Pembahasan selanjutnya mengenai hak-hak seorang suami, maka yang dibahas berikut ini adalah hak agar istri tidak keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya. Apa saja batasan-batasan seorang istri dapat boleh keluar rumah? Kebutuhan-kebutuhan apa yang menyebabkan ia harus keluar kerumah? Simak jawaban beserta dalil-dalil yang kuat mengenai masalah ini.
1. Hendaknya isteri tidak keluar dari rumah suaminya kecuali dengan ijinnya, jika ia berbuat demikian (keluar tanpa ijin) maka ia terus berada dalam kemaksiatan dan ia layak untuk mendapat adzab.
Syaikhul Ibnu Taimiyah berkata;
“Tidak dihalalkan bagi isteri untuk keluar dari rumah suaminya kecuali dengan ijinnya (suami), dan tidak dihalalkan bagi siapapun untuk mengambilnya (isteri) darinya (suami) dan menahannya dari suaminya, baik keadaan isteri sebagai ibu susu atau bidan atau profesi-profesi lain. Dan apabila ia keluar dari rumah suaminya tanpa seijinnya maka ia telah berbuat nusyuz (durhaka) bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan ia layak mendapat adzab.” (8)
Bahkan beliau (Ibnu Taimiyah) berkata:
“Jika isteri keluar rumah suami tanpa seijinnya maka tidak ada hak nafkah dan pakaian.”
Nabi bersabda yang artinya :
“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berada di rumah suaminya sedangkan suaminya tidak suka (ridha) dan janganlah ia keluar rumah dalam keadaan suaminya tidak ridha. Janganlah mentaati seorangpun di rumah suaminya (selain suaminya), janganlah ia menjadikan suaminya gusar, janganlah ia menjauhi ranjang suaminya dan janganlah ia merugikan suaminya walaupun ia (suaminya) lebih dhalim darinya (wanita) sampai (si isteri) mencari keridhaan suami. Maka jika suami ridha dan menerimanya, maka itu suatu kenikmatan baginya (wanita). Allah akan menerima udzur-udzurnya dan akan berserilah wajahnya dan ia tidak berdosa, tapi jika suami menolak untuk ridha kepadanya maka sungguh ia telah menyampaikan udzur-udzurnya.” (9)
Sekalipun demikian diperbolehkan bagi seorang wanita untuk ikut shalat di masjid, karena sabda Rasul:
“Jika isteri salah seorang di antara kalian minta ijin untuk ke masjid maka janganlah melarangnya.” (10)
Dalam hadits di atas ada petunjuk bahwa, keluar (ke masjid) adalah harus dengan ijin suaminya, kalau suami melarangnya, suami tidak berdosa menurut pendapat terpilih dari pendapat para pentahqiq. Dan sungguh al-Baihaqi telah berkata: “Itu adalah pendapat umumnya para utama”.
Adapun hadits:
“Janganlah kalian larang hamba-hamba perempuan Allah untuk pergi ke masjid.” (11)
Maka perintah ini tidak menunjukkan wajib, jika seandainya wajib, maka hadits tentang minta ijin tidak akan ada artinya. Wallahu a’lam.
Bersamaan dengan diperbolehkannya wanita keluar untuk ke masjid maka sesungguhnya shalatnya di rumah lebih utama daripada ikut berjamaah. Karena sabda Rasul :
“Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama dari shalatnya di kamarnya, shalatnya di bilik khususnya lebih utama dari shalatnya di rumahnya.” (12)
Diperbolehkan bagi wanita untuk keluar ke pasar dan sebagiannya untuk memenuhi kebutuhannya dengan tetap mempunyai rasa malu yang besar dan harus komitmen dengan pakaian syar’i dan menjaga anggota badan dari melakukan kemungkaran-kemungkaran.
Karena hadits ‘Aisyah yang berkata: Telah keluar Saudah bintu Zam’ah pada suatu malam, maka Umar melihatnya dan mengenalinya, kemudian dia berkata: “Demi Allah, sesungguhnya engkau tidak tersembunyi dari kami”. Maka kembalilah Saudah kepada Nabi, kemudian Saudah menceritakan hal itu kepada Rasulullah, ketika itu beliau berada di rumahku (‘Aisyah -red) sedang makan malam dan di tangan beliau ada tulang, maka turunlah wahyu kepada beliau, yang memberikan keringanan terhadap masalah itu, Beliau berkata:
“Sungguh Allah mengijinkan kalian (para wanita) untuk keluar memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian.” (13)
2. Hendaknya istri menjaga harta suaminya, maka ia tidak menggunakannya tanpa ridha suaminya dan tidak membelanjakannya tanpa sepengetahuan suaminya, karena sabda Rasulullah:
“Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatupun dari rumah suaminya kecuali dengan ijin suaminya.” Dikatakan: “Wahai Rasulullah, tidak juga makanan?” Rasul berkata: “Itu adalah harta kita yang paling utama.” (14)
Beliau juga bersabda:
“Jika seorang wanita memberikan sesuatu dari rumah suaminya (dalam keadaan) perasaan suaminya enak (lapang) maka baginya (wanita) pahala seperti pahala suaminya, baginya kebaikan sebagaimana yang ia niatkan dan bagi yang memiliki harta (suami) begitu juga (sama-sama mendapat pahala. -pent.)” (15)
Allahu a’lam
Bersambung Insya Allah
***
Catatan:
(8) Majmu’ Fatawa (32/281).
(9) Hadits Hasan dikeluarkan Baihaqi dalam “Sunan”nya (7/293) dan Hakim (2/189-190) dari jalan ‘Atha bin Abu Muslim al-Khurasany dari Malik bin Yakhamir as-Saksaky dari Mu’adz bin Jabal secara marfu’ maka ia menyebutkannya.
(10) Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (2/347 -Fathul Bari), Muslim (442), Abu ‘Awanah (2/56,57), Abu Dawud (566), Nasa’i (2/42), Tirmidzi (570), Ibnu Majah (16), ad-Darimi (1/235), Ibnu Hibban (3/486-487), Ahmad (2/7,9), Ibnu Khuzaimah (1677) (1678), Ibnu ‘Abdil Barr dalam “Al-jami’“ (2/195), Abdul Razzaq dalam “AI-Mushonnaf” (5107,5108,5122), Al-Baihaqi (3/133), Ibnu Hazm dalam “AIMuhalla” (3/130), ath-Thobrany dalam “AI-Kabir” (13350,13471,13472,13565,13570), dan al-Baghawi dalam “Syarhus-Sunnah” (3/439-440) dari beberapa jalan dari Ibnu ‘Umar. Aku menyebutkan nya secara terpisah di “Badzlul-Ihsan” (713).
(11) Hadits shahih dikeluarkan Syaikhan (Bukhari dan Muslim), Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain sebagaimana telah aku tahqiq dalam kitab “AI-Mashdarus-Sabiq”.
(12) Hadits shahih diriwayatkan Abu Dawud (570), Ibnu Khuzaimah (1685, 1688, 1690), Hakim (1/209), Al-Baihaqi (3/131), Ibnu Hazm dalam “Al-Muhalla” (3/136-137), al-Baghawi dalam “Syarhus-Sunnah” (3/441-442) dari jalan Hamam dari Qatadah dari Mauruq al-’Ajli dari Abu al-Ahwash dari Ibnu Mas’ud secara marfu’. Al-Hakim berkata:
“Shahih dengan syarat Asy-Syaikhani (Bukhari-Muslim) dan sungguh keduanya berhujjah dengan al-Mauruq al-’Ajli”.
(13) Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (9/337) dan lafadznya milik Bukhari, (juga dikeluarkan) Muslim dan Ibnu Sa’ad (8/125-126), Ibnu Jarir dalam tafsirnya (22/25), Ahmad (6/56), al-Baihaqi (7/88).
(14) Hadits shahih diriwayatkan Abu Dawud (3565), Tirmidzi (670), Ibnu Majah (2398), Ahmad (5/567), ath-Thoyalisi (1127), Abdul Rozzak dalam “al-Mushonnaf” (16621), Ibnu ‘Abdil Barr dalam “at-Tamhid” (1/230), Baihaqi (4/193-194), al-Bahgowy dalam “Syarhus-Sunnah” (6/ 204) dari jalan Ismail bin ‘Iyasy dari Syarohbil bin Muslim al-Khoulany dari Abu Umamah al-Bahili secara marfu’ maka ia menyebutkan haditsnya.
(15) Hadits shahih dikeluarkan Syaikhani, Arba’ah, dan as-Sahmi (1/10/391) dari hadits ‘Aisyah, Ahmad dan lain-lain sebagaimana telah kusebutkan di “Badzalul-Ihsan”.
***
Ref: Tulisan ini dinukil dari kitab “al-Insyirah fi Adab an-Nikah” karya Syeikh Abu Ishak al-Huwaini al-Atsari. Diterjemahlan secara bebas dan dengan peringkasan pada catatan kaki oleh Retno Ishmah Widiastuti.
Diambil dari: majalah As-Sunnah 05/IV/1420H hal. 59 – 64
1. Hendaknya isteri tidak keluar dari rumah suaminya kecuali dengan ijinnya, jika ia berbuat demikian (keluar tanpa ijin) maka ia terus berada dalam kemaksiatan dan ia layak untuk mendapat adzab.
Syaikhul Ibnu Taimiyah berkata;
“Tidak dihalalkan bagi isteri untuk keluar dari rumah suaminya kecuali dengan ijinnya (suami), dan tidak dihalalkan bagi siapapun untuk mengambilnya (isteri) darinya (suami) dan menahannya dari suaminya, baik keadaan isteri sebagai ibu susu atau bidan atau profesi-profesi lain. Dan apabila ia keluar dari rumah suaminya tanpa seijinnya maka ia telah berbuat nusyuz (durhaka) bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan ia layak mendapat adzab.” (8)
Bahkan beliau (Ibnu Taimiyah) berkata:
“Jika isteri keluar rumah suami tanpa seijinnya maka tidak ada hak nafkah dan pakaian.”
Nabi bersabda yang artinya :
“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berada di rumah suaminya sedangkan suaminya tidak suka (ridha) dan janganlah ia keluar rumah dalam keadaan suaminya tidak ridha. Janganlah mentaati seorangpun di rumah suaminya (selain suaminya), janganlah ia menjadikan suaminya gusar, janganlah ia menjauhi ranjang suaminya dan janganlah ia merugikan suaminya walaupun ia (suaminya) lebih dhalim darinya (wanita) sampai (si isteri) mencari keridhaan suami. Maka jika suami ridha dan menerimanya, maka itu suatu kenikmatan baginya (wanita). Allah akan menerima udzur-udzurnya dan akan berserilah wajahnya dan ia tidak berdosa, tapi jika suami menolak untuk ridha kepadanya maka sungguh ia telah menyampaikan udzur-udzurnya.” (9)
Sekalipun demikian diperbolehkan bagi seorang wanita untuk ikut shalat di masjid, karena sabda Rasul:
“Jika isteri salah seorang di antara kalian minta ijin untuk ke masjid maka janganlah melarangnya.” (10)
Dalam hadits di atas ada petunjuk bahwa, keluar (ke masjid) adalah harus dengan ijin suaminya, kalau suami melarangnya, suami tidak berdosa menurut pendapat terpilih dari pendapat para pentahqiq. Dan sungguh al-Baihaqi telah berkata: “Itu adalah pendapat umumnya para utama”.
Adapun hadits:
“Janganlah kalian larang hamba-hamba perempuan Allah untuk pergi ke masjid.” (11)
Maka perintah ini tidak menunjukkan wajib, jika seandainya wajib, maka hadits tentang minta ijin tidak akan ada artinya. Wallahu a’lam.
Bersamaan dengan diperbolehkannya wanita keluar untuk ke masjid maka sesungguhnya shalatnya di rumah lebih utama daripada ikut berjamaah. Karena sabda Rasul :
“Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama dari shalatnya di kamarnya, shalatnya di bilik khususnya lebih utama dari shalatnya di rumahnya.” (12)
Diperbolehkan bagi wanita untuk keluar ke pasar dan sebagiannya untuk memenuhi kebutuhannya dengan tetap mempunyai rasa malu yang besar dan harus komitmen dengan pakaian syar’i dan menjaga anggota badan dari melakukan kemungkaran-kemungkaran.
Karena hadits ‘Aisyah yang berkata: Telah keluar Saudah bintu Zam’ah pada suatu malam, maka Umar melihatnya dan mengenalinya, kemudian dia berkata: “Demi Allah, sesungguhnya engkau tidak tersembunyi dari kami”. Maka kembalilah Saudah kepada Nabi, kemudian Saudah menceritakan hal itu kepada Rasulullah, ketika itu beliau berada di rumahku (‘Aisyah -red) sedang makan malam dan di tangan beliau ada tulang, maka turunlah wahyu kepada beliau, yang memberikan keringanan terhadap masalah itu, Beliau berkata:
“Sungguh Allah mengijinkan kalian (para wanita) untuk keluar memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian.” (13)
2. Hendaknya istri menjaga harta suaminya, maka ia tidak menggunakannya tanpa ridha suaminya dan tidak membelanjakannya tanpa sepengetahuan suaminya, karena sabda Rasulullah:
“Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatupun dari rumah suaminya kecuali dengan ijin suaminya.” Dikatakan: “Wahai Rasulullah, tidak juga makanan?” Rasul berkata: “Itu adalah harta kita yang paling utama.” (14)
Beliau juga bersabda:
“Jika seorang wanita memberikan sesuatu dari rumah suaminya (dalam keadaan) perasaan suaminya enak (lapang) maka baginya (wanita) pahala seperti pahala suaminya, baginya kebaikan sebagaimana yang ia niatkan dan bagi yang memiliki harta (suami) begitu juga (sama-sama mendapat pahala. -pent.)” (15)
Allahu a’lam
Bersambung Insya Allah
***
Catatan:
(8) Majmu’ Fatawa (32/281).
(9) Hadits Hasan dikeluarkan Baihaqi dalam “Sunan”nya (7/293) dan Hakim (2/189-190) dari jalan ‘Atha bin Abu Muslim al-Khurasany dari Malik bin Yakhamir as-Saksaky dari Mu’adz bin Jabal secara marfu’ maka ia menyebutkannya.
(10) Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (2/347 -Fathul Bari), Muslim (442), Abu ‘Awanah (2/56,57), Abu Dawud (566), Nasa’i (2/42), Tirmidzi (570), Ibnu Majah (16), ad-Darimi (1/235), Ibnu Hibban (3/486-487), Ahmad (2/7,9), Ibnu Khuzaimah (1677) (1678), Ibnu ‘Abdil Barr dalam “Al-jami’“ (2/195), Abdul Razzaq dalam “AI-Mushonnaf” (5107,5108,5122), Al-Baihaqi (3/133), Ibnu Hazm dalam “AIMuhalla” (3/130), ath-Thobrany dalam “AI-Kabir” (13350,13471,13472,13565,13570), dan al-Baghawi dalam “Syarhus-Sunnah” (3/439-440) dari beberapa jalan dari Ibnu ‘Umar. Aku menyebutkan nya secara terpisah di “Badzlul-Ihsan” (713).
(11) Hadits shahih dikeluarkan Syaikhan (Bukhari dan Muslim), Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain sebagaimana telah aku tahqiq dalam kitab “AI-Mashdarus-Sabiq”.
(12) Hadits shahih diriwayatkan Abu Dawud (570), Ibnu Khuzaimah (1685, 1688, 1690), Hakim (1/209), Al-Baihaqi (3/131), Ibnu Hazm dalam “Al-Muhalla” (3/136-137), al-Baghawi dalam “Syarhus-Sunnah” (3/441-442) dari jalan Hamam dari Qatadah dari Mauruq al-’Ajli dari Abu al-Ahwash dari Ibnu Mas’ud secara marfu’. Al-Hakim berkata:
“Shahih dengan syarat Asy-Syaikhani (Bukhari-Muslim) dan sungguh keduanya berhujjah dengan al-Mauruq al-’Ajli”.
(13) Hadits shahih dikeluarkan Bukhari (9/337) dan lafadznya milik Bukhari, (juga dikeluarkan) Muslim dan Ibnu Sa’ad (8/125-126), Ibnu Jarir dalam tafsirnya (22/25), Ahmad (6/56), al-Baihaqi (7/88).
(14) Hadits shahih diriwayatkan Abu Dawud (3565), Tirmidzi (670), Ibnu Majah (2398), Ahmad (5/567), ath-Thoyalisi (1127), Abdul Rozzak dalam “al-Mushonnaf” (16621), Ibnu ‘Abdil Barr dalam “at-Tamhid” (1/230), Baihaqi (4/193-194), al-Bahgowy dalam “Syarhus-Sunnah” (6/ 204) dari jalan Ismail bin ‘Iyasy dari Syarohbil bin Muslim al-Khoulany dari Abu Umamah al-Bahili secara marfu’ maka ia menyebutkan haditsnya.
(15) Hadits shahih dikeluarkan Syaikhani, Arba’ah, dan as-Sahmi (1/10/391) dari hadits ‘Aisyah, Ahmad dan lain-lain sebagaimana telah kusebutkan di “Badzalul-Ihsan”.
***
Ref: Tulisan ini dinukil dari kitab “al-Insyirah fi Adab an-Nikah” karya Syeikh Abu Ishak al-Huwaini al-Atsari. Diterjemahlan secara bebas dan dengan peringkasan pada catatan kaki oleh Retno Ishmah Widiastuti.
Diambil dari: majalah As-Sunnah 05/IV/1420H hal. 59 – 64
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Kasih Jempolnya..