Selasa, 15 Januari 2013

Kontroversi Penulisan Singkatan SWT dan SAW




Penulisan singkatan “SWT/Swt” (singkatan Subhanahu wata’ala) bagi Allah dan “SAW/Saw” (Shallallahu ‘alaihi wasallam) bagi Nabi Muhammad menjadi kontroversi. Pendapat pertama, tidak boleh menyingkatnya. Pendapat kedua, membolehkannya.
Pendapat pertama (tidak boleh menyingkat) mengacu kepada fatwa-fatwa ulama, seperti Fatwa Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia): “Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.
As-Suyuthi berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan slm3, bahkan semestinya ditulis secara lengkap.” (Majalah Asy Syari’ah/bakkah.net).
Jadi, menurut pendapat pertama ini, kita tidak boleh menyingkat shalawat dan salam dengan cara apa pun –Swt, Saw, Wr Wb, r.a., dll. dengan alasan karena didalamnya ada bentuk do’a dan pengagungan kepada Allah yang telah disyari’atkan.
Ada juga yang menuliskan ALLAH dengan huruf “4JJ1″. Tidak boleh kita menulis seperti ini karena “4JJ1″ telah diselewengkan maknanya menjadi “For Judas Jesus Isa Al-Masih”.
Argumentasi pendapat pertama ini sepenuhnya “pendapat”, tidak menyertakan dalil Quran ataupun hadits yang secara jelas, eksplisit, atau qath’i melarang penyingkatan itu. Mungkin itu sebabnya, dalam Fatwa Lajnah Daimah, digunakan ungkapan  ”Yang disunahkan…”, bukan “Yang diwajibkan…”.
Boleh
Pendapat kedua (yang membolehkan) mengatakan, tidak ada nash Qur’an dan Hadits yang secara tegas (sharîh) melarang singkatan itu, sebagaimana dipaparkan Muhammad Arifin (Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran) sebagai berikut:
Saya tidak menemukan nashsh –baik al-Qur’an maupuh Hadis– yang secara tegas (sharîh) melarang menyingkat tulisan subhânahu wa ta‘âlâ menjadi SWT. (atau swt.) dan shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjadi SAW. (atau saw.). Saya juga belum menemukan nashsh yang secara tegas mengharuskan untuk menulis ucapan tersebut secara panjang apa adanya.
Sejumlah pakar tafsir yang tergabung dalam Tim Penyusunan Tafsir Ringkas Kementerian Agama RI yang saat ini sedang menggarap penyusunan tafsir tersebut dalam salah satu pertemuannya sepakat untuk menulis subhânahu wa ta‘âlâ dengan singkatan SWT. dan shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjadi SAW. dalam buku tafsir ringkas yang sedang disusun. Itu lebih karena alasan-alasan teknis.
Di dalam Mushaf al-Qur’an sendiri, kita juga menemukan sejumlah tulisan yang disingkat. Tanda-tanda waqf (perhentian), misalnya. Ada huruf mîm (م) yang merupakan singkatan dari lâzim: harus berhenti. Artinya, pada ayat yang bertanda م, kita harus berhenti. Ada huruf jîm (ج) yang merupakan singkatan dari jâ’iz: boleh berhenti, boleh teruskan.
Ada huruf lâm alif (لا) yang berarti larangan (‘jangan’): kependekan dari jangan berhenti pada ayat yang bertanda itu. Ada shâd lâm yâ (صلى) yang merupakan singkatan dari al-washlu awlâ: terus membaca (tidak berhenti) lebih utama daripada berhenti, meskipun berhenti juga tidak dilarang. Ada lagi qâf lâm yâ (قلى) yang merupakan singkatan dari al-waqfu awlâ: berhenti lebih utama meskipun kalau kita tidak berhenti juga boleh. Dan sebagainya. Jadi, sekali lagi, ini lebih menyangkut persoalan teknis.
Di dalam literatur-literatur klasik Islam berbahasa Arab, kita juga tidak jarang menemukan tulisan shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam bentuk singkatan. Ada yang hanya dilambangkan dengan satu huruf (shâd), ada yang dengan empat huruf (shâd, lâm, ‘ain, dan mîm).
Demikian pula dengan radhiyallâhu ‘anhu yang sering disingkat dengan satu huruf (dhâd). Ulama-ulama dahulu yang menulis singkatan seperti itu, saya percaya, bukan orang yang bodoh!
Memang ada sebagian ulama kontemporer yang melarang penyingkatan seperti itu, dengan dalih ucapan-ucapan seperti itu adalah doa yang tidak seharusnya disingkat.
Hemat saya, sejauh kita (jika sebagai penulis) tidak bermaksud mengaburkan subtansi dari singkatan-singkatan seperti itu, dan sejauh kita (sebagai pembaca) membacanya atau melafalkannya secara lengkap, penulisan singkatan seperti itu sah-sah saja karena alasan pertimbangan teknis tadi. Apalagi memang tidak ditemukan larangannya. Karena, hal itu tidak mengurangi substansi dari kalimat-kalimat itu.
Kita, misalnya, ketika membaca tulisan “Rasulullah saw.” tetap membacanya dengan “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam” secara utuh. Tulisan “Assalamualaikum wr. wb.” juga kita baca lengkap “Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh”. Dengan begitu, kandungan doa yang terdapat dalam ucapan-ucapan itu tetap kita baca utuh walaupun tulisannya singkat. Demikian, wallahu a’lam. [Muhammad Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran/Sumber: http://alifmagz.com/?p=17344].
Lalu, Bagaimana?
Bagi saya, ini masalah “cabang” (furu’iyah) yang tak perlu diperdebatkan, apalagi sampai “jadi musuhan”. Ini hanya soal tata bahasa, bukan masalah akidah, apalagi sudah sangat dipahami maksudnya.
Jadi, bagi saya penulisan singkatan SWT dan SAW tidak jadi masalah, namun penulisan lengkap tetap lebih baik dan utama (afdhal). Lagi pula, ini soal “bahasa tulisan” sehingga jika “dilisankan” tetap diucapkan lengkap --Subhanahu wa ta’ala, Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam perspektif komunikasi, hakikat sebuah tulisan adalah komunikasi, penyampaian pesan. Jika pesan sudah dapat diterima atau dimengerti –plus berdampak sebagaimana dikehendaki komunikator– oleh komunikan, maka komunikasi itu berhasil.
Penulisan SWT/Swt (singkatan Subhanahu wata’ala) dan SAW/Saw (Shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah bagian dari komunikasi tulisan. Pembaca atau komunikan sudah mengerti SWT atau SAW itu kependekan/singkatan dari Subhanahu wata’ala dan Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kedua istilah itu sudah sangat populer, sebagaimana umumnya orang sudah mengerti singkatan seperti Jkt (Jakarta), Bdg (Bandung), dsb (dan sebagainya), dll (dan lain-lain), utk (untuk), alm (almarhum, thn (tahun), tgl (tanggal), fb (facebook), otw (on the way), dan sebagainya. Wallahu a’lam. (www.romeltea.com).*

2 komentar:

  1. Sebelum baca say sdah berpikiran negatif : ah paling.... Ternyata isinya bagus.... berimbang "Bagi saya, ini masalah “cabang” (furu’iyah) yang tak perlu diperdebatkan, apalagi sampai “jadi musuhan”. Ini hanya soal tata bahasa, bukan masalah akidah, apalagi sudah sangat dipahami maksudnya."
    Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih byk Silaturahminya Pak..
      Salam Senyum Santun Selalu

      Hapus

Silahkan Kasih Jempolnya..