Itulah kata-kata yang sering terlontar di antara sesama aktivis dakwah ketika kelelahan menggerogoti tubuh, kejemuan meluapkan resah, dan himpitan kesulitan tak henti-hentinya menghampiri silih berganti.
Ada yang terkadang terbesit di dalam pikiran ini, antara optimisme dan kekhawatiran bahwa ucapan itu memiliki konsekuensi berat yang sama sekali tak mampu dipandang sebelah mata. Memang benar jalan ini bukan jalan landai dan penuh bunga, juga bukan jalanan indah yang ujung horizonnya mampu dilihat. Namun, jalan ini adalah jalan orang-orang yang jarang melewatinya, jalan yang bahkan bisa membuat yang melaluinya ambruk tak berdaya, juga jalanan yang sama sekali tidak diketahui ujung rimbanya kecuali hanya berharap yang terbaik kepada Allah ta’ala.
Jalan ini menuntut siapa pun yang melaluinya berupaya sekuat tenaga, mengorbankan hal terindah dan terpenting dalam hidupnya, bersedia dikucilkan dan memperoleh anggapan miring dari berbagai belantara. Terjatuh, terpuruk, tersungkur, bahkan bisa jadi terhapus –atau dihapus paksa– dari coretan nama-nama dunia.
Jalan ini membuat mereka-mereka yang melaluinya terkadang jatuh tak berdaya, berjalan lunglai dengan sisa-sisa tenaga, atau beradu resah dengan tiap detik yang mengancam di setiap inchi kutipan hidupnya.
Maka janji Allah-lah yang menjadi pemantik semangatnya, pembakar gelora di dadanya, dan membuat ia utuh tegak kembali setelah sebelumnya bagaikan jasad sepi yang ditinggal sendiri oleh ruh semata wayangnya.
Inilah janji itu:
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah: 25).
Begitu pula janji Allah lainnya, namun masih memiliki makna yang sama:
“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera. (QS. Al-Hajj: 23).
Indahnya janji ini
Sungguh, betapa indahnya janji itu, surga yang dipenuhi kebun-kebun, sungai-sungai, buah-buahan, dan purwarupa kenikmatan yang bahkan sama sekali tidak pernah terbesit sedikit pun dalam pikiran dan benak manusia yang begitu lemah. Dan, tentu saja Allah adalah sebaik-baik penepat janji.
Pertanyaannya sekarang adalah, pantaskah kita diberi ganjaran masuk ke dalam surga-Nya? Sudahkah kita termasuk ke dalam orang-orang beriman dan yang beramal shalih? Apakah kita merupakan pribadi yang pantas menerima kenikmatan yang begitu hebatnya? Pantaskah?
Meskipun kita bekerja di jalan dakwah, bukankah pernah kita mengeluh dalam kelelahan dan kelemahan ini? Meskipun kita berjuang di jalan dakwah, bukankah kita pernah enggan untuk pergi meski tak seberat berjalannya pasukan mukmin di perang Badar? Meskipun kita berkorban di jalan dakwah, bukankah sering hati ini tidak ikhlas terhadap ketentuan-Nya? Lalu, dari sisi apa kita pantas mendapat surga-Nya? Lalu menurut pandangan siapa kelak kita akan beristirahat di surga-Nya?
“Ya Allah, bahkan di perca-perca amalan yang kami lakukan terkadang masih terbesit riya’ dan sum’ah yang mengekang. Yaa Allah, ampunilah kami dalam berbagai kelemahan dan keburukan kami, dan pantaskanlah kami menerima Jannah-Mu dan lindungi kami, keluarga kami, saudara-saudari kami yang beriman kepada-Mu dari dahsyatnya siksa neraka yang bahkan pedihnya tak terbesit di dalam hati ini.”
Ada yang terkadang terbesit di dalam pikiran ini, antara optimisme dan kekhawatiran bahwa ucapan itu memiliki konsekuensi berat yang sama sekali tak mampu dipandang sebelah mata. Memang benar jalan ini bukan jalan landai dan penuh bunga, juga bukan jalanan indah yang ujung horizonnya mampu dilihat. Namun, jalan ini adalah jalan orang-orang yang jarang melewatinya, jalan yang bahkan bisa membuat yang melaluinya ambruk tak berdaya, juga jalanan yang sama sekali tidak diketahui ujung rimbanya kecuali hanya berharap yang terbaik kepada Allah ta’ala.
Jalan ini menuntut siapa pun yang melaluinya berupaya sekuat tenaga, mengorbankan hal terindah dan terpenting dalam hidupnya, bersedia dikucilkan dan memperoleh anggapan miring dari berbagai belantara. Terjatuh, terpuruk, tersungkur, bahkan bisa jadi terhapus –atau dihapus paksa– dari coretan nama-nama dunia.
Jalan ini membuat mereka-mereka yang melaluinya terkadang jatuh tak berdaya, berjalan lunglai dengan sisa-sisa tenaga, atau beradu resah dengan tiap detik yang mengancam di setiap inchi kutipan hidupnya.
Maka janji Allah-lah yang menjadi pemantik semangatnya, pembakar gelora di dadanya, dan membuat ia utuh tegak kembali setelah sebelumnya bagaikan jasad sepi yang ditinggal sendiri oleh ruh semata wayangnya.
Inilah janji itu:
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah: 25).
Begitu pula janji Allah lainnya, namun masih memiliki makna yang sama:
“Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera. (QS. Al-Hajj: 23).
Indahnya janji ini
Sungguh, betapa indahnya janji itu, surga yang dipenuhi kebun-kebun, sungai-sungai, buah-buahan, dan purwarupa kenikmatan yang bahkan sama sekali tidak pernah terbesit sedikit pun dalam pikiran dan benak manusia yang begitu lemah. Dan, tentu saja Allah adalah sebaik-baik penepat janji.
Pertanyaannya sekarang adalah, pantaskah kita diberi ganjaran masuk ke dalam surga-Nya? Sudahkah kita termasuk ke dalam orang-orang beriman dan yang beramal shalih? Apakah kita merupakan pribadi yang pantas menerima kenikmatan yang begitu hebatnya? Pantaskah?
Meskipun kita bekerja di jalan dakwah, bukankah pernah kita mengeluh dalam kelelahan dan kelemahan ini? Meskipun kita berjuang di jalan dakwah, bukankah kita pernah enggan untuk pergi meski tak seberat berjalannya pasukan mukmin di perang Badar? Meskipun kita berkorban di jalan dakwah, bukankah sering hati ini tidak ikhlas terhadap ketentuan-Nya? Lalu, dari sisi apa kita pantas mendapat surga-Nya? Lalu menurut pandangan siapa kelak kita akan beristirahat di surga-Nya?
“Ya Allah, bahkan di perca-perca amalan yang kami lakukan terkadang masih terbesit riya’ dan sum’ah yang mengekang. Yaa Allah, ampunilah kami dalam berbagai kelemahan dan keburukan kami, dan pantaskanlah kami menerima Jannah-Mu dan lindungi kami, keluarga kami, saudara-saudari kami yang beriman kepada-Mu dari dahsyatnya siksa neraka yang bahkan pedihnya tak terbesit di dalam hati ini.”
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Kasih Jempolnya..