Jumat, 16 Maret 2012

Hak Suami (Sebuah Fenomena Yang Mulai Diremehkan Para Istri) – Bagian akhir


Bahasan terakhir di antara hak-hak suami yang kurang mendapat perhatian istri adalah hak untuk mendapatkan pelayanan, bantuan dari istri, rasa bersyukur dan berterimakasih dari istri terhadap suami yang telah berbuat baik kepadanya. Hal inilah salah satu penyebab sebagian besar dari penghuni neraka adalah wanita. Lalu apa hak-hak suami dan sebab yang lainnya?

1. Hendaknya isteri memberikan pelayanan kepada suami di rumahnya, dan membantunya untuk mendapatkan rasa hidup yang indah, maka sesungguhnya hal itu membantunya (suami) untuk bisa mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran untuk melaksanakan kewajibannya.

Terlebih lagi jika ia (suami) sibuk dengan ilmu. Maka isteri shalihah

“Bukanlah bagian dari dunia melainkan (isteri shalihah itu) adalah yang menjadikanmu mencurahkan waktu, tenaga dan pikiranmu untuk akhirat”

sebagaimana dikatakan ad-Darany, sebagaimana terdapat dalam “al-lhya” (4/699) karangan al-Ghazali. Dan telah lewat hadits yang menguatkan masalah tersebut.

Khidmah (pelayanan) seorang isteri kepada suaminya adalah wajib menurut pendapat yang paling rajih (kuat), pendapat selain itu dhaif, tidak bisa dijadikan hujjah.

Tentang kewajiban isteri memberikan pelayanan kepada suaminya telah dirajihkan guru kami al-Albani dalam “Adabuz-Zifaf” (180-181)

Bahwa Khidmah (pelayanan/bakti) yang telah disebutkan, wajib dilakukan secara ma’ruf dalam batas-batas kemampuan isteri. Maka khidmah seorang (yang biasa) tinggal di kampung berbeda dengan (yang biasa) tinggal di kota, dan baktinya seorang yang kuat tidak sama dengan baktinya seorang yang lemah, sebagaimana dikatakan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah. (16)

Dan jika seorang isteri tidak mampu melakukan sesuatu, maka suami tidak boleh membebani apa yang diluar batas kemampuannya. Sementara jika suami mampu melakukannya, maka hendaknya ia melakukannya, karena hadits ‘Aisyah yang berkata:

Bahwa Rasul biasa menjahit pakaiannya sendiri, menambal kasutnya (sandalnya) dan beliau berlaku sebagaimana seorang laki-laki berlaku di rumahnya. (17)

2. Hendaknya isteri bersyukur (berterima kasih) atas segala kebaikan suami kepadanya dan janganlah isteri mengingkari kebaikan suaminya, maka sesungguhnya yang demikian itu akan mendatangkan kebencian dari Allah, karena sabda Rasul,

“Allah tidak mau melihat wanita yang tidak tahu berterima kasih kepada suaminya sedang ia (wanita) tidak merasa cukup kepadanya (suaminya). (18)

Dan juga karena sabda Rasul,

Diperlihatkan kepadaku neraka, maka sebagian besar penghuninya adalah para wanita yang kufur. Dikatakan: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Rasul menjawab:

“Mereka kufur terhadap suami mereka dan mereka mengingkari kebaikan suami mereka. Seandainya engkau berbuat balk kepada salah seorang dari mereka sepanjang masa, kemudian ia (wanita tersebut) melihat sesuatu (yang tidak disukainya), ia akan berkata:

“Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan padamu.” (19)

Hadits ini merupakan peringatan penting bagi para wanita yang beriman kepada Allah dan bagi wanita yang mengharapkan kampung akhirat. Dalam hal ini ada bukti dari hadits lain:

Penghuni surga yang paling sedikit adalah dari kalangan wanita. (20)

Maka tidak pantas seorang wanita yang mencari keselamatan kemudian menyelisihi suami kepada yang selain diberikan suami dengan kufur/mengingkari kebaikan suaminya atau banyak mengeluh karena sebab-sebab yang sangat sepele.
Dan wanita mana saja yang menyakiti suaminya akan dilaknat para Bidadari (Wanita-wanita surga yang disediakan sebagai isteri-isteri pria beriman -red). Maka ia (wanita) akan berada di jurang kehancuran jika terus-menerus melakukan perkara yang dilarang itu. Sesuai dengan sabda Rasulullah,

Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia, kecuali berkata isterinya yang dari bidadari:

“Janganlah kau sakiti dia (suami) -Semoga Allah mencelakakan mu- maka tidak lain dia (suami) disisimu hanya seorang asing yang sebentar lagi akan meninggalkanmu menuju kepada kami.” (21)

Dan masih ada beberapa hak suami selain ini, aku (Abu Ishak al-Huwaini) tidak ingin menyebutkannya lagi khawatir terlalu berlarut-larut dan apa yang telah kami sebutkan telah cukup. Walhamdulillah.

***

Catatan:

(16)  Dalam al-Fatawal-Kubra (2/234-235).

(17) Hadits shahih dikeluarkan Abdur Razzaq (20492), Ahmad (6/121,167,256,260), Abusy -Syaikh dalam “Akhlaqun-Nabi” (1/1/20), al-Baghawi dalam “Syarhus-Sunnah” (13/242-243) dan lain-lain.

Aku telah menyebutkan mereka dalam kitabku “Al-’Aqdu Adz-Dzahaby” takhrij kitab “Akhlaqun-Nabs” nomor 11.

(18)  Hadits shahih, dikeluarkan An-Nasa’i dalam “Al-Kubra” (3/168) dari jalan Sarar bin Masyjar dari Sa’id bin Abu ‘Arubah dari Qatadah dari Sa’id bin Al-Musayyab dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’.

(19) Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (1/83-2/540-9/298 -Fathul Bari) dan lafadz Bukhari, Muslim (6/212-213 Nawawi), Abu ‘Awanah (2/379-380), Malik (1/194-195-Tanwir), Nasa’i (3/146,147,148), Baihaqi (7/294) dari beberapa jalan dari Ibnu ‘Abbas.

Masih ada beberapa riwayat yang secara umum shahih, demikian untuk ringkasnya, -pent.

***

Ref: Tulisan ini dinukil dari kitab “al-Insyirah fi Adab an-Nikah” karya Syeikh Abu Ishak al-Huwaini al-Atsari. Diterjemahlan secara bebas dan dengan peringkasan pada catatan kaki oleh Retno Ishmah Widiastuti.

Diambil dari: majalah As-Sunnah 05/IV/1420H hal. 59 – 64




0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Kasih Jempolnya..