbagai cara aku tempuh untuk mencari pinjaman dana, aku bahkan rela berpasrah diri dengan cara mengetuk satu persatu pintu rumah sahabat-sahabatku seiman dan seaqidah disini, namun karena kondisi ekonomi yang pas-pasan, akhirnya hanya rasa simpatik yang terus mengalir untuk keluargaku tanpa ada penyelesaian yang berarti, hingga tanggal 5 itupun tiba, sementara aku belum menemukan pinjaman sepeserpun, bahkan tak ada kabar gembira dari pihak manapun untuk sekedar melepaskan diriku dari himpitan beban ini, pukul 10 pagi kulihat wajah-wajah masam mengetuk pintu rumahku, yah.., mereka adalah penagi-penagih yang diutus oleh sang rentenir mengih sisa uangnya, ya Allah, kurasakan langit seolah mau runtuh, tak kala aku mengabarkan bahwa aku belum memiliki uang tunai untuk membayar sisa pinjaman tersebut, amarah, umpatan dan cacian mengalir untukku dihadapan puluhan masyarakat yang kebetulan saat itu sedang bermain volly tak jauh dari rumahku, alanghkah malunya aku saat itu, ada rasa benci mulai merayap dalam sum-sum nadiku, benci pada nasib, benci pada hidup dan benci pada diriku sendiri yang tak becus mendapatkan dana itu, dengan perasaan memelas aku memohon toleransi waktu pada mereka, akhirnya dengan berbekal kebijakan dari big bos mereka, akupun diberikan toleransi waktu 5 hari kedepan, dan harus menepati janjiku melunasi sisa pinajaman tersebut pada tanggal 10 september nanti. Jujur meskipun harga diriku dan keluarga telah terinjak-injak, namun aku berusaha bangkit dan harus tertatih-tatih kembali menengadahkan tanganku bak pengemis yang mengharap belas kasih dari orang-orang kaya, air mataku selalu menetes deras mengiringi setiap langkahku, mengharap ada secercah kebahagiaan yang dapat menyelamatkan aku dari masalah ini, aku mulai memanfaatkan jasa telepon selulerku untuk menghubungi beberapa pengusaha kaya yang kuanggap masih memiliki hati nurani dan belas kasih, kukirim pesan-pesan singatku pada beberpa nomor yang kuanggap masih memiliki rasa sayang padaku dan keluarga, dengan sebuah harapan, semoga ada satu dari sekian nomor tersebut yang akan iba pada deritaku ini, namun lagi-lagi hanya rasa simpatik yang aku dapatkan, tanpa ada ujung peneyelesaian, bahkan tanpa mereka mintapun aku menanggalkan rasa maluku dengan mengirimkan nomor rekening ATM teman yang aku pinjam, juga dengan penuh harapa, agar saldo yang tersisa 10.000 didalamnya bisa bertambah menjadi 6 jutaan, dengan penuh harap aku selalu datang kemesin ATM untuk sekedar mengecek apa telah ada keajaiban untuk solusi dari maslahku ini, pagi, siang, sore, malam, bahkan tengah malampun aku selalu meluangkan waktuku untuk mengecek rekening ATM tersebut, namun hasilnya masih tetap sama, saldonya tetap Rp. 10.000. air mataku selalu tak bisa kubendung mengetahui kenyataan tersebut, sempat terfikir olehku mengakhiri hidup ini, aku kalut, hatiku kecewa, , ANDAI BUNUH DIRI TERSEBUT BUKALAH DOSA, MAKA MUNGKIN PILIHAN INILAH YANG TELAH KUTEMPUH, aku juga mulai menyadari bahwa aku tak bisa berharap banyak dari mereka, sebab mereka bukan siapa-siapaku, mereka juga bukan keluargaku, sehingga aku tak pantas harus menaruh harapan pada mereka. hingga akhirnya hari jum’at 9 september 2009 pukul 02 dini hari, aku mulai mengemasi pakaianku, aku berniat untuk turun dari rumahku, karena tak kuat menerima hinaan, cacian dan makian dari penagih yang selalu datang kerumah, perlahan kukecup kening istriku yang tertidur pulas, kulihat ada air bening menetes dipipinya, kutatap wajah sendunya, ada guratan-guratan sedih dan letih diwajahnya, perlahan juga aku mengecup kening anak pertamaku ‘Ismail’ namanya, dia adalah anak penurut, yang selalu merasa sedih dan menangis bila sehari tak melihatku, kurasakan air bening mengalir dipipiku, “MAAFKAN PAPA SAYANG, PAPA TERPAKSA MENINGGALKAN KALIAN UNTUK SEMENTARA WAKTU, ABA JANJI BILA NANTI MASALAH INI SELELSAI, PAPA AKAN KEMBALI PADA KALIAN, PAPA AKAN MEMBAHAGIAKAN KALIAN, DAN INSYA ALLAH TIDAK AKAN PERGI LAGI MENINGGALKAN KALIAM, MAAFKAN PAPA NAK..”ujarku perlahan samabil memeluk erat anakku yang sementara tertidur pulas, aku yakin, besok pagi ketika dia bangun dari tidurnya, pasti orang pertama yang akan dicarinya adalah aku, kemudian perlahan pula aku medekap anak keduaku yang baru lahir sebulan lalu, air mataku kembali tak bisa kubendung..., kasihan dia, seharusnya sebagai seorang ayah aku berada disamping mereka saat ini, tapi apa boleh buat, semua harus kujalani, tak ada pilihan lain lagi bagiku, kusisipkan sepucuk surat didekat istriku yang terbaring letih..”MA, MAAFKAN PAPA SAYANG, PAPA JANJI INSYA ALLAH AKAN KEMBALI.., JAGA ANAK-ANAK KITA YA.., JAGA DIRI KALIAN BAIK-BAIK YA.., PAPA AKAN SELALU BERDOA BUAT KALIAN, SEMOGA KITA AKAN TERLEPAS DARI BEBAN INI, DAN AKAN BERKUMPUL KEMBALI NANTI...”, akhirnya dengan menenteng beberapa potong pakaian aku mulai melangkahkan kakiku meninggalkan rumah, malam itu aku langgsung mendatangi mesin ATM untuk yang kesekian kalinya, tetapi hasilnya masih sama. Tanggal 10 akhirnya tiba juga, dan kenyataan pahit tak dapat dielakkan, ketika emosi tak terbendung lagi, kudengar kabar bahwa satu persatu perabot isi rumahku telah dieksekusi, dijemput sebagai jaminan, bagiku mungkin prabot itu tak berarti apa-apa, namun harga diri kami yang telah terinjak-injak bagiku begitu sulit untuk kuterima, apalagi eksekusi itu kembali terjadi pada siang hari dan dihadapan orang banyak, meski dari jarak yang sangat jauh, namun rasa kecewa idan malu itu tak bisa aku sembunyikan, hari-hari aku lalui dengan kesedihan, aku hanya berharap semoga istri dan anak-anakku dalam keadaan baik-baik dirumah, dengan perasaan sedih aku kembali mendatangi mesin ATM untuk mengecek kembali isi rekening itu, tetapi hasilnya masih sama, hingga akhirnya aku telah pasrah..., mungkin inilah jalan hidup yang harus aku tempuh, dengan perasaan lunglai aku tersungkur didekat mesin ATM, kulihat arloji ditanganku menunjukan pukul 23.00. beberapa saat kemudian aku mendengar sebuah sapaan suara asing yang ternyata adalah seorang lelaki paro baya, TOMMY namanya, pria ini ternyata sudah beberapa hari ini memperhatikan gelagatku, rasa kalut yang menderaku, dan itu membuatnya terenyuh, disapanya aku dengan tuturnya yang lembut, akhirnya percakapan singkatpun terjadi, aku mulai bertutur tentang masalah yang kuhadapi saat itu, dengan seksama TOMMY mendengarkan kisahku, kulihat air matanya menetes, keakrabanpun terjalin, hingga TOMMY mengakui bahwa dia adalah AKTIFIS GEREJA dan siap membantuku keluar dari masalah yang kuhadapi tersebut, segala kebutuhanku akan dipenuhinya, apapun yang aku mau akan diturutinya, namun dengan sebuah syarat, bahwa aku harus ikut agamanya dan meyakini tuhannya, gemetar tubuhku mendengar syarat tersebut, namun perasaan kecewa, marah, dan sakit telah menguasai nalarku, hingga tanpa berfikir panjang aku mengiyakan syarat tersebut, aku telah lemah, imanku goyah, hatiku mulai luluh, MENGAPA SAUDARAKU SEIMAN DAN SEAQIDAH SEOLAH TAK SUDI MELEPASKAN AKU DARI BEBAN HIDUP INI, SEMENTARA DIA, ORANG YANG BARU SAJA AKU KENAL DENGAN BEGITU MUDAHNYA MEMBERI PENAWAR ATAS KELUKAAN YANG AKU RASAKAN..., akhirnya kesepakatanpun terjadi, aku diminta datang kegerajanya hari ahad tanggal 13 september pukul 10.00 pagi untuk menandatangani sebuah kontrak yang masih kurang jelas bagiku, sebagai langkah awal dan tanda bahwa aku telah menyepakati syarat tersebut, aku mulai menanggalkan satu persatu simbol-simbol islam dalam diriku, dengan tangan gemetar, dihadapannya aku meraih sebilah gunting dan mulai mencukur jenggotku, aku mulai menanamkan pesan-pesan penting dalam diriku, bahwa yang menyelamatkan aku saat ini bukan saudara dari agamaku, tetapi dari agama lain, aku mulai melalaikan satu persatu waktu sholat yang selama ini tak pernah lepas dari aktifitasku, YA ALLAH...AKU CINTA PADAMU, AKU CINTA AGAMAMU, AKU CINTA SELURUHNYA TENTANGMU, TETAPI AKU TELAH KECEWA DENGAN SEMUA INI........, setelah kejadian itu, hari-hari aku lalui dengan kehampaan dan kepedihan, aku bingung, aku malu pada diriku sendiri yang telah picik menggadaikan agamaku demi sebuah kebahagiaan, tapi disisi lain apa yang harus aku lakukan?, berbagai ikhtiar telah aku lakukan, tapi tak ada satupun yang membuahkan hasil.., hingga akhirnya hari ahad itupun tiba, pukul 09.00 pagi aku mulai bersiap-siap menuju ketempat dimana pak tommy menunggu aku, perasaanku tak menentu…., air mataku menetes deras…, YA ALLAH..,masih adakah pertolongan bagiku sebelum akhirnya segalanya terlepas dari diriku?, lama aku terpaku dalam gejolak jiwa yang bergemuruh.., hingga akhirnya kulihat jarum jam menunjukan pukul 09.45 menit, sementara aku masih belum beranjak.., kulihat 15 panggilan tak terjawab dari pak tommy….YA ALLAH…tolonglah aku…., saat itu perasaanku semakin bergemuruh dan tak menentu…tiba-tiba kurasakan kepalaku pening dan dunia kurasakan mulai gelap…semua gelap dan gelap…hingga aku tak ingat apapun….semilir angin bertiup menerpa wajahku, kudengar suara azan berkumandang…aku mencoba mengingat-ingat kembali beberapa peristiwa sebelum aku tersungkur pingsan…kulirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tanganku, pukul 12.30..ya ALLAH, berarti telah masuk maktu sholat zhuhur, kuperhatikan kembali hpku…ada 45 panggilan takterjawab dan 6 pesan singkat dari pak tommy..sepertinya dia kecewa dengan janji yang tidak kutunaikan…, dan SUBHANALLAH…ada pesan ke 7 dari sebuah nomor yang tidak asing lagi bagiku…, nomor salah seorang saudara yang mengabarkan bahwa dia memintaku untuk dating kerumahnya ba’da zhuhur, katanya dia memiliki kelebihan materi dan siap membantuku…, terima kasih ya ALLAH..engkau telah menolongku dari kesulitan hidup ini…terima kasih…semoga semua ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi diriku…

Itulah sepenggal kisah yang baru saja aku lewati, sungguh begitu sulit, tapi aku hanyalah manusia biasa yang tak memiliki daya, sulit dipercaya memang...tapi inilah realita yang benar-benar terjadi dalam hidupku, Ya Allah...KAU ada dalam setiap helaan nafasku, KAU ada dalam setiap detak jantungku, mungkin benar.., aku terlalu rapuh, imanku terlalu lemah..., tapi...semua tak bisa kuelakkan, hanya ada satu sahabat yang padanya aku telah menceritakan semua ini...IVAN namanya, dia sahabat yang baik..., kudoakan semoga kau tak akan mengalami nasib pahit seperti ini..., @

Selasa, 20 Maret 2012

Astagfirullah.., Surat Cinta Untuk Ikhwah....


Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh …..
Ikhwati fillah…. dalam sebuah jejaring ana dapatin ni note. Insyaallah bermanfaat jika ada yg mau baca… silahkan di baca n direnungkan… sebab hanya org yg mau merenung n berfikirlah yang akan mendpatkan pelajaran…
Malam telah larut terbentang. Sunyi. Dan aku masih berfikir tentang dirimu, akhi. Jangan salah sangka ataupun menaruh prasangka. Semua semata-mata hanya untuk muhasabah terutama bagi diriku, makhluk yang Rasulullah SAW sinyalirkan sebagai pembawa fitnah terbesar.—Suratmu sudah kubaca dan disimpan. Surat yang membuatku gementar. Tentunya kau sudah tahu apa yang membuatku nyaris tidak boleh tidur kebelakangan ini.

“Ukhti, saya sering memperhatikan anti. Kalau sekiranya tidak dianggap lancang, saya berniat berta’aruf dengan anti.” Jujur kukatakan bahwa itu bukan perkataan pertama yang dilontarkan ikhwan kepadaku. Kau orang yang kesekian. Tetap saja yang ‘kesekian’ itu yang membuatku diamuk perasaan tidak menentu. Astaghfirullahaladzim. Bukan, bukan perasaan melambung kerana merasakan diriku begitu mendapat perhatian. Tetapi kerana sikapmu itu mencampak ke arah jurang kepedihan dan kehinaan. ‘Afwan kalau yang terfikir pertama kali di benak bukannya sikap memeriksa, tapi malah sebuah tuduhan: ke mana ghaddhul bashar-mu?
Akhifillah, Alhamdulillah Allah mengaruniakan dzahir yang jaamilah. Dulu, di masa jahiliyah, karunia itu sentiasa membawa fitnah. Setelah hijrah, kufikir semua hal itu tidak akan berulang lagi. Dugaanku ternyata salah. Mengapa fitnah ini justeru menimpa orang-orang yang ku hormati sebagai pengemban risalah da’wah ? Siapakah di antara kita yang salah? *********** “Adakah saya kurang menjaga hijab, ukh?” tanyaku kepada Aida, teman sebilikku yang sedang mengamati diriku. Lama. Kemudian, dia menggeleng. “Atau baju saya? Sikap saya?”—“Tidak, tidak,” sergahnya menenangkanku yang mulai berurai air mata. “Memang ada perubahan sikap di kampus ini.” “Termasuk diri saya?” “Jangan menyalahkan diri sendiri meskipun itu bagus, senantiasa merasa kurang iman. Tapi tidak dalam hal ini. Saya cukup lama mengenali anti dan di antara kita telah terjalin komitmen untuk saling memberi tausiyah jika ada yang lemah iman atau salah. Ingat?” Aku mengangguk. Aida menghela nafas panjang. “Saya rasa ikhwan itu perlu diberi tausiyah. Hal ini bukan perkara baru kan ? Maksud saya dalam meng-cam akhwat di kampus.” Sepi mengembang di antara kami. Sibuk dengan fikiran masing-masing… . “Apa yang diungkapkan dalam surat itu?” “Ia ingin berta’aruf. Katanya dia sering melihat saya memakai jilbab putih. Anti tahu bila dia bertekad untuk menulis surat ini? Ketika saya sedang menjemur pakaian di depan rumah ! Masya Allah…. dia melihat sedetail itu.” “Ya.. di samping itu tempoh masa anti keluar juga tinggi.” “Ukhti…,” sanggahku, “Anti percaya kan kalau saya keluar rumah pasti untuk tujuan syar’ie?” “InsyaAllah saya percaya. Tapi bagi anggapan orang luar, itu masalah yang lain.”
Aku hanya mampu terdiam. Masalah ini senantiasa hadir tanpa ada suatu penyelesaian. Jauh dalam hati selalu tercetus keinginan, keinginan yang hadir semenjak aku hijrah bahwa jika suatu saat ada orang yang memintaku untuk mendampingi hidupnya, maka hal itu hanya dia lakukan untuk mencari keridhaan Rabb-nya dan dien-ku sebagai tolok ukur, bukan wajahku. Kini aku mulai risau mungkinkah harapanku akan tercapai? ************ Akhifillah, Maaf kalau saya menimbulkan fitnah dalam hidupmu. Namun semua bukan keinginanku untuk beroleh wajah seperti ini. Seharusnya di antara kita ada tabir yang akan membersihkan hati dari penyakitnya. Telah ku coba dengan segenap kemampuan untuk menghindarkan mata dari bahaya maksiat. Alhamdulillah hingga kini belum hadir sosok putera impian yang hadir dalam angan-angan. Semua ku serahkan kepada Allah ta’ala semata.
Akhi, Tentunya antum pernah mendengar hadits yang tersohor ini. Bahwa wanita dinikahi kerana empat perkara: kecantikannya, hartanya, keturunannya, atau diennya. Maka pilihlah yang terakhir kerana ia akan membawa lelaki kepada kebahagiaan yang hakiki.
Kalaulah ada yang mendapat keempat-empatnya, ibarat ia mendapat syurga dunia. Sekarang, apakah yang antum inginkan? Wanita shalihah pembawa kedamaian atau yang cantik tapi membawa kesialan? Maaf kalau di sini saya terpaksa berburuk sangka bahwa antum menilai saya cuma sekadar fisik belaka. Bila masanya antum tahu bahwa dien saya memenuhi kriteria yang bagus? Apakah dengan melihat frekuensi kesibukan saya? Frekuensi di luar rumah yang tinggi?
Tidak. Antum tidak akan pernah tahu bila masanya saya berbuat ikhlas lillahi ta’ala dan bila masanya saya berbuat kerana riya’. Atau adakah antum ingin mendapatkan isteri wanita cantik yang memiliki segudang prestasi tetapi akhlaknya masih menjadi persoalan? Saya yakin sekiranya antum diberikan pertanyaan demikian, niscaya tekad antum akan berubah.
Akhifillah, Tanyakan pada setiap akhwat kalau antum mampu. Yang tercantik sekalipun, maukah ia diperisterikan seseorang kerana dzahirnya belaka? Jawabannya, insya Allah tidak. Tahukah antum bahwa kecantikan zahir itu adalah mutlak pemberian Allah; Insya Allah antum tahu. Ia satu anugerah yang mutlak yang tidak boleh ditawar-tawar jika diberikan kepada seseorang atau dihindarkan dari seseorang. Jadi, manusia tidak mendapatkannya melalui pengorbanan. Lain halnya dengan kecantikan bathiniyyah. Ia melewati proses yang panjang. Berliku. Melalui pengorbanan dan segala macam pengalaman pahit. Ia adalah intisari dari manisnya kata, sikap, tindak tanduk dan perbuatan. Apabila seorang lelaki menikah wanita kerana kecantikan batinnya, maka ia telah amat sangat menghargai perjuangan seorang manusia dalam mencapai kemuliaan jati dirinya. Faham?
Akhifillah, Tubuh ini hanya pinjaman yang terpulang pada-Nya bila-bila masa mengambilnya. Tapi ruh, kecantikannya menjadi milik kita yang abadi. Kerananya, manusia diperintahkan untuk merawat ruhiyahnya bukan hanya jasmaninya yang boleh usang dan koyak sampai waktunya.
Akhifillah, Kalau antum ingin mencari akhwat yang cantik, antum juga seharusnya menilai pihak yang lain. Mungkin antum tidak memerhatikannya dengan teliti. (Alhamdulillah, tercapai maksudnya untuk keluar rumah tanpa menimbulkan perhatian orang). Pakaiannya sederhana, ia hanya memiliki beberapa helai. Dalam waktu seminggu antum akan menjumpainya dalam jubah-jubah yang tidak banyak koleksinya. Tempoh masanya untuk keluar rumah tidak lama. Ia lebih suka memasak dan mengurus rumah demi membantu kepentingan saudari-saudarinya yang sibuk da’wah di luar. Ia nyaris tidak mempunyai keistimewaan apa-apa kecuali kalau antum sudah melihat shalatnya. Ia begitu khusyu’. Malam-malamnya dihiasi tahajjud dengan uraian air mata. Dibaca Qur’an dengan terisak. Ia begitu tawadhu’ dan zuhud. Ah, saya iri akan kedekatan dirinya dengan Allah. Benar, ia mengenal Rabbnya lebih dari saya. Dalam ketenangannya, ia tampak begitu cantik di mata saya. Beruntung ikhwan yang kelak memperisterikannya… (saya tidak perlu menyebut namanya.) ********** Malam semakin beranjak. Kantuk yang menghantar ke alam tidur tidak menyerang saat surat panjang ini belum usai. Tapi, sudah menjadi kebiasaanku tidak boleh tidur tenang bila saudaraku tercinta tidak hadir menemani. Aku tergugat apabila merasakan bantal dan guling di samping kanan telah kehilangan pemilik. Rasa penat yang belum ternetral menyebabkan tubuhku terhempas di sofa.
Aida sedang diam dalam kekhusyu’kan. Wajahnya begitu syahdu, tertutup oleh deraian air mata. Entah apa yang terlintas dalam qalbunya. Sudah pasti ia merasakan aku tidak heran saat menyaksikannya. Tegak dalam rakaatnya atau lama dalam sujudnya. “Ukhti, tidak solat malam? “ tanyanya lembut seusai melirik mata. “Ya, sekejap,” kupandang wajahnya. Ia menatap jauh keluar jendela ruang tamu yang dibiarkan terbuka. “Dzikrul maut lagi?” “Khusnudzan anti terlalu tinggi.”
Aku tersenyum. Sikap tawadhu’mu, Aida, menyebabkan bertambah rasa rendah diriku. Angin malam berhembus dingin. Aku belum mau beranjak dari tempat duduk. Aida pun nampaknya tidak meneruskan shalat. Ia kelihatan seperti termenung menekuri kegelapan malam yang kelam.
“Saya malu kepada Allah,” ujarnya lirih. “Saya malu meminta sesuatu yang sebenarnya tidak patut tapi rasanya keinginan itu begitu mendesak dada. Siapa lagi tempat kita meminta kalau bukan diri-Nya?” “Apa keinginan anti, Aida?” Aida menghela nafas panjang. “Saya membaca buku Syeikh Abdullah Azzam pagi tadi,” lanjutnya seolah tidak menghiraukan. “Entahlah, tapi setiap kali membaca hasil karyanya, selalu hadir simpati tersendiri. Hal yang sama saya rasakan tiap kali mendengar nama Hasan al-Banna, Sayyid Quthb atau mujahid lain saat nama mereka disebut. Ah, wanita macam mana yang dipilihkan Allah untuk mereka? Tiap kali nama Imaad Aql disebut, saya bertanya dalam hati: Wanita macam mana yang telah Allah pilih untuk melahirkannya?” Aku tertunduk dalam-dalam.
“Anti tahu,” sambungnya lagi, “Saya ingin sekiranya boleh mendampingi orang-orang sekaliber mereka. Seorang yang hidupnya semata-mata untuk Allah. Mereka tak tergoda rayuan harta dan benda apalagi wanita. Saya ingin sekiranya boleh menjadi seorang ibu bagi mujahid-mujahid semacam Immad Aql…” Air mataku menitis perlahan. Itu adalah impianku juga, impian yang kini mulai kuragui kenyataannya. Aida tak tahu berapa jumlah ikhwan yang telah menaruh hati padaku. Dan rasanya hal itu tak berguna diketahui. Dulu, ada sebongkah harapan kalau kelak lelaki yang mendampingiku adalah seorang mujahid yang hidupnya ikhlas kerana Allah. Aku tak menyalahkan mereka yang menginginkan isteri yang cantik. Tidak. Hanya setiap kali bercermin, ku tatap wajah di sana dengan perasaan duka. Serendah inikah nilaiku di mata mereka? Tidakkah mereka ingin menilaiku dari sudut kebagusan dien-ku? “Ukhti, masih tersisakah ikhwah seperti yang kita impikan bersama?” desisku. Aida meramas tanganku. “Saya tidak tahu. Meskipun saya sentiasa berharap demikian. Bukankah wanita baik untuk lelaki baik dan yang buruk untuk yang buruk juga?” “Anti tak tahu,” air mata mengalir tiba-tiba. “Anti tak tahu apa-apa tentang mereka.” “Mereka?” “Ya, mereka,” ujarku dengan kemarahan terpendam. “Orang-orang yang saya kagumi selama ini banyak yang jatuh berguguran. Mereka menyatakan ingin ta’aruf. Anti tak tahu betapa hancur hati saya menyaksikan ikhwan yang qowiy seperti mereka takluk di bawah fitnah wanita.” “Ukhti!” “Sungguh, saya terfikir bahwa mereka yang aktif da’wah di kampus adalah mereka yang benar-benar mencintai Allah dan Rasulnya semata. Ternyata mereka mempunyai sekelumit niat lain.” “Ukhti, jangan su’udzan dulu. Setiap manusia punya kelemahan dan saat-saat penurunan iman. Begitu juga mereka yang menyatakan perasaan kepada anti. Siapa yang tidak ingin punya isteri cantik dan shalihah?” “Tapi, kita tahukan bagaimana prosedurnya?” “Ya, memang…” “Saya merasa tidak dihargai. Saya berasa seolah-olah dilecehkan. Kalau ada pelecehan seksual, maka itu wajar kerana wanita tidak menjaga diri. Tapi saya…. Samakah saya seperti mereka?” “Anti berprasangka terlalu jauh.” “Tidak,” aku menggelengkan kepala. “Tiap kali saya keluar rumah, ada sepasang mata yang mengawasi dan siap menilai saya mulai dari ujung rambut -maksud saya ujung jilbab- hingga ujung sepatu. Apakah dia fikir saya boleh dinilai melalui nilaian fisik belaka..” “Kita berharap agar ia bukan jenis ikhwan seperti yang kita maksudkan.” “Ia orang yang aktif berda’wah di kampus ini, ukh.” Aida memejamkan mata. Bisa kulihat ujung matanya basah. Kurebahkan kepala ke bahunya. Ada suara lirih yang terucap, “Kasihan risalah Islam. Ia diemban oleh orang-orang seperti kita. Sedang kita tahu betapa berat perjuangan pendahulu kita dalam menegakkannya. Kita disibukkan oleh hal-hal sampingan yang sebenarnya telah diatur Allah dalam kitab-Nya. Kita tidak menyibukkan diri dalam mencari hidayah. Kasihan bocah-bocah Palestin itu. Kasihan saudara-saudara kita di Bosnia . Adakah kita boleh menolong mereka kalau kualitas diri masih seperti ini? Bahkan cinta yang seharusnya milik Allah masih berpecah-pecah. Maka, kekuatan apa yang masih ada pada diri kita?”
Kami saling bertatapan kemudian. Melangkau seribu makna yang tidak mampu dikatakan oleh kosa kata. Ada janji. Ada mimpi. Aku mempunyai impian yang sama seperti Aida: mendukung Islam di jalan kami. Aku ingin mempunyai anak-anak seperti Asma punyai. Anak-anak seperti Immad Aql. Aku tahu kualiti diri masih sangat jauh dari sempurna. Tapi seperti kata Aida; Meskipun aku lebih malu lagi untuk meminta ini kepada-Nya. Aku ingin menjadi pendamping seorang mujahid ulung seperti Izzuddin al-Qassam.
Akhifillah, Mungkin antum tertawa membaca surat ini. Ah akhwat, berapa nilaimu sehingga mengimpikan mendapat mujahid seperti mereka? Boleh jadi tuntutanku terlalu besar. Tapi tidakkah antum ingin mendapat jodoh yang setimpal? Afwan kalau surat antum tidak saya layani. Saya tidak ingin masalah hati ini berlarutan. Satu saja yang saya minta agar kita saling menjaga sebagai saudara. Menjaga saudaranya agar tetap di jalan yang diridhai-Nya. Tahukah antum bahwa tindakan antum telah menyebabkan saya tidak lagi berada di jalan-Nya? Ada riya’, ada su’udzhan, ada takabur, ada kemarahan, ada kebencian, itukah jalan yang antum bukakan untuk saya, jalan neraka? –‘Afwan.
Akhifillah, Surat ini seolah menempatkan antum sebagai tertuduh. Saya sama sekali tidak bermaksud demikian. Kalau antum mahu cara seperti itu, silakan. Afwan, tapi bukan saya orangnya. Jangan antum kira kecantikan lahir telah menjadikan saya merasa memiliki segalanya. Jesteru, kini saya merasa iri pada saudari saya. Ia begitu sederhana. Tapi akhlaknya bak lantera yang menerangi langkah-langkahnya. Ia jauh dari fitnah. Sementara itu, apa yang saya punyai sangat jauh nilainya. Saya bimbang apabila suatu saat ia berhasil mendapatkan Abdullah Azzam impiannya, sedangkan saya tidak.
Akhifillah, ‘Afwan kalau saya menimbulkan fitnah bagi antum. Insya Allah saya akan lebih memperbaiki diri. Mungkin semua ini sebagai peringatan Allah bahwa masih banyak amalan saya yang riya’ maupun tidak ikhlas. Wallahua’lam. Simpan saja cinta antum untuk isteri yang telah dipilihkan Allah. Penuhilah impian ratusan akhwat, ribuan ummat yang mendambakan Abdullah Azzam dan Izzuddin al-Qassam yang lain. Penuhilah harapan Islam yang ingin generasi tangguh seperti Imaad Aql. Insya Allah antum akan mendapat pasangan yang bakal membawa hingga ke pintu jannah.
Akhifillah, Malam bertambah-dan bertambah larut. Mari kita shalat malam dan memandikan wajah serta mata kita dengan air mata. Mari kita sucikan hati dengan taubat nasuha. Pesan saya, siapkan diri antum menjadi mujahid. Insya Allah, akan ada ratusan Asma dan Aisyah yang akan menyambut uluran tangan antum untuk berjihad bersama-sama. Salam dari ukhtukum fillah.

BIDADARI SYURGA....

Namanya Aini. begitu ummi biasa memanggilnya. Salah satu "adik" terbaik yang pernah ummi miliki, yang pernah ummi temui dan alhamdulillah Allah pertemukan ummi dengannya.

Seharusnya 20 Nopember nanti genap ia menginjak usia 37 tahun. Beberapa tahun bersamanya, banyak contoh yang bisa ummi ambil darinya. Kedewasaan sikap, keshabaran, keistiqomahan, dan pengabdian yang luar biasa meretas jalan dakwah ini. Seorang muharrik dakwah yang tangguh dan tak pernah menyerah. Sosok yang tidak pernah mengeluh, tidak pernah putus asa dan memiliki khusnuzon yang teramat tinggi kepada Allah. Dan dia adalah salah satu amanah ummi terberat, ketika memang harusnya ia sudah memasuki sebuah jenjang pernikahan.


Ketika beberapa akhwat lain yang lebih muda usianya melenggang dengan mudahnya menuju jenjang tersebut, maka Aini ,Allah taqdirkan harus terus meretas kesabaran. Beberapa kali ummi berikhtiar membantunya menemukan ikhwan shalih, tetapi ketika sudah memulai setengah perjalanan proses..Allah pun berkehendak lain. Namun begitu, tidak pernah ada protes yang keluar dari lisannya, tidak juga ada keluh kesah, atau bahkan mempertanyakan kenapa sang ikhwan begitu " lemahnya " hingga tidak mampu menerjang berbagai penghalang ? Atau ketika masalah fisik, suku, serta terlebih usia yang selalu menjadi kendala utama seorang ikhwan mengundurkan diri , Aini pun tidak pernah mempertanyakan atau memprotes " kenapa ikhwan sekarang seperti ini ?

Tidak ada gurat sesal, kecewa, atau sedih pada raut muka ataupun tutur katanya. Kepasrahan dan keyakinan terhadap kehendak Allah begitu indah terlukis dalam dirinya.

Hingga, akhirnya seorang ikhwan shalih yang dengan kebaikan akhlak serta ilmunya, datang dan berkenan untuk menjadikannya seorang pendamping. Tidak ada luapan euphoria kebahagiaan yang ia tampakkan selain ucapan singkat yang penuh makna "Alhamdulillah..jazakillah

ummi sudah membantu...mohon doa agar diridhai Allah "

Alhamdulillah , Allah mudahkan proses ta’arauf serta khitbah mereka, tanpa ada kendala apapun seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Padahal ikhwan shalih yang Allah pilihkan tersebut berusia 8 tahun lebih muda dari usianya.

Berkomitmen pada sunnah Rasulullah untuk menyegerakan sebuah pernikahan, maka rencana akad pun direncanakan 1 bulan kemudian, bertepatan dengan selesainya adik sang ikhwan menyelesaikan studi di negeri Mesir.

Namun , Allah lah Maha Sebaik-baik Pembuat keputusan..

2 minggu menjelang hari pernikahan, sebuah kabar duka pun datang. Usai Aini mengisi sebuah ta’lim , motor yang dikendarainya terserempet sebuah mobil, dan menabrak kontainer didepannya. Aini shalihah pun harus meregang nyawa di ruang ICU. 2 hari setelah peristiwa itu, Rumah sakit yang menanganinya pun menyatakan menyerah. Tidak sanggup berbuat banyak karena kondisinya yang begitu parah.

Hanya iringan dzikir disela-sela isak tangis kami yang berada disana. Semua keluarga Aini juga sang ikhwan pun sudah berkumpul. Mencoba menata hati bersama untuk pasrah dan bersiap menerima apapun ketentuanNya. Kami hanya terus berdoa agar Allah berikan yang terbaik dan terindah untuknya. Hingga sesaat, Allah mengijinkan Aini tersadar dan menggerakkan jemarinya. Rabb..sebait harapan pun kembali kami rajut agar Allah berkenan memberikan kesembuhan, walau harapan itu terus menipis seiring kondisinya yang semakin melemah. Hingga kemudian sang ikhwan pun mengajukan sebuah permintaan kepada keluarga Aini.

" Ijinkan saya untuk membantunya menggenapkan setengah Dien ini. Jika Allah berkehendak memanggilnya, maka ia datang menghadap Allah dalam keadaan sudah melaksanakan sunnah Rasulullah..."

Permintaan yang membuat kami semua tertegun. Yakinkah dia dengan keputusannya ?

Dalam kedaaan demikian , akhirnya 2 keluarga besar itupun sepakat memenuhi permintaan sang ikhwan.

Sang bunda pun membisikkan rencana tersebut di telinga Aini. Dan baru kali itulah ummi melihat aliran airmata mengalir dari sepasang mata jernihnya.

Tepat pukul 16.00, dihadiri seorang penghulu,orangtua dari 2 pihak, serta beberapa sahabat dan dokter serta perawat...pernikahan yang penuh tangis duka itupun dilaksanakan. Tidak seperti pernikahan lazimnya yang diiringi tangis kebahagiaan, maka pernikahan tersebut penuh dengan rasa yang sangat sulit terlukiskan. Khidmat, sepi namun penuh isakan tangis kesedihan.

Tepat setelah ijab kabul terucap...sang ikhwan pun mencium kening Aini serta membacakan doa diatas kain perban putih yang sudah berganti warna menjadi merah penuh darah yang menutupi hampir seluruh kepala Aini. Lirih, kami pun masih mendengar Aini berucap, " Tolong Ikhlaskan saya....."

Hanya 5 menit. Ya..hanya 5 menit setelah ijab kabul itu. Tangisanpun memecah ruangan yang tadinya senyap menahan sesak dan airmata. Akhirnya Allah menjemputnya dalam keadaan tenang dan senyum indah.

Dia telah menjemput seorang bidadari...

Sungguh indah karunia dan janji yang telah Allah berikan padanya...

Dia memang hanya pantas untuk para mujahidNya di Jannah al firdausi....

Dan sang ikhwan pun melepas dengan penuh sukacita dengan iringan tetes airmata yang tidak kuasa ditahannya...

" ..Saya telah menikahi seorang bidadari.. nikmat mana lagi yang saya dustakan..."

Begitulah sang ikhwan shalih mengutip ayat Ar RahmanNya...

Ya Rabb..Engkau sebaik-baik pembuat skenario kehidupan hambaMu..Maka jadikanlah kami senantiasa dapat memngambil hikmah dari setiap episode kehidupan yang Engkau berikan...

Selamat jalan adikku sayang ...engkau memang bidadari surga yang Allah tidak berkenan seorang ikhwan pun didunia ini yang bisa mendampingi kehidupanmu kecuali para ikhwan shalih yang berkhidmat di jalan dakwah dengan ikhlas, tawadhu dan siap berjihad dijalanNya dan kelak menutup mata sebagai seorang syuhada...."

Selamat jalan Aini..semoga Allah memberimu tempat terindah di surgaNya....Semoga Allah kumpulkan kita kelak didalam surgaNya...amiin)

Sejenak Dalam Tafakkur



♫♥♥♥♥♥♥♫•*¨•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♫•*¨*•.¸¸ﷲ¸¸.•*¨*•
Saudaraku,
Sudahkah kita sejenak berfikir dan merenung, bahwa begitu besar rasa ketergantungan kita terhadap apa yang tersedia di alam ini? Ketika kita hendak bernafas, yang kita butuhkan adalah asupan oksigen yang cukup untuk memenuhi paru-paru. Ketika kita hendak melihat dengan jelas, yang kita butuhkan adalah cahaya yang cukup untuk dapat menerangi objek yang ingin kita lihat. Ketika kita hendak berjalan, kita butuh landasan untuk berpijak dan melangkah, dimana daratan bersedia membentangkan punggungnya untuk kita pijak dan kita pun bukan berjalan di awang-awang. Sungguh, semua yang kita butuhkan itu bukanlah muncul dengan sendirinya, melainkan Allah SWT- lah yang telah mengadakannya dan menundukkannya untuk kita, para makhluk-Nya.

Allah SWT sudah bentangkan malam untuk kita beristirahat dan siang sebagai sarana bagi kita untuk mengais karunia-Nya, untuk menjemput rezeki yang sudah ditetapkan-Nya. Allah tundukkan lautan, sehingga kapal-kapal besar dapat berlayar mengarungi samudera-Nya. Allah hiasi kedalamannya dengan segala keindahan luar biasa, yang membuat banyak mata terbelalak dan hati berdecak kagum, hingga sesungguhnya bibir-bibir dan hati kecil manusia tak akan mampu berbohong dan tak kuasa berucap selain pujian akan ke Maha Besaran-Nya atas keindahan segala ciptaan-Nya.

Saudaraku,
Sekiranya kita menyadari segala kebesaran Allah itu, maka sudah tentu kita akan merasa kecil dan malu. Sekiranya kita senantiasa yakin dan menyadari dalam banyak waktu, bahwa diri kita adalah hamba dan Allah SWT adalah dzat yang wajib kita sembah, maka pasti kita tidak akan mau untuk berpaling dari-Nya. Sekiranya diri kita hanya berharap rahmat dan keridhoan-Nya, maka tak akan banyak hati yang akan terluka saat dihina dan dicerca serta lari dari menuju selain kepada-Nya.
Sekiranya kita menyadari, bahwa sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita, mendengar perkataan dan bisikan hati kita, maka sudah tentu kita akan merasa gentar juga takut sekiranya setiap perbuatan buruk kita segera ditampilkan-Nya di hadapan makhluk-makhluk-Nya. Begitu kasihnya Allah SWT, sebesar apapun kejelekan diri kita, namun Dia masih bersedia menutupinya hingga kini.

Saudaraku,
Tidakkah kita rindu untuk menggapai ridho Allah semata? Dalam setiap pekerjaan yang kita buat, dalam setiap perkataan yang kita ucap, dalam setiap denyutan jantung dan dalam setiap tarikan nafas kita? Tidakkah kita rindu untuk senantiasa berupaya meneladani Rasul-Nya, sebagai bagian dari pengakuan rasa cinta kita, dimana ucapan beliau jauh dari ghibah, dari kata-kata dusta dan menghina, juga merendahkan orang lain? Tidakkah kita rindu untuk senantiasa mendapat hidayah dan petunjuk dari-Nya, di setiap jejak langkah hidup kita? Sehingga semua terarahkan dengan baik dan bermanfaat juga bermakna, bagi diri dan lingkungan, dunia dan akhirat.

Saudaraku,
Mari bersama kita luruskan niat, kita perbaiki ikhtiar dan usaha, juga tak pernah lepas bermohon dan berserah diri kepada Allah SWT agar semua hal yang kita rajut dan anyam di atas permukaan bumi ini dilakukan semata-mata karena-Nya dan untuk mencari keridhoan-Nya.






Surat Cinta buatmu for everyone

dini hari menjelang Shubuh

 
Sayangku, sang bulan penggila hatiku, bidadari pembuat kelenger perasaanku, dewi malam perindu dengus napasku...kutulis surat ini sebagai wujud maafku, dari hati paling hati-hati... dari perasaan paling terjajah.

Maafken kangmasmu ini.. yang ndak bisa lagi memanjakanmu..menyenangken hatimu.. membuncahkan bahagia di siang bolong hari-harimu, dan malam kelam menjelang tidurmu...

Sayangku.. kangmasmu ini sekarang jarang lagi bisa ngajak kamu keliling kota, seperti empat bulan lalu. Ndak bisa lagi mentraktir ayam goreng kesukaanmu. Terus, mengajakmu nyungsep di rerimbunan Taman di Bumi Kedaton.. apalagi sampai ngajak piknik ke Jakarta seperti janji gombalku setaun lalu 

Lha bagaimana sayang... BBM naek seenak perut pemerintah.( emang pemerintah berperut ta..?? kalau ya.. pasti buncitnya ngauzubillah yaaa..)... Ya begini ini kalau kita di perintah ama segerombolan pedagang ... maunya cari untung melulu.... dan gak peka nuraninya...tumpul rasa kemanusiaannya..

makanya besok jangan pilih partai itu lagi ya.!!. pliss..janji yaa !!!

Mendingan golput ajah, kayak kakang.. ..

Jangan mau denger rayuan gombal-gambel amoh gaya semua capres.. yang ternyata Cuma untuk diingkari.. Serius yangg.. jangan lagi mau dikadalin dua kali.. tiga kali.. atau malah empat kali.. emang kita nih bodoh2 banget ya.. sebodoh manusia bodoh dalam lagunya ADA Ben.. lagu klangenanmu itu..

Sayangku...Maapken juga kangmasmu ini, yang ndak lagi ngajak kamu makan ayam goreng di warung KFC palsu kesukaanmu itu.. kakang takut kamu ntar ketularan virus flu burung. Kan sayang banget.. tubuh semlohaimu itu jadi ceking karena di rong-rong virus.. Kangmas juga ndak mau ngajak kamu ke KFC asli, selain mahal, kangmas juga ndak sudi membuat kaya negara adidaya... mendingan makan makanan tradisional.. buatan bangsa sendiri.. gini-gini kakangmu ini nasionalis lho!!cie..

Sayangku.. pendingin hati panasku.. kakang lagi-lagi mau minta maap.. karena rencana piknik kita di jakarta lagi-lagi gagal.. kali ini bukan karena bokek, tetapi karena burung kakaktua kesayanganmu terkena virus... padahal aku juga tau.. kamu sudah rindu memelototin burungkakaktua.. sambil uyel-uyelan di rimbun perdu.. sama diriku..hik..hik.. walau tubuh disemutin.. tapi tetep saja kamu betah..merasakan tangan ini liar menjamah... duh.. duh.. tobattt.
Sayang.. lagi-lagi..sekali lagi.. kakangmu minta maap..karena janji manis kangmas ingkari.. Dulu daku berjanji mengajakmu melancong ke Anyer.. menikmati pantai dengan kafe-kafenya.. meski Cuma liat-liat doang.. menyusuri pantai anyer ngintip bule ...

Sayangku.. bidadari kecil pemuas dahaga cintaku.. sang dewi malam penggila napsu paling gilaku.. segini dulu surat cintaku.. ntar disambung lagi.. kangmasmu harus kembali mengukir nasib.. bergelut dengan keringat kuyup.. mengumpulkan rupiah demi rupiah penyambung hidup.. karena kondisi kangmasmu yang serba nanggung ini.. ga bisa dapet dana kompensasi BBM.. ataupun raskin.... dibilang kaya ya ndakkk.. di bilang kere ya ndak jugaa....tetapi tetep kena imbas.. harga –harga yang naiknya mencekik urat leher ini... smoga kamu mau ngerti perasaan dan kondisiku.. dan ndak ngambek lagi...serta mau memaafkan salahku..

Oke yaa.. cup-cup.

Daaa..da....

Wassalam penuh lop..lop...dan loppp...


*Nb. Jangan lupa makan.. ingat tubuhmu yang ringkih meski bongsor itu..ga boleh telat makan.. bisa kumat maagnya.. 





Senin, 19 Maret 2012

Pantaslah Surga di Bawah Kakinya

Kiriman dari Sang Sahabat : Ahmad Taufik

 
Banyak para pria berpikir setelah menikah segala kebutuhannya akan selalu dilayani oleh sang istri, padahal dalam kenyataannya tidak bisa begitu. Bila suatu ketika istri sakit, isteri bekerja atau sibuk ketika mengasuh si kecil apakah kita sebagai suami akan diam saja. Tentu dibutuhkan kerjasama untuk meringankan bebannya. Bahkan menurut saya, demi menjaga keseimbangan tugas dan keharmonisan kehidupan rumah tangga pekerjaan rumah tangga pun sebaiknya ditangani bersama.

Memang tidak mudah menjalani pernyataan ini, kecuali kita sudah mengalaminya sendiri. Beruntung saya berkesempatan mengalaminya.

Setelah menikah, saya merasakan bahwa kebahagiaan pernikahan kami menjadi terwujud sempurna lewat kehadiran putra pertama saya. Bahkan, kehadirannya juga menjadi motivator penggerak saya untuk lebih giat mencari nafkah.

Namun, rupanya kehadiran si kecil ini lantas mengubah pola hidup keseharian kami dan membutuhkan banyak kompromi diantara kami. Awalnya semua berlaku sebagaimana cerita. Isteri mengurus si bayi dan saya pergi bekerja. Namun, tiga bulan berlalu dan masa cuti kerja isteri pun selesai. Padahal, profesi istri saya sebagai perawat mengharuskannya bekerja dengan sistem shift, yang berarti suatu ketika ia akan bertugas penuh di malam hari.

Saya mendapati kami mulai punya satu 'persoalan'. Dimana si kecil hendak kami titipkan bila isteri bekerja shift malam? Kedua orang tua istri sudah almarhum sementara ibu saya sudah tua dan tinggal jauh dari rumah kami.

Kami memang punya kerabat untuk menitipkan si kecil setiap kami berangkat kerja. Tetapi saat itu juga hati saya merasa berat dan tidak tenang. Dalam hati kecil saya bertanya-tanya, apakah dia rela bangun malam setiap jam untuk menyiapkan susu, mengganti popok dan melakukan keperluan-keperluan perawatan bayi lainnya? Belum lagi kerabat ini pun tentu harus mengurusi keluarganya pula.

Akhirnya kami memulai kompromi dan memutuskan bahwa saya-lah yang akan menjaga si kecil saat isteri pergi bertugas. Jujur saja, awalnya, istri pun sempat meragukan keputusan ini sebelum akhirnya kami bisa bersepakat untuk menjalaninya.

Malam pertama pun tiba, si kecil telah tidur dengan pulasnya lebih dulu dari saya. Sementara itu, baru beberapa saat kemudian rasa kantuk mendera saya. Namun, baru saja saya beranjak tidur, tiba-tiba si kecil menangis membuat saya sigap terjaga dan mengurusnya. Dan selanjutnya? hampir setiap satu jam berikutnya, si kecil ini selalu terbangun dan memecah kesunyian malam lewat tangisannya.

Saya tahu bahwa tangisan merupakan alat komunikasi pertama yang dikuasai bayi sebelum bisa bicara.

Lewat tangisanlah, bayi mengutarakan keinginan dan kebutuhannya. Jadi saya tak heran atau terganggu lagi jika si kecil menghabiskan banyak waktu untuk aktivitas ini. Namun, tentu saja saya juga harus siaga. Susu harus selalu tersedia, begitu juga kebutuhan lainnya seperti pakaiannya. Karena jika si kecil bangun dan menangis itu tandanya dia minta susu, pipis, atau buang air besar.

Setiap kali si kecil terbangun, saya selalu melirik jam, melihat bahwa waktu demi waktu telah berlalu. Suatu kali pernah saya shalat subuh saat sudah mendekati jam enam pagi karena masih mengurusi kebutuhan si kecil. Dan pernah juga terjadi, shalat subuh saya sudah tepat waktu, tetapi baru saja hendak bertakbir, si kecil sudah terbangun dan menangis hingga dengan buru-buru saya meraih botol susu dan memberinya minum sambil berbaring disampingnya. Si kecil terdiam dan tidur kembali. Tak sadar saya pun ikut tertidur di sampingnya.

Hal ini berlangsung non stop selama 3 bulan. Namun anehnya, saya tidak merasa capek. Kalaupun ada sedikit rasa letih, maka rasa itu akan hilang begitu saja ketika si kecil bangun menyambut pagi hari dengan mengangkat kepalanya dan menatap saya sambil tersenyum ikhlas.

Setiap pagi, setelah menitipkan si kecil pada kerabat, saya menjemput dan mengantar istri ke rumah. Barulah kemudian saya berangkat ke kantor mengendarai sepeda motor. Tentu saja dengan kehati-hatian ekstra. Bukan apa-apa, sebab saya masih mengantuk!

Setibanya di kantor sebuah media Islam, saya berhadapan dengan saat naik cetak. Maka tak ayal, saya harus rela menatap layar komputer selama lebih dari 9 jam hari itu.

Begitupun, alhamdulillah semua masalah itu bisa teratasi. Bahkan, saat mengingat kelucuan dan senyum si kecil, tidak jarang saya suka tersenyum sendiri di depan layar komputer. Senyuman si bayi memang hanya sebentar, tapi saya selalu mengingatnya dalam hati. Luar biasa, senyum si kecil bagaikan penyejuk hati dan pemompa semangat dalam mencari nafkah.

Saat baru satu malam saja saya menjaga si kecil, saya sudah berpikir, mungkin itulah alasannya mengapa surga itu berada di bawah telapak kaki Ibu. Lalu bagimana dengan menjaga, merawat anak dan keluarga selama 3 bulan, setahun, bertahun-tahun?

Terbayang pula di benak saya sosok ibu yang menghabiskan waktu 24 jam setiap hari untuk merawat bayi. Ia menyusui, menjaga dari segala gangguan, mengganti popok, mendekapnya bila menangis dan masih banyak lagi tugas yang harus dilakukannya. Barangkali surga itu tak hanya berada di telapak kakinya saja melainkan di seluruh tubuhnya.

Bila kita mau berpikir dan merasakan betapa beratnya pekerjaan menjadi ibu rumahtangga, tentu akan timbul kesadaran untuk menghormati, menghargai dan menyangi istri kita karena tugas yang diembannya.

Maka kini saya semakin berempati dengan beratnya pekerjaan menjadi ibu rumahtangga. Semakin dalam pula kesadaran saya untuk menghargai dan menyayangi istri, karena tugas yang diembannya ternyata bukanlah sebuah tugas yang ringan.