Yuk baca lagi.... jangan bosan2 ya sahabat Bidadari Syurga...
Di tengah pejam malamku, tiba-tiba aku terbangun. Aku merasakan haus yang tak tertahankan. Akhirnya aku bangkit dari tidurku dan melangkah keluar kamar. Betapa terkejutnya aku melihat suamiku tengah tertidur di depan laptopnya. Kulirik jam dinding. Pukul sebelas malam. Aku terenyuh melihatnya. Kuhampiri dia. Wajahnya begitu lelah terlihat. Wedang jahe yang tadi aku buatkan untuknya juga sudah habis diminumnya. Aku juga melihat ketikan di komputernya. Masih banyak yang belum ia selesaikan. Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan untuk membantunya?
Sejenak aku berpikir. Tiba-tiba aku mempunyai ide untuk menghubungi Mas Bambang, temannya Mas Yusuf di tempatnya mengajar, untuk mencari tahu tentang soal-soal yang tengah diselesaikannya sekarang. Mas Bambang itu mengajar pelajaran matematika. Tapi, apa tidak terlalu malam untuk menghubunginya? Apa tidak mengganggunya? Ah, ini kan untuk kebaikan juga. Kalau sampai soal-soal ini tidak selesai malam ini juga, maka besok tidak ada soal fisika yang bisa dikerjakan. Aku putuskan untuk menghubungi Mas Bambang melalui ponsel Mas Yusuf yang tergeletak di meja dekat laptopnya. Kucari nama Mas Bambang lalu kupanggil. Busmillah.
Sesaat lamanya yang kudengar hanya nada sambung. Kuulangi lagi. Alhamdulillah diangkat.
"Ada apa Suf? Malam-malam kok mengganggu saja" Ucap Mas Bambang dengan nada kesal. Terdengar sekali suaranya yang baru saja terbangun dari tidurnya.
"Maaf Mas, saya Dinda, istrinya Mas Yusuf" Tukasku agak pelan. Takut Mas Yusuf terbangun.
"Oh, maaf...maaf. Saya pikir Yusuf. Ada apa ya, menelepon malam-malam?" Tanya Mas Bambang terdengar kaget ketika dia tahu yang meneleponnya adalah istrinya Yusuf, bukan Yusuf.
"Maaf ya Mas, sebelumnya. Saya hanya ingin tahu mengenai UTS besok. Apa mata pelajaran Mas Yusuf itu akan diujikan besok pagi, Mas ya?"
"Oh...iya. Pelajaran fisika itu akan diujikan besok bersama pelajaran Bahasa Indonesia. Ada apa rupanya ya?" Tanya Mas Bambang ingin tahu.
"Tidak Mas, tidak ada apa-apa. Ehm...setiap soal pelajaran itu mendapat jatah berapa nomor ya Mas?"
"Setiap soal pelajaran itu mendapat jatah 50 nomor, kecuali matematika, hanya 40 nomor" Jelas Mas Bambang singkat. Kulirikkan mataku ke layar laptop. Soal yang diselesaikan Mas Yusuf baru 27 nomor. Berarti kurang 23 nomor. Jumlah yang cukup besar bila harus diselesaikan malam ini juga. Mengingat waktu terus berputar dan malam semakin larut menjelang.
"Ya sudah Mas, terima kasih kalau begitu. Maaf ya mengganggu malam-malam" Ucapku masih dengan pelan.
"Ya...ya, tidak apa-apa" Sahut Mas Bambang.
"Makasih sekali lagi Mas, ya. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam" Jawabnya menutup pembicaran.
Aku langsung bergerak cepat. Kuputar laptop kearahku. Kubaca dengan seksama konsep soal-soal fisika yang ada dihadapanku. Setelah cukup, aku mulai mengetiknya dengan melanjutkan soal yang ada. Dengan teliti aku membacanya dan mengetiknya. Agak sulit juga rupanya karena banyak istilah-istilah fisika yang masih sangat asing bagiku. Namun karena niatku ingin membantu suamiku, maka aku harus benar-benar berusaha untuk menyelesaikan soal-soal ini.
Waktu terus bergulir hingga jam dinding sudah menunjukkan pukul satu malam lewat lima belas detik. Alhamdulillah semuanya sudah selesai. Setelah kuteliti ulang dan kurasa benar, soal-soal itu kumasukkan kedalam flash disk, lalu kuprint semuanya di komputerku yang ada di di dalam kamar. Alhamdulillah wa syukurillah, lima lembar soal dengan kertas ukuran folio, huruf times new roman dengan ukuran 12 font, telah selesai aku ketik. Lega rasanya hati ini karena akhirnya soal-soal ini sudah selesai. Aku tersenyum bangga.
Kuletakkan lima lembar soal itu di atas meja. Kubereskan semua kertas-kertas yang ada disana dan kumatikan laptopnya. Setelah semua beres, aku berniat melaksanakan shalat tahajud. Sebelum kuberanjak ke kamar mandi, kusempatkan mataku menatap wajah Mas Yusuf. Begitu bersih dan bersahaja. Tapi sayang, tak pernah kutemukan pancaran cinta yang dia berikan untukku. Oh, ingin sekali rasanya aku menyentuh wajahnya, membelai rambutnya, dan...mencium pipinya. Ya, menciumnya. Aku ingin sekali menciumnya. Sampai sekarang belum pernah aku merasakan ciuman hangat darinya. Tapi, ah, kuurungkan saja niatku untuk menciumnya diam-diam. Aku tak ingin menciumnya karena terpaksa. Biarlah. Jika memang seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan ciuman itu, aku akan berusaha untuk ikhlas. Hanya dengan keikhlasan dan kesabaran, aku akan menjalani hidup ini.
Ku langkahkan kakiku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
* * *
"Dinda, apa semua ini kamu yang mengerjakan?" Tanya Mas Yusuf ketika dia baru saja terbangun dari tidurnya. Aku melongok keruang tamu dari balik dinding dapur dan balik bertanya padanya seolah-olah tidak mengerti apa yang ditanyakannya.
"Mengerjakan apa?"
"Soal-soal UTS ini?" Jawabnya dengan raut wajah yang tampak bingung sambil membaca dengan seksama kertas-kertas soal yang dimaksud.
"Oh! Iya, itu aku yang mengerjakan. Kenapa, ada yang salah?"
Mas Yusuf terdiam sejenak. Dia mengerutkan keningnya. Kedua alisnya hampir saja bertemu ketika membaca soal-soal itu.
"Ehm....Tidak, tidak ada yang salah fatal. Hanya saja ada beberapa kata yang salah penulisannya" Jawabnya sambil memandang kearahku kemudian menunduk lagi memeriksa soal-soal itu.
"Syukurlah kalau begitu" Sahutku sambil meneruskan aktivitasku memasak nasi goreng dan telur dadar. Aku kembali berkata pada Mas Yusuf.
"Hari semakin siang, Mas. Kau belum shalat Subuh" Ucapku lagi pada Mas Yusuf. Sekedar mengingatkan kalau dia memang belum shalat Subuh.
"Astaghfirullahal'adzim" Ucapnya terdengar di telingaku. Tak lama kemudian dia bergegas masuk ke kamar mandi tanpa membawa handuk. Dia melewatiku dengan terburu-buru.
Nasi goreng yang kubuat sudah matang. Kuangkat dan kusajikan menjadi dua piring. Telur dadarnya pun senantiasa menghiasinya. Kusajikan semuanya di atas meja makan. Dari kamar mandi terdengar Mas Yusuf sedang mandi. Sepertinya dia lupa kalau dia tidak membawa handuk. Mungkin awalnya dia hanya berniat untuk mengambil air wudhu. Tapi karena sudah terlanjur di kamar mandi, ya sekalian saja dia mandi. Tanpa ingat kalau dia lupa membawa handuk.
Setelah meletakkan dua piring nasi goreng di meja makan, aku bergegas mengambil handuk dan menyerahkannya pada MasYusuf.
"Mas, ini handuknya!" Ucapku dari luar kamar mandi sambil mengetuk pintunya.
Tak lama dia membuka sedikit pintu kamar mandi dan mengulurkan tangannya seraya mengambil handuk yang aku berikan padanya.
"Terima kasih" Ucapnya pelan sambil menutup pintu kamar mandi.
Aku kembali lagi ke meja makan dan menatanya dengan rapi. Setelah kurasa beres semua, aku beranjak ke kamar untuk menyiapkan pakaian Mas Yusuf yang akan dia kenakan untuk berangkat mengajar. Kemudian aku merapikan diriku untuk segera bersiap-siap pergi ke kantor.
Setelah keluar dari kamar mandi, Mas Yusuf langsung masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Aku sudah menunggunya di meja makan untuk sarapan. Tak lama kemudian dia keluar kamar dengan mengenakan pakaian yang tadi sudah aku siapkan.
"Sudah shalat Mas?" Tanyaku ketika dia baru saja keluar dari kamar.
Dia hanya mengangguk kemudian duduk di salah satu kursi yang ada di sebelahku. Di hadapannya sudah ada sepiring nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan ketimun serta tomatnya yang kuiris tipis-tipis. Di sebelah nasi gorengnya sudah aku siapkan segelas teh manis hangat untuk menghangatkan perutnya.
Dia melahapnya dengan terlebih dahulu membaca Bismillah. Akupun menemaninya makan. Tak ada perbincangan yang berarti ketika kami sedang makan. Entahlah. Mungkin sampai detik ini, perasaannya terhadapku belum berubah. Masih dingin dan acuh. Padahal sebenarnya, aku ingin sekali mendengarkan dia berucap sepatah kata saja padaku. Kata apa saja itu. Yang penting aku mendengar dia memanggil namaku seperti semalam. Rasanya indah sekali.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh lima menit. Mas Yusuf menyudahi makannya dengan menenggak teh manis hangat buatanku. Setelah itu dia beranjak mengambil sepatunya dan memakainya di ruang tamu. Semua kertas soal yang aku ketik semalam sudah dia masukkan ke dalam tasnya. Setelah semuanya dirasa cukup dan dirasa tidak ada yang tertinggal, dia bangkit sambil membawa tasnya.
Aku mengiringi langkahnya dari belakang. Setelah di depan pintu dia berbalik kearahku. Aku mencium tangannya dengan penuh ketulusan. Dia menatap wajahku dengan biasa-biasa saja. Aku menatapnya.
"Hati-hati di jalan ya? Jangan ngebut" Pesanku sebelum dia berangkat.
Lagi-lagi dia hanya mengangguk pelan tanpa menyahut sedikitpun. Dia melangkah kearah motornya sambil mengucapkan salam. Aku pun menjawabnya. Namun tiba-tiba dia menghentikan langkahnya dan berbalik menghampiriku.
"Ada apa lagi? Ada yang tertinggal?" Tanyaku dengan penuh kebingungan.
Dia menggeleng kemudian bersuara,
"Tidak ada yang tertinggal namun ada yang terlupa..." Jawabnya membuat aku tambah bingung.
"Apa yang terlupa? Biar aku ambilkan" Ucapku.
"Tidak usah kau ambilkan. Aku hanya lupa mengucapkan terima kasih padamu atas bantuanmu menyelesaikan soal-soal UTS ini. Sungguh, kalau tak ada dirimu, mungkin pagi ini aku akan kuwalahan menyelesaikan soal-soal ini sendirian sambil di kejar-kejar waktu. Terima kasih ya karena sudah meluangkan waktu malammu untuk menyelesaikan pekerjaanku. Suatu saat, pasti akan kubalas" Ucapnya panjang lebar membuat aku terhenyak.
"Tidak perlu seperti itu. Memang sudah menjadi tanggung jawabku sebagai seorang istri untuk membantu suaminya" Sahutku menimpalinya.
Dia mengangguk pelan dan kembali berkata,
"Ya. Kalau begitu aku berangkat. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam"
Dia pun menaiki motornya dan sejurus kemudian dia menyusuri jalanan dan menghilang dari pandanganku. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang merasuki jiwaku. Sesuatu yang menetes di kedalaman hatiku yang kemudian membuatnya menjadi segar kembali. Entah apa itu. Aku yakin, itulah cinta. Cintaku yang kian hari kian mendalam pada sosok suamiku. Cinta yang bisa menguatkanku dalam keberadaanku bersamanya.
Aku pun masuk kedalam dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.
* * *
Ponselku berdering ketika aku tengah sibuk dengan pekerjaanku di kantor. Awalnya aku kurang menghiraukannya karena memang pekerjaanku benar-benar menumpuk. Tapi ponsel itu terus berdering mengeluarkan ringtone 'Merah Saga'nya Shoutul Harokah, nasyid kegemaranku. Kuangkat. Ternyata dari Mas Yusuf. Pikiranku tiba-tiba teralih sejenak pada Mas Yusuf yang kini tengah menanti jawaban telepon dariku.
"Assalamu'alaikum. Ada apa Mas?" Tanyaku segera tanpa basa-basi.
"Wa'alaikumussalam. Nanti sore ada acara di Bumiwiyata Depok. Kita ketemu disana jam 5 ya? Malamnya kita menginap di rumah Ibu" Jawabnya singkat dengan cepat. Ibu yang dimaksud adalah ibunya. Aku baru menyadari, dia tak sedikitpun menyebut namaku.
"Acara apa memangnya Mas?"
"Acara bedah buku bersama Penerbit Al Kautsar. Bintang tamunya ada Shoutul Harokah dan Izzatul Islam. Sekalian aku mau cari-cari buku disana" Sahutnya datar.
"Oh. Ya sudah kalau begitu, kita ketemu disana jam 5 ya?"
"Ya. Assalamu'alaikum" Ucapnya mengakhiri pembicaraan. Diapun langsung menutup teleponnya tanpa mendengar dulu jawaban salamku.
"Wa'alaikumussalam"
Aku terdiam sejenak sesaat sambil memikirkan apa yang baru saja aku alami tadi. Mas Yusuf meneleponku. Dia mengajakku pergi bersama ke sebuah acara. Inilah untuk yang pertama kalinya selama lima bulan aku menikah dengan Mas Yusuf, dia mengajakku pergi bersama. Suatu hal yang sebenarnya sudah lama sekali aku impi-impikan. Pergi ke sebuah acara bersama seorang suami yang Bisa menggandengku dan menuntunku. Seperti apa yang sering aku lihat. Tapi apakah nanti dia mau menggandeng dan menuntunku seperti apa yang aku impi-impikan selama ini? Entahlah. Aku tidak mau terlalu berharap banyak padanya.
Kuselesaikan kembali pekerjaanku. Tak lama kemudian ponselku berdering lagi. Kali ini satu pesan diterima. Kubuka. Ternyata dari Mas Yusuf lagi. Bibirku tersenyum kecil sambil membaca isi pesannya.
Tunggu sj di dpn pintu msk dan jgn kmn2 smp aku dtg.
Aku membalasnya.
Baiklah. Aku janji tak akan kmn2 smp kau dtg.
Aku bahagia sekali. Mudah-mudahan saja ini langkah awal untuk memperbaiki hubungnku dengan Mas Yusuf.
Waktu berlalu begitu cepat. Pekerjaanku sudah selesai. Selepas shalat Ashar aku langsung bergegas pergi menuju Bumiwiyata Depok. Jarak antara kantorku ke Depok lumayan jauh, jadi aku putuskan untuk berangkat selepas shalat Ashar agar Mas Yusuf tak terlalu lama menungguku. Dari arah Rawamangun aku naik mobil angkot jurusan Pasar Minggu. Setelah sampai di Pasar Minggu, aku turun dan menyambung lagi dengan Bus jurusan Depok. Alhamdulillah aku mendapat satu kursi pertama di dekat pintu. Di daerah Poltangan, banyak penumpang yang turun, namun tak sedikit pula orang yang berebut untuk naik.
Disaat yang bersamaan aku melihat ada seorang ibu tua yang naik dengan membawa beberapa kantong plastik yang aku perkirakan isinya sangat banyak karena cara ibu tua itu membawanya sangat berat. Dia memutarkan pandangannya kesemua tempat duduk yang ada. Penuh. Semua kursi terisi. Ada satu yang kosong di dekat supir. Ibu itu hendak menghampirinya sebelum akhirnya seorang pemuda naik ke dalam Bus dan mendudukkan dirinya disana terlebih dahulu.
Ibu itu sudah di dera keletihan yang teramat sangat. Peluh di wajahnya menggambarkan sekali kalau dia benar-benar letih dan memerlukan tempat duduk untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sudah tua. Aku mengalihkan pandanganku ke semua penjuru Bus. Tak ada yang mau peduli pada ibu itu. Ada seorang perempuan muda yang asik menelepon sambil tertawa-tawa, ada juga kulihat seorang lelaki yang usianya aku perkirakan baru 30 tahunan sedang membolak balikan koran yang tengah dibacanya sambil sesekali melirikkan kedua matanya ke arah ibu tadi lalu pura-pura kembali membaca.
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung bangkit dari dudukku dan kupersilahkan ibu itu untuk duduk di kursi yang tadi aku tempati. Aku menemukan kebahagiaan yang tiada terkira terpancar di wajahnya.
"Terima kasih ya Nak?" Ucapnya pelan sambil menata barang bawaannya di pangkuannya. Aku mengangguk pelan dan tersenyum padanya. Bus melaju kencang di jalan raya. Terus berjalan menyisiri belahan kota Jakarta. Sejenak aku berpikir tentang semua orang yang ada didalam bus. Kenapa mereka begitu tega melihat seorang ibu yang sudah tua ini berdiri sambil menahan letih dan peluhnya sambil menunggu ada yang mau bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya, sementara banyak dari mereka yang masih sangat muda dan masih gagah, duduk dengan nyamannya sambil memperhatikan ibu itu dengan tatapan biasa-biasa saja. Tak ada sedikitpun dari mereka yang merasa kasihan melihat ibu itu dan tersentuh hatinya lalu bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya. Apa mereka tak menyadari berapa banyak pahala yang tengah Allah siapkan bagi mereka kalau saja mereka mau sedikit saja berbagi pada orang lain yang membutuhkan.
Tiba-tiba aku teringat akan sebuah hadits Rasulullah yang pernah murabbiku sampaikan, tentang 'amal kebaikan' di halaqah pekan kemarin.
"Dari Abu Hurairah ra. berkata, Nabi saw. Bersabda, Barang siapa yang melepaskan seorang mukmin dari kesusahan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari kesusahan di hari kiamat. Barang siapa yang memudahkan orang yang sedang mengalami kesulitan, maka Allah akan memudahkan kepadanya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hambaNya selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk memperoleh ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah (masjid); membaca kitab Allah, dan mempelajarinya bersam-sama, melainkan akan turun kepada mereka ketentraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, para malaikat berkerumun di sekelilingnya, dan Allah akan memuji mereka di depan (para malaikat) yang berada di sisiNya. Barangsiapa amalnya lambat (kurang), maka nasabnya tidak akan dapat menyempurnakannya12 "
Aku ingin sekali mencium bau surga itu. Aku ingin sekali melihat indahnya surga yang Allah janjikan itu. Aku ingin sekali. Apakah mereka-mereka yang tengah terduduk itu tidak menginginkan surga itu? Aku yakin mereka pasti menginginkannya. Tapi aku lebih yakin lagi, meskipun mereka mengetahui berapa besar balasan yang akan Allah berikan, mereka akan memilih untuk tetap duduk daripada harus berpanas-panasan sambil berdiri sementara mereka sudah mendapatkan tempat duduk yang enak.
Menurutku, mereka itu sombong. Mereka menganggap pahala mereka sudah banyak jadi tak perlu lagi memberikan tempat duduk pada ibu tua tadi demi mendapatkan sebuah pahala. Dan lebih celakanya lagi, pemikiran seperti itulah yang kini sudah tersetting di pikiran mereka masing-masing. Dan mereka juga beranggapan bahwa ibu tua tadi pasti juga akan mengerti kalau mereka tidak berkenan bangkit, itu karena mereka juga sama-sama lelah. Tapi menurutku, kadar kelelahan mereka berbeda. Mereka bisa menahan rasa lelah mereka, tapi kalau ibu tua tadi? Bisa-bisa dia pingsan kalau terlalu lelah berdiri. Hah, aku hanya bisa berdo'a agar mereka semua bisa lebih mengerti pada jalan dan tujuan hidup mereka masing-masing.
Jalanan tidak terlalu macet untuk di lalui kendaraan. Ya memang kadang-kadang mobil yang aku tumpangi berhenti sejenak tapi itu tidak lama. Meskipun misalnya mobil yang aku tumpangi terjebak macet, aku berusaha untuk tetap sabar. Aku tak ingin menyalahkan siapapun atas kemacetan yang terjadi. Macet ya macet. Hanya kadang banyak orang yang mempunyai persepsi yang berbeda-beda mengenai macet itu sendiri.
Ada yang menyalahi pemerintah karena kurang bijak dalam mengatasi masalah kemacetan, atau malah justru menyalahi pengguna jalan dan kendaraan yang kurang Bisa bertanggung jawab dalam menggunakan jalan. Entahlah. Semua itu hanya pendapat dari masing-masing orang. Yang pasti untukku, macet ya macet. Biar bagaimana pun kita berkeluh kesah tentang kemacetan, semua itu tidak akan menyelesaikan masalah. Malah justru Bisa membuat masalah baru pada diri kita yang menggerutu tanpa tujuan yang jelas kepada siapa keluhan itu ditujukan. Lebih baik bersabar dan bertawakal karena hal itu Bisa membawa kita pada dua keuntungan. Keuntungan yang pertama, kita Bisa memperoleh pahala atas kesabaran kita, dan keuntungan yang kedua, kita akan awet muda jika kita selalu berpikiran positif pada segala hal, termasuk kemacetan.
Yang pasti, sebagai manusia dan rakyat biasa, kita hanya Bisa berdo'a kelak kota Jakarta ini bisa mendapatkan seorang pemimpin yang benar-benar bisa memikirkan kepentingan rakyatnya dan dapat menyelesaikan permasalahan dengan adil dan bijak.
Bumiwiyata sudah di depan mata. Aku turun dari bus dengan perasaan senang. Aku menyeberang jalan dan sampai di depan Bumiwiyata. Disana sudah banyak akhwat yang berjilbab lebar dan ikhwan dengan celananya yang semata kaki dan dagunya yang berjenggot tipis. Aku teringat pesan dari Mas Yusuf agar aku menunggunya di depan pintu masuk sampai dia datang. Aku pun menunggunya.
Banyak yang datang namun tak sedikit pula yang keluar. Aku memandangi mereka dengan biasa saja. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17 lewat 15 menit. Aku sudah mulai gelisah. Kuputuskan untuk menelepon Mas Yusuf di menit ke 25. Tak ada jawaban.
"Telepon yang anda tuju, untuk sementara tidak dapat di hubungi. Cobalah beberapa saat lagi, atau tinggalkan pesan setelah nada berikut"
Itulah jawaban yang aku dengar berkali-kali dari operator telepon. Ada apa dengan Mas Yusuf? Aku benar-benar gelisah. Tiba-tiba ada seorang akhwat yang sangat aku kenal sekali wajahnya, bahkan tak pernah bisa aku lupa, menghampiriku sambil tersenyum.
"Assalamu'alaikum" Ucapnya dengan lembut.
"Wa'alaikumussalam" Jawabku sambil melemparkan senyum padanya.
"Afwan kamu Dinda kan, istrinya Yusuf?"
"Iya. Kamu pasti Alifa" Jawabku menimpalinya.
"Iya aku Alifa. Kamu masih ingat aku? Bukankah kita belum pernah berkenalan?"
"Bagaimana mungkin aku lupa. Suamiku kan pernah menyebut namamu ketika kamu datang ke pernikahanku".
"Oh, syukurlah kalau kamu masih ingat. Aku pikir kau tak akan mengenaliku"
"Tenang saja. Aku selalu berusaha untuk mengingat orang-orang yang pernah aku kenal. Oh iya, kamu ikut acara ini?"
"Iya. Kamu sendirian? Yusufnya mana?"
"Mungkin sebentar lagi akan sampai. Tadi kami janjian untuk bertemu disini"
"Oh begitu" Sahut Alifa datar. Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Oh iya hampir lupa" Tukasnya padaku. Dia mengambil sesuatu dari tasnya.
"Ini" Ucapnya sambil memberikan sebuah undangan pernikahan berwarna biru tua padaku. Aku menerimanya.
"Ini undangan pernikahanku. Datang ya?" Sambungnya. Aku menatapnya sesaat lalu kubuka undangan itu. Disitu tertera nama Alifa Oktaviana menikah dengan Guntur Maulana.
"Selamat ya?" Ucapku padanya. Dia mengangguk.
"Kalau begitu aku ke dalam dulu ya? Jangan lupa datang bersama suamimu di hari pernikahanku nanti" Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku.
"Insya Allah nanti aku sampaikan" Sahutku. Alifa tersenyum dan pergi dari hadapanku. Kulihat lagi jam tanganku. Sudah pukul 17 lewat 30 menit tapi Mas Yusuf belum juga datang. Kemana dia?
Tak lama berselang aku mendapati seorang ikhwan yang dulu pernah aku lihat di book fair. Dia temannya Mas Yusuf yang pernah berbincang dengannya. Aku melihatnya tepat ketika dia melihat kearahku. Dia mengangguk dan menghampiriku.
"Assalamu'alaikum. Yusufnya kemana ukh13?" Tanyanya padaku.
Aku menggeleng, "Wa'alaikumusslam. Belum datang".
"Oh...Bukannya bareng?"
Aku menggeleng lagi sambil mengarahkan pandanganku kearah jalan. Siapa tahu Mas Yusuf sudah datang.
"Tadi sih ana ketemu dia di sekolah terus dia bilang mau pergi jenguk Mas Bambang yang lagi sakit. Tapi dia nggak bilang mau datang kesini" Jelasnya.
"Memang Mas Bambang sakit apa? Antum tahu kapan dia pergi jenguk Mas Bambang?" Tanyaku.
"Tadi pagi kakinya Mas Bambang tersiram air panas, jadi tadi dia tidak mengajar. Kayaknya abis Ashar tadi deh Yusuf jalan. Soalnya dia bilang, pulang dari rumah Mas Bambang dia mau langsung kerumah ibunya. Mau nginep katanya. Tapi nggak tahu juga sih"
Aku terdiam sejenak.
"Randi!! Ayo!" Teriak salah seorang memanggil ikhwan yang kini ada di hadapanku yang kutahu bernama Randi.
"Afwan. Ana duluan. Asslamu'alaikum" Ucapnya lalu melangkah menghampiri seseorang yang tadi memanggilnya.
"Wa'alaikumussalam" Sahutku.
Pikiranku semakin kacau. Apa Mas Yusuf lupa dengan janjinya? Apa Mas Yusuf lupa kalau aku sekarang tengah menantinya disini? Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Engkau mendatangkan Randi kesini untuk memberikan kabar yang membuatku bimbang?
Sesaat lamanya aku terdiam sampai akhirnya aku menyadari kalau rintik-rintik hujan telah membasahi pakaianku. Segera saja aku ambil payung dari dalam tas dan kubuka untuk melindungi tubuhku dari hujan. Kalau saja Mas Yusuf tidak menyuruhku menunggunya disini, pasti aku sudah masuk kedalam lebih dulu. Dan kalau saja aku tidak berjanji untuk menunggunya sampai ia datang, pasti saat ini aku sudah berada di dalam tanpa harus berdiri disini ditemani hujan yang turun semakin deras.
Langit sudah semakin mendung dan azan Maghrib pun berkumandang. Dengan berucap bismillah aku melangkahkan kakiku kedalam diiringi niat kalau aku hendak menunaikan shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari janjiku pada Mas Yusuf.
Setelah shalat Maghrib, aku kembali lagi kedepan. Dengan harapan Mas Yusuf pasti datang. Hujan sudah mulai reda, namun masih ada sisa-sisa gerimisnya yang membasahi jilbabku. Aku sudah mulai letih. Aku berniat menghubungi Mas Yusuf kembali. Tapi kuurungkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengiriminya pesan yang isinya,
Mas, bkn mksudku ingin mengingkari janjiku u/ menunggumu disini smp kau dtg. Tp sungguh, aku sdh tk kuat lagi berdiri disini u/ menunggumu. Jd aku hrp, kau mau mengizinkanku u/ plg skrg.
Kukirim segera. Alhamdulillah pengiriman berhasil. Allah selalu ada bagi hamba-hambaNya yang bersabar. Tak lama kemudian satu pesan aku terima. Dari Mas Yusuf. ternyata. Isinya,
Aku segera kesana. Kau jgn kmn2. Kali ini aku janji. Afwan
Tiba-tiba air mataku jatuh membasahi ponsel yang kupegang. Aku berusaha untuk meluruskan pikiranku. Aku berusaha untuk tetap memikirkan hal-hal baik tentang Mas Yusuf, tapi kenapa air mata ini masih saja membasahi wajahku? Sekuat tenaga aku yakinkan diriku kalau Mas Yusuf hanya terlupa. Dan bukan karena dia tidak mencintaiku makanya dia lupa pada janjinya.
Seperempat jam aku menunggunya akhirnya dia datang juga. Entah bagaimana lagi raut wajahku saat ini. Yang pasti aku berusaha untuk tetap tersenyum melihat kedatangannya.
"Maaf ya, maaf banget. Tadi aku lupa kasih tahu kamu kalau Mas Bambang itu sakit. Tadi pagi kakinya tersiram air panas waktu mau menyeduh kopi, jadi tadi dia tidak mengajar. Lalu guru-guru yang lain mengjak aku untuk menjenguknya. Kamu tidak marah kan?" Cerocosnya begitu dia sampai di hadapanku.
Aku memandanginya lekat-lekat tanpa bisa menjawab sedikitpun. Aku bingung harus menjawab apa. Aku memang marah dan kesal padanya, tapi aku juga tidak mau dia tahu kalau aku marah padanya. Aku putuskan untuk menggeleng sambil berucap, "Iya"
"Maksudnya?" Tanyanya tidak mengerti.
"Coba kamu pikirkan kembali apa jawabanku barusan. Kalau kau mengerti, pasti kau tahu apa maksud dari jawabanku" Sahutku dengan nada datar. Aku sudah lelah. Dia terdiam. Acara di Bumiwiyata sudah selesai. Orang-orang sudah berhamburan keluar. Aku teringat Alifa yang memberikan undangan pernikahnnya padaku. Aku segera mengambilnya dari dalam tas dan memberikannya pada Mas Yusuf.
"Nih" Ucapku sambil menyodorkan undangannya.
"Apa ini?" Tanyanya sambil meraih undangannya dariku.
"Undangan pernikahan Alifa" Jawabku. Dia membukanya dan membacanya. Tak lama dia berucap datar.
"Mungkin inilah yang terbaik"
Aku hanya diam. Dia mengembalikan undangannya padaku dan menyuruhku naik ke motornya. Sambil naik aku berkata,
"Sebaiknya kita tidak usah kerumah ibu. Tidak enak rasanya datang kesana dengan pakaianku yang basah. Lebih baik besok saja kita kesananya"
"Baiklah" Sahutnya.
Motor yang kami tumpangi segera berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Sepanjang jalan kami hanya diam sambil mengintrospeksi diri masing-masing. Adakah surga yang tadi aku impi-impikan bisa aku cium baunya? Adakah surga yang telah Allah janjikan itu, bisa juga kami rasakan? Entahlah. Hanya waktu yang dapat menentukan. Hanya kesabaran dan kekuatan yang dapat menunjukkan segalanya dengan jelas. Aku hanya bisa berdo'a dalam diamku.
* * *
Hari pernikahan Alifa tiba. Aku dan Mas Yusuf pergi kesana bersama-sama. Setelah kemarin aku menyerahkan revisi novelku yang ketiga pada pihak penerbit, aku langsung membeli kado pernikahan untuk Alifa.
Mas Yusuf terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Apa mungkin dia masih menyimpan nama Alifa dalam hatinya? Entahlah. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Di depan sebuah rumah berbentuk seerhana, Mas Yusuf menaruh motornya dengan beberapa motor lainnya yang sudah terparkir lebih dulu disana. Setelah menulis nama kami di buku tamu dan memberikan bingkisanku pada dua orang wanita berjilbab ayu yang duduk disana, kami masuk kedalam menemui Alifa dan suaminya.
Senyuman penuh kehangatan terpancar di wajah cantik nan menawan Alifa. Dia benar-benar tidak bisa memungkiri kalau hari ini dia begitu bahagia. Bahagia karena hari ini dia sudah resmi menjadi seorang istri, bahagia karena hari ini adalah hari pernikahannya, dan bahagia karena dia dan suaminya, saling mencintai.
Tapi Alifa tidak sadar dan tidak menyadari, kalau ada seseorang yang hatinya begitu hancur melihat dia bersanding dengan orang lain. Dia adalah suamiku sendiri. Sebagai seseorang yang sudah hidup bersamanya selama lima bulan lebih, aku sudah bisa melihat ada kemurungan lain yang aku tangkap di wajahnya yang sendu. Mungkin dia berpikir, 'seharusnya aku yang ada di pelaminan itu dan bukan lelaki yang bernama Guntur itu'.
Astaghfirullah!! Aku tak mau su'udzan pada suamiku. Kembali kuluruskan niatku. Aku memasuki halaman rumahnya yang sudah di penuhi oleh para tamu. Undangan laki-laki dan undangan wanita di pisah oleh hijab.
Aku bersalaman dengan Alifa dan memeluknya dengan erat seraya mengucapkan kalimat yang sama seperti yang pernah ia ucapkan padaku saat menikah.
"Barakallah ya Alifa? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah"
"Syukran ya?" Ucapnya.
Aku mengangguk dan tersenyum. Mas Yusuf hanya bersalaman pada Guntur tanpa berucap sepatah katapun padanya. Aku mengerti perasaannya. Sebelum kami beranjak pergi, Alifa meminta kami untuk berfoto bersama. Aku berdiri disamping Alifa dan Mas Yusuf berdiri di samping Guntur. Tinggi badanku hampir sama dengan Alifa dan sepertinya tinggi badan Mas Yusuf pun tak jauh beda dengan Guntur.
Setelah berfoto, aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku mengambil hidangan di tempat akhwat dan Mas Yusuf mengambil hidangan di tempat ikhwan. Setelah menghabiskan makanan kami, Mas Yusuf memberikan isyarat matanya padaku sambil mengangguk pelan. Menandakan bahwa dia ingin segera pulang. Aku pun menurutinya.
Sebelum pulang, sekali lagi kami berpamitan pada Alifa dan Guntur. Dia menyayangkan kami yang terkesan buru-buru sekali. Tapi apa boleh buat, Mas Yusuf sudah mengajakku pulang. Setelah berpamitan, kami pulang dengan perasaan kami masing-masing. Menatap kembali senyum Alifa yang terlihat begitu bahagia.
* * *
Nantikan kelanjutannya sesaat lagi di (BAG. 7 )
Sejenak aku berpikir. Tiba-tiba aku mempunyai ide untuk menghubungi Mas Bambang, temannya Mas Yusuf di tempatnya mengajar, untuk mencari tahu tentang soal-soal yang tengah diselesaikannya sekarang. Mas Bambang itu mengajar pelajaran matematika. Tapi, apa tidak terlalu malam untuk menghubunginya? Apa tidak mengganggunya? Ah, ini kan untuk kebaikan juga. Kalau sampai soal-soal ini tidak selesai malam ini juga, maka besok tidak ada soal fisika yang bisa dikerjakan. Aku putuskan untuk menghubungi Mas Bambang melalui ponsel Mas Yusuf yang tergeletak di meja dekat laptopnya. Kucari nama Mas Bambang lalu kupanggil. Busmillah.
Sesaat lamanya yang kudengar hanya nada sambung. Kuulangi lagi. Alhamdulillah diangkat.
"Ada apa Suf? Malam-malam kok mengganggu saja" Ucap Mas Bambang dengan nada kesal. Terdengar sekali suaranya yang baru saja terbangun dari tidurnya.
"Maaf Mas, saya Dinda, istrinya Mas Yusuf" Tukasku agak pelan. Takut Mas Yusuf terbangun.
"Oh, maaf...maaf. Saya pikir Yusuf. Ada apa ya, menelepon malam-malam?" Tanya Mas Bambang terdengar kaget ketika dia tahu yang meneleponnya adalah istrinya Yusuf, bukan Yusuf.
"Maaf ya Mas, sebelumnya. Saya hanya ingin tahu mengenai UTS besok. Apa mata pelajaran Mas Yusuf itu akan diujikan besok pagi, Mas ya?"
"Oh...iya. Pelajaran fisika itu akan diujikan besok bersama pelajaran Bahasa Indonesia. Ada apa rupanya ya?" Tanya Mas Bambang ingin tahu.
"Tidak Mas, tidak ada apa-apa. Ehm...setiap soal pelajaran itu mendapat jatah berapa nomor ya Mas?"
"Setiap soal pelajaran itu mendapat jatah 50 nomor, kecuali matematika, hanya 40 nomor" Jelas Mas Bambang singkat. Kulirikkan mataku ke layar laptop. Soal yang diselesaikan Mas Yusuf baru 27 nomor. Berarti kurang 23 nomor. Jumlah yang cukup besar bila harus diselesaikan malam ini juga. Mengingat waktu terus berputar dan malam semakin larut menjelang.
"Ya sudah Mas, terima kasih kalau begitu. Maaf ya mengganggu malam-malam" Ucapku masih dengan pelan.
"Ya...ya, tidak apa-apa" Sahut Mas Bambang.
"Makasih sekali lagi Mas, ya. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam" Jawabnya menutup pembicaran.
Aku langsung bergerak cepat. Kuputar laptop kearahku. Kubaca dengan seksama konsep soal-soal fisika yang ada dihadapanku. Setelah cukup, aku mulai mengetiknya dengan melanjutkan soal yang ada. Dengan teliti aku membacanya dan mengetiknya. Agak sulit juga rupanya karena banyak istilah-istilah fisika yang masih sangat asing bagiku. Namun karena niatku ingin membantu suamiku, maka aku harus benar-benar berusaha untuk menyelesaikan soal-soal ini.
Waktu terus bergulir hingga jam dinding sudah menunjukkan pukul satu malam lewat lima belas detik. Alhamdulillah semuanya sudah selesai. Setelah kuteliti ulang dan kurasa benar, soal-soal itu kumasukkan kedalam flash disk, lalu kuprint semuanya di komputerku yang ada di di dalam kamar. Alhamdulillah wa syukurillah, lima lembar soal dengan kertas ukuran folio, huruf times new roman dengan ukuran 12 font, telah selesai aku ketik. Lega rasanya hati ini karena akhirnya soal-soal ini sudah selesai. Aku tersenyum bangga.
Kuletakkan lima lembar soal itu di atas meja. Kubereskan semua kertas-kertas yang ada disana dan kumatikan laptopnya. Setelah semua beres, aku berniat melaksanakan shalat tahajud. Sebelum kuberanjak ke kamar mandi, kusempatkan mataku menatap wajah Mas Yusuf. Begitu bersih dan bersahaja. Tapi sayang, tak pernah kutemukan pancaran cinta yang dia berikan untukku. Oh, ingin sekali rasanya aku menyentuh wajahnya, membelai rambutnya, dan...mencium pipinya. Ya, menciumnya. Aku ingin sekali menciumnya. Sampai sekarang belum pernah aku merasakan ciuman hangat darinya. Tapi, ah, kuurungkan saja niatku untuk menciumnya diam-diam. Aku tak ingin menciumnya karena terpaksa. Biarlah. Jika memang seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan ciuman itu, aku akan berusaha untuk ikhlas. Hanya dengan keikhlasan dan kesabaran, aku akan menjalani hidup ini.
Ku langkahkan kakiku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
* * *
"Dinda, apa semua ini kamu yang mengerjakan?" Tanya Mas Yusuf ketika dia baru saja terbangun dari tidurnya. Aku melongok keruang tamu dari balik dinding dapur dan balik bertanya padanya seolah-olah tidak mengerti apa yang ditanyakannya.
"Mengerjakan apa?"
"Soal-soal UTS ini?" Jawabnya dengan raut wajah yang tampak bingung sambil membaca dengan seksama kertas-kertas soal yang dimaksud.
"Oh! Iya, itu aku yang mengerjakan. Kenapa, ada yang salah?"
Mas Yusuf terdiam sejenak. Dia mengerutkan keningnya. Kedua alisnya hampir saja bertemu ketika membaca soal-soal itu.
"Ehm....Tidak, tidak ada yang salah fatal. Hanya saja ada beberapa kata yang salah penulisannya" Jawabnya sambil memandang kearahku kemudian menunduk lagi memeriksa soal-soal itu.
"Syukurlah kalau begitu" Sahutku sambil meneruskan aktivitasku memasak nasi goreng dan telur dadar. Aku kembali berkata pada Mas Yusuf.
"Hari semakin siang, Mas. Kau belum shalat Subuh" Ucapku lagi pada Mas Yusuf. Sekedar mengingatkan kalau dia memang belum shalat Subuh.
"Astaghfirullahal'adzim" Ucapnya terdengar di telingaku. Tak lama kemudian dia bergegas masuk ke kamar mandi tanpa membawa handuk. Dia melewatiku dengan terburu-buru.
Nasi goreng yang kubuat sudah matang. Kuangkat dan kusajikan menjadi dua piring. Telur dadarnya pun senantiasa menghiasinya. Kusajikan semuanya di atas meja makan. Dari kamar mandi terdengar Mas Yusuf sedang mandi. Sepertinya dia lupa kalau dia tidak membawa handuk. Mungkin awalnya dia hanya berniat untuk mengambil air wudhu. Tapi karena sudah terlanjur di kamar mandi, ya sekalian saja dia mandi. Tanpa ingat kalau dia lupa membawa handuk.
Setelah meletakkan dua piring nasi goreng di meja makan, aku bergegas mengambil handuk dan menyerahkannya pada MasYusuf.
"Mas, ini handuknya!" Ucapku dari luar kamar mandi sambil mengetuk pintunya.
Tak lama dia membuka sedikit pintu kamar mandi dan mengulurkan tangannya seraya mengambil handuk yang aku berikan padanya.
"Terima kasih" Ucapnya pelan sambil menutup pintu kamar mandi.
Aku kembali lagi ke meja makan dan menatanya dengan rapi. Setelah kurasa beres semua, aku beranjak ke kamar untuk menyiapkan pakaian Mas Yusuf yang akan dia kenakan untuk berangkat mengajar. Kemudian aku merapikan diriku untuk segera bersiap-siap pergi ke kantor.
Setelah keluar dari kamar mandi, Mas Yusuf langsung masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Aku sudah menunggunya di meja makan untuk sarapan. Tak lama kemudian dia keluar kamar dengan mengenakan pakaian yang tadi sudah aku siapkan.
"Sudah shalat Mas?" Tanyaku ketika dia baru saja keluar dari kamar.
Dia hanya mengangguk kemudian duduk di salah satu kursi yang ada di sebelahku. Di hadapannya sudah ada sepiring nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan ketimun serta tomatnya yang kuiris tipis-tipis. Di sebelah nasi gorengnya sudah aku siapkan segelas teh manis hangat untuk menghangatkan perutnya.
Dia melahapnya dengan terlebih dahulu membaca Bismillah. Akupun menemaninya makan. Tak ada perbincangan yang berarti ketika kami sedang makan. Entahlah. Mungkin sampai detik ini, perasaannya terhadapku belum berubah. Masih dingin dan acuh. Padahal sebenarnya, aku ingin sekali mendengarkan dia berucap sepatah kata saja padaku. Kata apa saja itu. Yang penting aku mendengar dia memanggil namaku seperti semalam. Rasanya indah sekali.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh lima menit. Mas Yusuf menyudahi makannya dengan menenggak teh manis hangat buatanku. Setelah itu dia beranjak mengambil sepatunya dan memakainya di ruang tamu. Semua kertas soal yang aku ketik semalam sudah dia masukkan ke dalam tasnya. Setelah semuanya dirasa cukup dan dirasa tidak ada yang tertinggal, dia bangkit sambil membawa tasnya.
Aku mengiringi langkahnya dari belakang. Setelah di depan pintu dia berbalik kearahku. Aku mencium tangannya dengan penuh ketulusan. Dia menatap wajahku dengan biasa-biasa saja. Aku menatapnya.
"Hati-hati di jalan ya? Jangan ngebut" Pesanku sebelum dia berangkat.
Lagi-lagi dia hanya mengangguk pelan tanpa menyahut sedikitpun. Dia melangkah kearah motornya sambil mengucapkan salam. Aku pun menjawabnya. Namun tiba-tiba dia menghentikan langkahnya dan berbalik menghampiriku.
"Ada apa lagi? Ada yang tertinggal?" Tanyaku dengan penuh kebingungan.
Dia menggeleng kemudian bersuara,
"Tidak ada yang tertinggal namun ada yang terlupa..." Jawabnya membuat aku tambah bingung.
"Apa yang terlupa? Biar aku ambilkan" Ucapku.
"Tidak usah kau ambilkan. Aku hanya lupa mengucapkan terima kasih padamu atas bantuanmu menyelesaikan soal-soal UTS ini. Sungguh, kalau tak ada dirimu, mungkin pagi ini aku akan kuwalahan menyelesaikan soal-soal ini sendirian sambil di kejar-kejar waktu. Terima kasih ya karena sudah meluangkan waktu malammu untuk menyelesaikan pekerjaanku. Suatu saat, pasti akan kubalas" Ucapnya panjang lebar membuat aku terhenyak.
"Tidak perlu seperti itu. Memang sudah menjadi tanggung jawabku sebagai seorang istri untuk membantu suaminya" Sahutku menimpalinya.
Dia mengangguk pelan dan kembali berkata,
"Ya. Kalau begitu aku berangkat. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam"
Dia pun menaiki motornya dan sejurus kemudian dia menyusuri jalanan dan menghilang dari pandanganku. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang merasuki jiwaku. Sesuatu yang menetes di kedalaman hatiku yang kemudian membuatnya menjadi segar kembali. Entah apa itu. Aku yakin, itulah cinta. Cintaku yang kian hari kian mendalam pada sosok suamiku. Cinta yang bisa menguatkanku dalam keberadaanku bersamanya.
Aku pun masuk kedalam dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.
* * *
Ponselku berdering ketika aku tengah sibuk dengan pekerjaanku di kantor. Awalnya aku kurang menghiraukannya karena memang pekerjaanku benar-benar menumpuk. Tapi ponsel itu terus berdering mengeluarkan ringtone 'Merah Saga'nya Shoutul Harokah, nasyid kegemaranku. Kuangkat. Ternyata dari Mas Yusuf. Pikiranku tiba-tiba teralih sejenak pada Mas Yusuf yang kini tengah menanti jawaban telepon dariku.
"Assalamu'alaikum. Ada apa Mas?" Tanyaku segera tanpa basa-basi.
"Wa'alaikumussalam. Nanti sore ada acara di Bumiwiyata Depok. Kita ketemu disana jam 5 ya? Malamnya kita menginap di rumah Ibu" Jawabnya singkat dengan cepat. Ibu yang dimaksud adalah ibunya. Aku baru menyadari, dia tak sedikitpun menyebut namaku.
"Acara apa memangnya Mas?"
"Acara bedah buku bersama Penerbit Al Kautsar. Bintang tamunya ada Shoutul Harokah dan Izzatul Islam. Sekalian aku mau cari-cari buku disana" Sahutnya datar.
"Oh. Ya sudah kalau begitu, kita ketemu disana jam 5 ya?"
"Ya. Assalamu'alaikum" Ucapnya mengakhiri pembicaraan. Diapun langsung menutup teleponnya tanpa mendengar dulu jawaban salamku.
"Wa'alaikumussalam"
Aku terdiam sejenak sesaat sambil memikirkan apa yang baru saja aku alami tadi. Mas Yusuf meneleponku. Dia mengajakku pergi bersama ke sebuah acara. Inilah untuk yang pertama kalinya selama lima bulan aku menikah dengan Mas Yusuf, dia mengajakku pergi bersama. Suatu hal yang sebenarnya sudah lama sekali aku impi-impikan. Pergi ke sebuah acara bersama seorang suami yang Bisa menggandengku dan menuntunku. Seperti apa yang sering aku lihat. Tapi apakah nanti dia mau menggandeng dan menuntunku seperti apa yang aku impi-impikan selama ini? Entahlah. Aku tidak mau terlalu berharap banyak padanya.
Kuselesaikan kembali pekerjaanku. Tak lama kemudian ponselku berdering lagi. Kali ini satu pesan diterima. Kubuka. Ternyata dari Mas Yusuf lagi. Bibirku tersenyum kecil sambil membaca isi pesannya.
Tunggu sj di dpn pintu msk dan jgn kmn2 smp aku dtg.
Aku membalasnya.
Baiklah. Aku janji tak akan kmn2 smp kau dtg.
Aku bahagia sekali. Mudah-mudahan saja ini langkah awal untuk memperbaiki hubungnku dengan Mas Yusuf.
Waktu berlalu begitu cepat. Pekerjaanku sudah selesai. Selepas shalat Ashar aku langsung bergegas pergi menuju Bumiwiyata Depok. Jarak antara kantorku ke Depok lumayan jauh, jadi aku putuskan untuk berangkat selepas shalat Ashar agar Mas Yusuf tak terlalu lama menungguku. Dari arah Rawamangun aku naik mobil angkot jurusan Pasar Minggu. Setelah sampai di Pasar Minggu, aku turun dan menyambung lagi dengan Bus jurusan Depok. Alhamdulillah aku mendapat satu kursi pertama di dekat pintu. Di daerah Poltangan, banyak penumpang yang turun, namun tak sedikit pula orang yang berebut untuk naik.
Disaat yang bersamaan aku melihat ada seorang ibu tua yang naik dengan membawa beberapa kantong plastik yang aku perkirakan isinya sangat banyak karena cara ibu tua itu membawanya sangat berat. Dia memutarkan pandangannya kesemua tempat duduk yang ada. Penuh. Semua kursi terisi. Ada satu yang kosong di dekat supir. Ibu itu hendak menghampirinya sebelum akhirnya seorang pemuda naik ke dalam Bus dan mendudukkan dirinya disana terlebih dahulu.
Ibu itu sudah di dera keletihan yang teramat sangat. Peluh di wajahnya menggambarkan sekali kalau dia benar-benar letih dan memerlukan tempat duduk untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sudah tua. Aku mengalihkan pandanganku ke semua penjuru Bus. Tak ada yang mau peduli pada ibu itu. Ada seorang perempuan muda yang asik menelepon sambil tertawa-tawa, ada juga kulihat seorang lelaki yang usianya aku perkirakan baru 30 tahunan sedang membolak balikan koran yang tengah dibacanya sambil sesekali melirikkan kedua matanya ke arah ibu tadi lalu pura-pura kembali membaca.
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung bangkit dari dudukku dan kupersilahkan ibu itu untuk duduk di kursi yang tadi aku tempati. Aku menemukan kebahagiaan yang tiada terkira terpancar di wajahnya.
"Terima kasih ya Nak?" Ucapnya pelan sambil menata barang bawaannya di pangkuannya. Aku mengangguk pelan dan tersenyum padanya. Bus melaju kencang di jalan raya. Terus berjalan menyisiri belahan kota Jakarta. Sejenak aku berpikir tentang semua orang yang ada didalam bus. Kenapa mereka begitu tega melihat seorang ibu yang sudah tua ini berdiri sambil menahan letih dan peluhnya sambil menunggu ada yang mau bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya, sementara banyak dari mereka yang masih sangat muda dan masih gagah, duduk dengan nyamannya sambil memperhatikan ibu itu dengan tatapan biasa-biasa saja. Tak ada sedikitpun dari mereka yang merasa kasihan melihat ibu itu dan tersentuh hatinya lalu bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya. Apa mereka tak menyadari berapa banyak pahala yang tengah Allah siapkan bagi mereka kalau saja mereka mau sedikit saja berbagi pada orang lain yang membutuhkan.
Tiba-tiba aku teringat akan sebuah hadits Rasulullah yang pernah murabbiku sampaikan, tentang 'amal kebaikan' di halaqah pekan kemarin.
"Dari Abu Hurairah ra. berkata, Nabi saw. Bersabda, Barang siapa yang melepaskan seorang mukmin dari kesusahan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari kesusahan di hari kiamat. Barang siapa yang memudahkan orang yang sedang mengalami kesulitan, maka Allah akan memudahkan kepadanya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hambaNya selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk memperoleh ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah (masjid); membaca kitab Allah, dan mempelajarinya bersam-sama, melainkan akan turun kepada mereka ketentraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, para malaikat berkerumun di sekelilingnya, dan Allah akan memuji mereka di depan (para malaikat) yang berada di sisiNya. Barangsiapa amalnya lambat (kurang), maka nasabnya tidak akan dapat menyempurnakannya12 "
Aku ingin sekali mencium bau surga itu. Aku ingin sekali melihat indahnya surga yang Allah janjikan itu. Aku ingin sekali. Apakah mereka-mereka yang tengah terduduk itu tidak menginginkan surga itu? Aku yakin mereka pasti menginginkannya. Tapi aku lebih yakin lagi, meskipun mereka mengetahui berapa besar balasan yang akan Allah berikan, mereka akan memilih untuk tetap duduk daripada harus berpanas-panasan sambil berdiri sementara mereka sudah mendapatkan tempat duduk yang enak.
Menurutku, mereka itu sombong. Mereka menganggap pahala mereka sudah banyak jadi tak perlu lagi memberikan tempat duduk pada ibu tua tadi demi mendapatkan sebuah pahala. Dan lebih celakanya lagi, pemikiran seperti itulah yang kini sudah tersetting di pikiran mereka masing-masing. Dan mereka juga beranggapan bahwa ibu tua tadi pasti juga akan mengerti kalau mereka tidak berkenan bangkit, itu karena mereka juga sama-sama lelah. Tapi menurutku, kadar kelelahan mereka berbeda. Mereka bisa menahan rasa lelah mereka, tapi kalau ibu tua tadi? Bisa-bisa dia pingsan kalau terlalu lelah berdiri. Hah, aku hanya bisa berdo'a agar mereka semua bisa lebih mengerti pada jalan dan tujuan hidup mereka masing-masing.
Jalanan tidak terlalu macet untuk di lalui kendaraan. Ya memang kadang-kadang mobil yang aku tumpangi berhenti sejenak tapi itu tidak lama. Meskipun misalnya mobil yang aku tumpangi terjebak macet, aku berusaha untuk tetap sabar. Aku tak ingin menyalahkan siapapun atas kemacetan yang terjadi. Macet ya macet. Hanya kadang banyak orang yang mempunyai persepsi yang berbeda-beda mengenai macet itu sendiri.
Ada yang menyalahi pemerintah karena kurang bijak dalam mengatasi masalah kemacetan, atau malah justru menyalahi pengguna jalan dan kendaraan yang kurang Bisa bertanggung jawab dalam menggunakan jalan. Entahlah. Semua itu hanya pendapat dari masing-masing orang. Yang pasti untukku, macet ya macet. Biar bagaimana pun kita berkeluh kesah tentang kemacetan, semua itu tidak akan menyelesaikan masalah. Malah justru Bisa membuat masalah baru pada diri kita yang menggerutu tanpa tujuan yang jelas kepada siapa keluhan itu ditujukan. Lebih baik bersabar dan bertawakal karena hal itu Bisa membawa kita pada dua keuntungan. Keuntungan yang pertama, kita Bisa memperoleh pahala atas kesabaran kita, dan keuntungan yang kedua, kita akan awet muda jika kita selalu berpikiran positif pada segala hal, termasuk kemacetan.
Yang pasti, sebagai manusia dan rakyat biasa, kita hanya Bisa berdo'a kelak kota Jakarta ini bisa mendapatkan seorang pemimpin yang benar-benar bisa memikirkan kepentingan rakyatnya dan dapat menyelesaikan permasalahan dengan adil dan bijak.
Bumiwiyata sudah di depan mata. Aku turun dari bus dengan perasaan senang. Aku menyeberang jalan dan sampai di depan Bumiwiyata. Disana sudah banyak akhwat yang berjilbab lebar dan ikhwan dengan celananya yang semata kaki dan dagunya yang berjenggot tipis. Aku teringat pesan dari Mas Yusuf agar aku menunggunya di depan pintu masuk sampai dia datang. Aku pun menunggunya.
Banyak yang datang namun tak sedikit pula yang keluar. Aku memandangi mereka dengan biasa saja. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17 lewat 15 menit. Aku sudah mulai gelisah. Kuputuskan untuk menelepon Mas Yusuf di menit ke 25. Tak ada jawaban.
"Telepon yang anda tuju, untuk sementara tidak dapat di hubungi. Cobalah beberapa saat lagi, atau tinggalkan pesan setelah nada berikut"
Itulah jawaban yang aku dengar berkali-kali dari operator telepon. Ada apa dengan Mas Yusuf? Aku benar-benar gelisah. Tiba-tiba ada seorang akhwat yang sangat aku kenal sekali wajahnya, bahkan tak pernah bisa aku lupa, menghampiriku sambil tersenyum.
"Assalamu'alaikum" Ucapnya dengan lembut.
"Wa'alaikumussalam" Jawabku sambil melemparkan senyum padanya.
"Afwan kamu Dinda kan, istrinya Yusuf?"
"Iya. Kamu pasti Alifa" Jawabku menimpalinya.
"Iya aku Alifa. Kamu masih ingat aku? Bukankah kita belum pernah berkenalan?"
"Bagaimana mungkin aku lupa. Suamiku kan pernah menyebut namamu ketika kamu datang ke pernikahanku".
"Oh, syukurlah kalau kamu masih ingat. Aku pikir kau tak akan mengenaliku"
"Tenang saja. Aku selalu berusaha untuk mengingat orang-orang yang pernah aku kenal. Oh iya, kamu ikut acara ini?"
"Iya. Kamu sendirian? Yusufnya mana?"
"Mungkin sebentar lagi akan sampai. Tadi kami janjian untuk bertemu disini"
"Oh begitu" Sahut Alifa datar. Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Oh iya hampir lupa" Tukasnya padaku. Dia mengambil sesuatu dari tasnya.
"Ini" Ucapnya sambil memberikan sebuah undangan pernikahan berwarna biru tua padaku. Aku menerimanya.
"Ini undangan pernikahanku. Datang ya?" Sambungnya. Aku menatapnya sesaat lalu kubuka undangan itu. Disitu tertera nama Alifa Oktaviana menikah dengan Guntur Maulana.
"Selamat ya?" Ucapku padanya. Dia mengangguk.
"Kalau begitu aku ke dalam dulu ya? Jangan lupa datang bersama suamimu di hari pernikahanku nanti" Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku.
"Insya Allah nanti aku sampaikan" Sahutku. Alifa tersenyum dan pergi dari hadapanku. Kulihat lagi jam tanganku. Sudah pukul 17 lewat 30 menit tapi Mas Yusuf belum juga datang. Kemana dia?
Tak lama berselang aku mendapati seorang ikhwan yang dulu pernah aku lihat di book fair. Dia temannya Mas Yusuf yang pernah berbincang dengannya. Aku melihatnya tepat ketika dia melihat kearahku. Dia mengangguk dan menghampiriku.
"Assalamu'alaikum. Yusufnya kemana ukh13?" Tanyanya padaku.
Aku menggeleng, "Wa'alaikumusslam. Belum datang".
"Oh...Bukannya bareng?"
Aku menggeleng lagi sambil mengarahkan pandanganku kearah jalan. Siapa tahu Mas Yusuf sudah datang.
"Tadi sih ana ketemu dia di sekolah terus dia bilang mau pergi jenguk Mas Bambang yang lagi sakit. Tapi dia nggak bilang mau datang kesini" Jelasnya.
"Memang Mas Bambang sakit apa? Antum tahu kapan dia pergi jenguk Mas Bambang?" Tanyaku.
"Tadi pagi kakinya Mas Bambang tersiram air panas, jadi tadi dia tidak mengajar. Kayaknya abis Ashar tadi deh Yusuf jalan. Soalnya dia bilang, pulang dari rumah Mas Bambang dia mau langsung kerumah ibunya. Mau nginep katanya. Tapi nggak tahu juga sih"
Aku terdiam sejenak.
"Randi!! Ayo!" Teriak salah seorang memanggil ikhwan yang kini ada di hadapanku yang kutahu bernama Randi.
"Afwan. Ana duluan. Asslamu'alaikum" Ucapnya lalu melangkah menghampiri seseorang yang tadi memanggilnya.
"Wa'alaikumussalam" Sahutku.
Pikiranku semakin kacau. Apa Mas Yusuf lupa dengan janjinya? Apa Mas Yusuf lupa kalau aku sekarang tengah menantinya disini? Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Engkau mendatangkan Randi kesini untuk memberikan kabar yang membuatku bimbang?
Sesaat lamanya aku terdiam sampai akhirnya aku menyadari kalau rintik-rintik hujan telah membasahi pakaianku. Segera saja aku ambil payung dari dalam tas dan kubuka untuk melindungi tubuhku dari hujan. Kalau saja Mas Yusuf tidak menyuruhku menunggunya disini, pasti aku sudah masuk kedalam lebih dulu. Dan kalau saja aku tidak berjanji untuk menunggunya sampai ia datang, pasti saat ini aku sudah berada di dalam tanpa harus berdiri disini ditemani hujan yang turun semakin deras.
Langit sudah semakin mendung dan azan Maghrib pun berkumandang. Dengan berucap bismillah aku melangkahkan kakiku kedalam diiringi niat kalau aku hendak menunaikan shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari janjiku pada Mas Yusuf.
Setelah shalat Maghrib, aku kembali lagi kedepan. Dengan harapan Mas Yusuf pasti datang. Hujan sudah mulai reda, namun masih ada sisa-sisa gerimisnya yang membasahi jilbabku. Aku sudah mulai letih. Aku berniat menghubungi Mas Yusuf kembali. Tapi kuurungkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengiriminya pesan yang isinya,
Mas, bkn mksudku ingin mengingkari janjiku u/ menunggumu disini smp kau dtg. Tp sungguh, aku sdh tk kuat lagi berdiri disini u/ menunggumu. Jd aku hrp, kau mau mengizinkanku u/ plg skrg.
Kukirim segera. Alhamdulillah pengiriman berhasil. Allah selalu ada bagi hamba-hambaNya yang bersabar. Tak lama kemudian satu pesan aku terima. Dari Mas Yusuf. ternyata. Isinya,
Aku segera kesana. Kau jgn kmn2. Kali ini aku janji. Afwan
Tiba-tiba air mataku jatuh membasahi ponsel yang kupegang. Aku berusaha untuk meluruskan pikiranku. Aku berusaha untuk tetap memikirkan hal-hal baik tentang Mas Yusuf, tapi kenapa air mata ini masih saja membasahi wajahku? Sekuat tenaga aku yakinkan diriku kalau Mas Yusuf hanya terlupa. Dan bukan karena dia tidak mencintaiku makanya dia lupa pada janjinya.
Seperempat jam aku menunggunya akhirnya dia datang juga. Entah bagaimana lagi raut wajahku saat ini. Yang pasti aku berusaha untuk tetap tersenyum melihat kedatangannya.
"Maaf ya, maaf banget. Tadi aku lupa kasih tahu kamu kalau Mas Bambang itu sakit. Tadi pagi kakinya tersiram air panas waktu mau menyeduh kopi, jadi tadi dia tidak mengajar. Lalu guru-guru yang lain mengjak aku untuk menjenguknya. Kamu tidak marah kan?" Cerocosnya begitu dia sampai di hadapanku.
Aku memandanginya lekat-lekat tanpa bisa menjawab sedikitpun. Aku bingung harus menjawab apa. Aku memang marah dan kesal padanya, tapi aku juga tidak mau dia tahu kalau aku marah padanya. Aku putuskan untuk menggeleng sambil berucap, "Iya"
"Maksudnya?" Tanyanya tidak mengerti.
"Coba kamu pikirkan kembali apa jawabanku barusan. Kalau kau mengerti, pasti kau tahu apa maksud dari jawabanku" Sahutku dengan nada datar. Aku sudah lelah. Dia terdiam. Acara di Bumiwiyata sudah selesai. Orang-orang sudah berhamburan keluar. Aku teringat Alifa yang memberikan undangan pernikahnnya padaku. Aku segera mengambilnya dari dalam tas dan memberikannya pada Mas Yusuf.
"Nih" Ucapku sambil menyodorkan undangannya.
"Apa ini?" Tanyanya sambil meraih undangannya dariku.
"Undangan pernikahan Alifa" Jawabku. Dia membukanya dan membacanya. Tak lama dia berucap datar.
"Mungkin inilah yang terbaik"
Aku hanya diam. Dia mengembalikan undangannya padaku dan menyuruhku naik ke motornya. Sambil naik aku berkata,
"Sebaiknya kita tidak usah kerumah ibu. Tidak enak rasanya datang kesana dengan pakaianku yang basah. Lebih baik besok saja kita kesananya"
"Baiklah" Sahutnya.
Motor yang kami tumpangi segera berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Sepanjang jalan kami hanya diam sambil mengintrospeksi diri masing-masing. Adakah surga yang tadi aku impi-impikan bisa aku cium baunya? Adakah surga yang telah Allah janjikan itu, bisa juga kami rasakan? Entahlah. Hanya waktu yang dapat menentukan. Hanya kesabaran dan kekuatan yang dapat menunjukkan segalanya dengan jelas. Aku hanya bisa berdo'a dalam diamku.
* * *
Hari pernikahan Alifa tiba. Aku dan Mas Yusuf pergi kesana bersama-sama. Setelah kemarin aku menyerahkan revisi novelku yang ketiga pada pihak penerbit, aku langsung membeli kado pernikahan untuk Alifa.
Mas Yusuf terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Apa mungkin dia masih menyimpan nama Alifa dalam hatinya? Entahlah. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Di depan sebuah rumah berbentuk seerhana, Mas Yusuf menaruh motornya dengan beberapa motor lainnya yang sudah terparkir lebih dulu disana. Setelah menulis nama kami di buku tamu dan memberikan bingkisanku pada dua orang wanita berjilbab ayu yang duduk disana, kami masuk kedalam menemui Alifa dan suaminya.
Senyuman penuh kehangatan terpancar di wajah cantik nan menawan Alifa. Dia benar-benar tidak bisa memungkiri kalau hari ini dia begitu bahagia. Bahagia karena hari ini dia sudah resmi menjadi seorang istri, bahagia karena hari ini adalah hari pernikahannya, dan bahagia karena dia dan suaminya, saling mencintai.
Tapi Alifa tidak sadar dan tidak menyadari, kalau ada seseorang yang hatinya begitu hancur melihat dia bersanding dengan orang lain. Dia adalah suamiku sendiri. Sebagai seseorang yang sudah hidup bersamanya selama lima bulan lebih, aku sudah bisa melihat ada kemurungan lain yang aku tangkap di wajahnya yang sendu. Mungkin dia berpikir, 'seharusnya aku yang ada di pelaminan itu dan bukan lelaki yang bernama Guntur itu'.
Astaghfirullah!! Aku tak mau su'udzan pada suamiku. Kembali kuluruskan niatku. Aku memasuki halaman rumahnya yang sudah di penuhi oleh para tamu. Undangan laki-laki dan undangan wanita di pisah oleh hijab.
Aku bersalaman dengan Alifa dan memeluknya dengan erat seraya mengucapkan kalimat yang sama seperti yang pernah ia ucapkan padaku saat menikah.
"Barakallah ya Alifa? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah"
"Syukran ya?" Ucapnya.
Aku mengangguk dan tersenyum. Mas Yusuf hanya bersalaman pada Guntur tanpa berucap sepatah katapun padanya. Aku mengerti perasaannya. Sebelum kami beranjak pergi, Alifa meminta kami untuk berfoto bersama. Aku berdiri disamping Alifa dan Mas Yusuf berdiri di samping Guntur. Tinggi badanku hampir sama dengan Alifa dan sepertinya tinggi badan Mas Yusuf pun tak jauh beda dengan Guntur.
Setelah berfoto, aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku mengambil hidangan di tempat akhwat dan Mas Yusuf mengambil hidangan di tempat ikhwan. Setelah menghabiskan makanan kami, Mas Yusuf memberikan isyarat matanya padaku sambil mengangguk pelan. Menandakan bahwa dia ingin segera pulang. Aku pun menurutinya.
Sebelum pulang, sekali lagi kami berpamitan pada Alifa dan Guntur. Dia menyayangkan kami yang terkesan buru-buru sekali. Tapi apa boleh buat, Mas Yusuf sudah mengajakku pulang. Setelah berpamitan, kami pulang dengan perasaan kami masing-masing. Menatap kembali senyum Alifa yang terlihat begitu bahagia.
* * *
Nantikan kelanjutannya sesaat lagi di (BAG. 7 )