Meningkatnya kasus perceraian perceraian yang terjadi saat ini menyebabkan kita agar selalu waspada agar hal itu jauh dari kita. Sebagaimana yang sebelumnya sudah pernah dibahas mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, maka ada baiknya jika kita mengetahui hak-hak suami. Hal ini penting mengingat hak-hak ini mulai diremehkan oleh para istri dewasa ini. Berikut uraiannya.
Hak-hak seorang suami alas isterinya banyak dan luhur, yang demikian itu karena agungnya hak suami atas isterinya. Rasululullah telah bersabda:
“Seandainya aku diperbolehkan menyuruh seseorang untuk bersujud kepada orang lain, pasti telah kusuruh seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya.” (1)
Ketaatan seorang isteri kepada suaminya adalah sebuah kewajiban, jika ia (isteri) membangkang dan terus menerus dalam menyelisihi suami, maka ia akan selalu berada dalam murka Allah hingga sang suami ridha kepadanya.
Dalam hadits Hushain Bin Mihshan, ia berkata bahwa: Bibiku telah bercerita kepadaku seraya berkata:
“Aku datang kepada Rasululullah karena sebagian kebutuhan, maka beliau berkata: “Siapa ini, apakah seseorang yang sudah bersuami?” Aku menjawab: “Ya.” Beliau berkata: “Bagaimana perlakuanmu kepadanya?” Dia (Bibiku) menjawab:
“Aku tidak mengabaikannya (artinya aku tidak mengurangi ketaatan kepadanya). Kecuali yang aku tidak mampu.”
Beliau berkata:
“Nah, perhatikanlah bagaimana seharusnya engkau kepadanya, karena sesungguhnya ia adalah surga dan nerakamu.” (2)
Karena perkara tersebut (hak-hak suami, pent) seperti yang telah kami (Abu Ishak al-Huwaini) sebutkan (betapa agung dan pentingnya, pent) maka kami perlu meringkas sebagian hak suami atas isterinya, di antaranya:
1. Hendaknya seorang isteri tidak mengurangi ketaatan kepada suaminya, sedangkan asal ketaatan adalah dalam hal-hal yang ma’ruf (sesuai syar’i).
Maka jika suami menyuruh isterinya untuk melakukan sesuatu yang haram dan yang semisalnya, maka ia (isteri) harus tidak mau taat (tidak boleh taat, pent) menurut ijma’. Yang demikian itu karena sabda Rasul:
“Tidaklah ketaatan itu kecuali hanya dalam hal-hal yang ma’ruf.” (3)
Dan juga karena sabda beliau :
“Kewajiban seorang muslim adalah mendengar dan taat pada hal yang ia sukai dan ia benci kecuali jika disuruh untuk melakukan kemaksiatan. Maka jika disuruh untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (4)
Apabila suami menyuruh isterinya untuk meninggalkan sesuatu dari amalan-amalan sunnah seperti misalnya puasa dan lain-lain, maka wajib bagi isteri untuk meninggalkannya (tidak puasa). Jika tidak, maka ia (isteri) berdosa dan puasanya tertolak.
Dan sebab yang demikian itu adalah karena adakalanya suami mempunyai kebutuhan (biologis) kepadanya (isteri), sedang puasanya (isteri) menjadi penghalang. Karena itu wajib bagi isteri untuk minta ijin dulu sebelum melakukannya (amalan-amalan sunnah).
Adapun amalan yang menjadi kewajiban keduanya (suami isteri) maka tidak halal untuk meninggalkannya hingga seekor unta masuk ke lubang jarum, karena sabda Rasul:
“Selain puasa Ramadhan, tidak dihalalkan bagi seorang wanita untuk berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya ada, kecuali dengan ijinnya (suami).” (5)
Begitulah namun aku nasehatkan kepada para suami untuk tidak mempersulit dalam masalah (pemberian ijin) ini, cukuplah hendaknya bagi seorang suami untuk ridha dan menerima apa adanya jika isterinya adalah seorang yang ta’at dan suka beribadah.
Maka hendaknya suami tidak menyulitkan pemberian ijin kepada isteri kecuali jika benar-benar ada kebutuhan. Dan kepada Allah-lah kita mohon ditunjukkan kebaikan.
2. Hendaknya ketika suami tidak ada, isteri tidak memasukkan ke rumah suaminya, seseorang yang bukan mahramnya atau seseorang yang tidak disukai suami walaupun ia termasuk mahramnya. Sabda Rasul”
“Janganlah kalian masuk kepada wanita!” Maka berkata seorang sahabat Anshar: “Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang ipar?” Beliau menjawab: “Ipar adalah maut”. (6)
Bentuk jamak dari (Al-hamwu) adalah (Ahmaa-u), mereka adalah saudara-saudara dari pihak suami dan saudara-saudara dari pihak isteri, tetapi yang dimaksudkan (di sini) adalah saudara-saudara suami. Maka ia (saudara suami) bukan termasuk mahram (bagi isteri).
Namun jika yang dimaksud adalah Bapak suami, maka ia termasuk mahram. Jika demikian halnya, apalagi orang lain yang bukan mahram! (saudara suami saja tidak halal, apalagi orang lain yang jelas-jelas bukan mahram). Hal ini dikatakan oleh al-Baghawy dalam “Syarhus-Sunnah”
Dan juga karena sabdanya:
“Dan sesungguhnya kalian (wahai para suami) mempunyai hak atas mereka (para isteri) yaitu hendaknya mereka tidak memasukkan ke rumah kalian seseorang yang tidak kalian sukai, maka jika mereka melakukan hal itu maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan mereka juga punya hak atas kalian yaitu menafkahi mereka dan memberikan mereka pakaian secara ma’ruf.” (7)
***
Catatan:
(1) Hadits shahih dikeluarkan Tirmidzi (4/323-Tuhfah), Ibnu Hibban (1291), Baihaqi (7/291) dari hadits Abu Hurairah. Tirmidzi berkata: “Hadits Hasan”. Hadits ini mempunyai jalan lain dari Abu Hurairah dalam riwayat al-Bazzar (2/178) dengan sanad yang ada kelemahannya. Hadits ini mempunyai syahid dari hadits Anas. Dikeluarkan oleh Ahmad (3/185), Al-Hafidz Al-Haitsami berkata dalam “Al-Majma” (9/4): “Para rawi-rawinya adalah rawi-rawi yang terdapat dalam kitab shahih selain Hafsh bin Abi Anas, tetapi dia adalah seorang yang tsiqah”.
Aku (Abu Ishaq) berkata: Al-Haitsami telah bertasahul (Menganggap enteng) perkara Hafsh, maka sesungguhnya ia (Hafsh) kacau, dan aku tidak tahu apakah rawi mendengar darinya sebelum ia kacau atau tidak. Hanya saja hadits ini hasan dalam syawahidnya.
Disana masih ada riwayat-riwayat lain yang secara umum hadits ini berdasarkan syawahidnya adalah shahih, dapat diterima, demikian secara ringkas, -pent
(2) Hadits shahih, dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam “AI-Mushannaf” dan Nasa’i dalam ‘Isyratun Nisa’ dalam “As-Sunanul-Kubra”, Humaidi (335), Thabrani dalam “AI-Ausath” , Hakim (2/189) dan Baihaqi (7/291). AI-Hakim berkata: “Shahih sanadnya” dan disepakati oleh Dzahabi.
(3) Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (13/233, Fathul Bari), Muslim (12/226-227 -Nawawi), Abu Dawud (3/40), Nasa’i (7/159-160), Ahmad (1/82,94,124) dan lain-lain dari hadits “Ali Bin Abu Thalib. Dan sungguh aku telah mengtakhrijnya dalam kitab “Badzlul-Ihsan” (4196).
(4) Hadits Shahih dikeluarkan Bukhari (13/121-122, Fathul Bari), Muslim (2216 -Muslim) dan lafadnya adalah lafadz Muslim. Dan Abu Dawud (3/ 40-41), Nasa’i (7/160), Tirmidzi (1707), lbnu Majah (2/202) serta Ahmad (2/17, 142) dari hadits Ibnu’Umar, Tirmidzi berkata: “Hadits hasan Shahih”.
(5) Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (9/293,295 -Fathul Bari), Muslim dan Abu Dawud (7/128 -’Aun), Ibnu Majah (1/535-536), Ad-Darimi (2/12), Tirmidzi (3/495 -Tuhfah), Ahmad (2/316,444,464,476,500), Al-Humaidy (1016), Ibnu Hibban (954,955), Al-Hakim dan AI-Khotib dalam “Tarikh Baghdad (2/383) dari beberapa jalan dari Abu Hurairah.
Dan sebagian pentakhrij hadits ini menambahkan sesuatu di dalam matannya. Tirmidzy berkata: “Hasan Shohih” Hakim berkata: “Shohih sanadnya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.
(6) Hadist shahih, sudah ditakhrij sebelumnya.
(7) Hadits Shahih dan hadits diatas merupakan potongan dari hadits Jabir yang panjang dalam haji wada’. Dikeluarkan Muslim (1218), Abu Dawud (1905), Nasa’i (2713), Ibnu Majah (2/257), Ad-Darimi (1/377), Ahmad (5/73) dan lain-lain.
Bersambung Insya Allah
Ref: Tulisan ini dinukil dari kitab “al-Insyirah fi Adab an-Nikah” karya Syeikh Abu Ishak al-Huwaini al-Atsari. Diterjemahlan secara bebas dan dengan peringkasan pada catatan kaki oleh Retno Ishmah Widiastuti.
Hak-hak seorang suami alas isterinya banyak dan luhur, yang demikian itu karena agungnya hak suami atas isterinya. Rasululullah telah bersabda:
“Seandainya aku diperbolehkan menyuruh seseorang untuk bersujud kepada orang lain, pasti telah kusuruh seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya.” (1)
Ketaatan seorang isteri kepada suaminya adalah sebuah kewajiban, jika ia (isteri) membangkang dan terus menerus dalam menyelisihi suami, maka ia akan selalu berada dalam murka Allah hingga sang suami ridha kepadanya.
Dalam hadits Hushain Bin Mihshan, ia berkata bahwa: Bibiku telah bercerita kepadaku seraya berkata:
“Aku datang kepada Rasululullah karena sebagian kebutuhan, maka beliau berkata: “Siapa ini, apakah seseorang yang sudah bersuami?” Aku menjawab: “Ya.” Beliau berkata: “Bagaimana perlakuanmu kepadanya?” Dia (Bibiku) menjawab:
“Aku tidak mengabaikannya (artinya aku tidak mengurangi ketaatan kepadanya). Kecuali yang aku tidak mampu.”
Beliau berkata:
“Nah, perhatikanlah bagaimana seharusnya engkau kepadanya, karena sesungguhnya ia adalah surga dan nerakamu.” (2)
Karena perkara tersebut (hak-hak suami, pent) seperti yang telah kami (Abu Ishak al-Huwaini) sebutkan (betapa agung dan pentingnya, pent) maka kami perlu meringkas sebagian hak suami atas isterinya, di antaranya:
1. Hendaknya seorang isteri tidak mengurangi ketaatan kepada suaminya, sedangkan asal ketaatan adalah dalam hal-hal yang ma’ruf (sesuai syar’i).
Maka jika suami menyuruh isterinya untuk melakukan sesuatu yang haram dan yang semisalnya, maka ia (isteri) harus tidak mau taat (tidak boleh taat, pent) menurut ijma’. Yang demikian itu karena sabda Rasul:
“Tidaklah ketaatan itu kecuali hanya dalam hal-hal yang ma’ruf.” (3)
Dan juga karena sabda beliau :
“Kewajiban seorang muslim adalah mendengar dan taat pada hal yang ia sukai dan ia benci kecuali jika disuruh untuk melakukan kemaksiatan. Maka jika disuruh untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (4)
Apabila suami menyuruh isterinya untuk meninggalkan sesuatu dari amalan-amalan sunnah seperti misalnya puasa dan lain-lain, maka wajib bagi isteri untuk meninggalkannya (tidak puasa). Jika tidak, maka ia (isteri) berdosa dan puasanya tertolak.
Dan sebab yang demikian itu adalah karena adakalanya suami mempunyai kebutuhan (biologis) kepadanya (isteri), sedang puasanya (isteri) menjadi penghalang. Karena itu wajib bagi isteri untuk minta ijin dulu sebelum melakukannya (amalan-amalan sunnah).
Adapun amalan yang menjadi kewajiban keduanya (suami isteri) maka tidak halal untuk meninggalkannya hingga seekor unta masuk ke lubang jarum, karena sabda Rasul:
“Selain puasa Ramadhan, tidak dihalalkan bagi seorang wanita untuk berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya ada, kecuali dengan ijinnya (suami).” (5)
Begitulah namun aku nasehatkan kepada para suami untuk tidak mempersulit dalam masalah (pemberian ijin) ini, cukuplah hendaknya bagi seorang suami untuk ridha dan menerima apa adanya jika isterinya adalah seorang yang ta’at dan suka beribadah.
Maka hendaknya suami tidak menyulitkan pemberian ijin kepada isteri kecuali jika benar-benar ada kebutuhan. Dan kepada Allah-lah kita mohon ditunjukkan kebaikan.
2. Hendaknya ketika suami tidak ada, isteri tidak memasukkan ke rumah suaminya, seseorang yang bukan mahramnya atau seseorang yang tidak disukai suami walaupun ia termasuk mahramnya. Sabda Rasul”
“Janganlah kalian masuk kepada wanita!” Maka berkata seorang sahabat Anshar: “Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang ipar?” Beliau menjawab: “Ipar adalah maut”. (6)
Bentuk jamak dari (Al-hamwu) adalah (Ahmaa-u), mereka adalah saudara-saudara dari pihak suami dan saudara-saudara dari pihak isteri, tetapi yang dimaksudkan (di sini) adalah saudara-saudara suami. Maka ia (saudara suami) bukan termasuk mahram (bagi isteri).
Namun jika yang dimaksud adalah Bapak suami, maka ia termasuk mahram. Jika demikian halnya, apalagi orang lain yang bukan mahram! (saudara suami saja tidak halal, apalagi orang lain yang jelas-jelas bukan mahram). Hal ini dikatakan oleh al-Baghawy dalam “Syarhus-Sunnah”
Dan juga karena sabdanya:
“Dan sesungguhnya kalian (wahai para suami) mempunyai hak atas mereka (para isteri) yaitu hendaknya mereka tidak memasukkan ke rumah kalian seseorang yang tidak kalian sukai, maka jika mereka melakukan hal itu maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan mereka juga punya hak atas kalian yaitu menafkahi mereka dan memberikan mereka pakaian secara ma’ruf.” (7)
***
Catatan:
(1) Hadits shahih dikeluarkan Tirmidzi (4/323-Tuhfah), Ibnu Hibban (1291), Baihaqi (7/291) dari hadits Abu Hurairah. Tirmidzi berkata: “Hadits Hasan”. Hadits ini mempunyai jalan lain dari Abu Hurairah dalam riwayat al-Bazzar (2/178) dengan sanad yang ada kelemahannya. Hadits ini mempunyai syahid dari hadits Anas. Dikeluarkan oleh Ahmad (3/185), Al-Hafidz Al-Haitsami berkata dalam “Al-Majma” (9/4): “Para rawi-rawinya adalah rawi-rawi yang terdapat dalam kitab shahih selain Hafsh bin Abi Anas, tetapi dia adalah seorang yang tsiqah”.
Aku (Abu Ishaq) berkata: Al-Haitsami telah bertasahul (Menganggap enteng) perkara Hafsh, maka sesungguhnya ia (Hafsh) kacau, dan aku tidak tahu apakah rawi mendengar darinya sebelum ia kacau atau tidak. Hanya saja hadits ini hasan dalam syawahidnya.
Disana masih ada riwayat-riwayat lain yang secara umum hadits ini berdasarkan syawahidnya adalah shahih, dapat diterima, demikian secara ringkas, -pent
(2) Hadits shahih, dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam “AI-Mushannaf” dan Nasa’i dalam ‘Isyratun Nisa’ dalam “As-Sunanul-Kubra”, Humaidi (335), Thabrani dalam “AI-Ausath” , Hakim (2/189) dan Baihaqi (7/291). AI-Hakim berkata: “Shahih sanadnya” dan disepakati oleh Dzahabi.
(3) Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (13/233, Fathul Bari), Muslim (12/226-227 -Nawawi), Abu Dawud (3/40), Nasa’i (7/159-160), Ahmad (1/82,94,124) dan lain-lain dari hadits “Ali Bin Abu Thalib. Dan sungguh aku telah mengtakhrijnya dalam kitab “Badzlul-Ihsan” (4196).
(4) Hadits Shahih dikeluarkan Bukhari (13/121-122, Fathul Bari), Muslim (2216 -Muslim) dan lafadnya adalah lafadz Muslim. Dan Abu Dawud (3/ 40-41), Nasa’i (7/160), Tirmidzi (1707), lbnu Majah (2/202) serta Ahmad (2/17, 142) dari hadits Ibnu’Umar, Tirmidzi berkata: “Hadits hasan Shahih”.
(5) Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (9/293,295 -Fathul Bari), Muslim dan Abu Dawud (7/128 -’Aun), Ibnu Majah (1/535-536), Ad-Darimi (2/12), Tirmidzi (3/495 -Tuhfah), Ahmad (2/316,444,464,476,500), Al-Humaidy (1016), Ibnu Hibban (954,955), Al-Hakim dan AI-Khotib dalam “Tarikh Baghdad (2/383) dari beberapa jalan dari Abu Hurairah.
Dan sebagian pentakhrij hadits ini menambahkan sesuatu di dalam matannya. Tirmidzy berkata: “Hasan Shohih” Hakim berkata: “Shohih sanadnya dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.
(6) Hadist shahih, sudah ditakhrij sebelumnya.
(7) Hadits Shahih dan hadits diatas merupakan potongan dari hadits Jabir yang panjang dalam haji wada’. Dikeluarkan Muslim (1218), Abu Dawud (1905), Nasa’i (2713), Ibnu Majah (2/257), Ad-Darimi (1/377), Ahmad (5/73) dan lain-lain.
Bersambung Insya Allah
Ref: Tulisan ini dinukil dari kitab “al-Insyirah fi Adab an-Nikah” karya Syeikh Abu Ishak al-Huwaini al-Atsari. Diterjemahlan secara bebas dan dengan peringkasan pada catatan kaki oleh Retno Ishmah Widiastuti.
href="http://www.mylivesignature.com" target="_blank">
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Kasih Jempolnya..