Oke mari kita lanjutkan ceritanya...Bagi yang belum baca BAG (1) sampai (4) Silakan Buka Page sebelumnya ^_^
Karya : Nurlaila Zahara
Tiga hari kami berada di hotel. Tak banyak waktu yang kami gunakan untuk melakukan segala aktivitas yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri yang sedang berbulan madu pada umumnya. Jalan-jalan bersama, melihat pemandangan suasana malam di beranda kamar hotel, atau sekedar sarapan bersama sambil bercerita hal-hal yang indah yang Bisa membangkitkan keromantisan dalam berumah tangga. Semua itu hanya impian belaka bagi kehidupanku yang sekarang. Selepas shalat Subuh, Yusuf pergi keluar dan baru akan kembali setelah waktu dhuha sudah hampir hilang. Sedangkan aku, kuhabiskan waktuku sendirian di dalam kamar sambil membaca buku atau tilawah qur'an sambil sedikit menghafalnya.
Tadi pagi Yusuf tak pergi kemana-mana. Dia bilang tugasnya disekolah sudah menumpuk. Dia tak ingin tidak masuk mengajar lebih lama lagi karena kasihan murid-muridnya. Ya, Yusuf memang seorang guru fisika di Sekolah Menengah Pertama Labschool di kawasan Kebayoran. Dari sekolahnya sebenarnya mengizinkan dia untuk libur sampai lima hari, tapi dengan alasan banyak kerjaan yang tertunda kalau dia libur sampai lima hari, akhirnya dia memutuskan untuk pulang hari ini. Akupun menerima keputusannya dan berusaha menerima alasannya juga.
Semua barang sudah dikemas dengan rapi. Tak banyak barang yang kami bawa sebab kami datang kesini langsung dari pesta walimatul ursy. Hari ini kami sepakat untuk pulang kerumah orang tua Yusuf yang terletak di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Setelah dirasa cukup, kamipun pulang meninggalkan hotel. Tak banyak yang kami perbincangkan selama dalam perjalanan pulang, bahkan seolah tak ada topik yang enak untuk dibahas bersama. Suasana didalam taksi benar-benar hening, sunyi, dan senyap. Sesekali supir taksi yang kuketahui bernama Pah Burhan, berseloroh mengenai cerita-cerita lucu. Aku dan Yusuf hanya tersenyum kecil lalu kembali diam. Kadang-kadang Yusuf menimpali dan menyahuti celotehan Pak Burhan itu. Aku jadi tak berselera.
Di sekitar kawasan Jalan MT. Haryono taksi yang kami tumpangi berhenti. Bukan karena mogok atau kehabisan bensin, tapi karena macet tengah menghadang kami. Cukup lama taksi terjebak oleh kemacetan itu. Ditengah hiruk pikuk kota Jakarta, tiba-tiba saja Pak Burhan mengeluarkan pertanyaan yang membuatku dan Yusuf saling bertatap muka.
"Oh iya, kalian ini suami istri kan?" Tanyanya sambil melihat kaca spion yang ada di atas kepalanya. Aku dan Yusuf mengangguk.
"Kenapa memang Pak?" Tanya Yusuf.
"Ah tidak. Saya takut saja kalau kalian ini bukan suami istri tapi kok keluar dari hotel. Ternyata kalian memang benar-benar suami istri. Syukurlah" Ucap Pak Burhan sambil sesekali membasuh peluh yang mengalir di pelipisnya. Suaranya menunjukkan sekali keciri khasannya bahwa dia ini orang Batak. "Kenapa Bapak bertanya seperti itu?" Tanyaku tiba-tiba.
"Tidak. Tidak kenapa-kenapa. Habis saya perhatikan dari tadi, kalian ini kok hanya diam-diaman saja tanpa berbicara sedikitpun. Kenapa rupanya kalau saya boleh tahu?" Tukas Pak Burhan.
Aku dan Yusuf terdiam. Aku mengalihkan pandanganku kearahnya dan diapun begitu. Lalu kami mengembalikan pandangan kami ke luar. Aku tak tahu jawaban apa yang harus aku berikan untuk pertanyaan Pak Burhan yang sebenarnya bisa aku jawab dengan jawaban, "Kami seperti ini karena suami saya tidak mencintai saya Pak". Tapi aku hanya bergumam dalam hati. Pak Burhan kembali bertanya.
"Waduh!! kalian ini kenapa malah diam lagi? Kalau memang saya tidak boleh tahu, ya tidak apa-apa. Tapi kalau saya boleh saran, janganlah suami istri itu saling diam dan acuh tak acuh. Tidak baik itu. Kalian itu dipertemukan oleh Allah dan sepatutnyalah kalian bersyukur akan hal itu. Kalau memang kalin punya masalah, maka selesaikanlah secara baik-baik. Dibicarakan apa permasalahannya lalu carilah jalan keluarnya secara bersama-sama. Dan semua itu butuh komunikasi yang kuat. Tidak diam-diaman seperti ini. Macam mana pula kalian ini. Saya ini hidup berkeluarga itu sudah hampir 36 tahun, tapi keadaan rumah tangga saya dan istri baik-baik saja, karena kami selalu membicarakan apapun yang menurut kami mengganjal dihati. Seperti itulah kalian berdua." Jelas Pak Burhan panjang lebar.
Aku yang mendengarnya benar-benar tersentuh. Memang benar apa yang di katakan Pak Burhan. Segala sesuatunya itu memang harus dibicarakan agar tidak ada kesalah pahaman. Tapi apa yang mau dibicarakan kalau semuanya sudah jelas kalau keadaan seperti ini disebabkan oleh ketidak mampuan suamiku untuk mencintaiku. Aku perhatikan Yusuf hanya terdiam. Mungkin diapun tengah memikirkan perkataan Pak Burhan barusan.
"Kalau saya boleh tahu lagi, sudah berapa lama kalian ini menikah?" Tanya Pak Burhan lagi mengejutkanku. Kuarahkan pandanganku padanya. Kali ini Yusuf menjawab,
"Baru tiga hari Pak"
"Wah! Wah! Wah! Baru tiga hari rupanya. Pengantin barulah kailan. Kuucapkan selamat ya? Berarti, ke hotel kemarin itu untuk bulan madu ya? Wah! Bergembiralah kalian. Berapa ronde sudah kalian mainkan?" Tanya Pak Burhan membuatku bingung.
"Berapa ronde apanya Pak?" Yusuf balik bertanya.
"Ah! Masa kalian tidak mengerti. Itu, ronde kalian bermain cinta. Masa tidak mengerti. Kaulah anak muda. Pura-pura saja kau tidak mengerti. Tapi maklumlah aku, namanya juga pengantin baru. Jadi masih perlu banyak belajar" Tukas Pak Burhan santai. Aku dan Yusuf saling berpandangan sesaat lalu kembali terdiam.
Taksi sudah mulai berjalan. Kamipun terlepas dari jebakan macet. Yusuf lebih memilih diam tanpa mau menjawab pertanyaan Pak Burhan tadi. Aku sendiri memikirkan perkataan Pak Burhan. "Namanya juga pengantin baru, jadi masih perlu banyak belajar"
Ya, aku dan Yusuf memang masih harus banyak belajar. Belajar untuk lebih sabar dalam menghadapi kenyataan hidup, belajar untuk lebih bisa menerima keadaan kami satu sama lain, belajar untuk bisa lebih bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah, dan belajar untuk lebih bisa menghargai dalam mencintai. Belajar, belajar, dan belajar. Itulah yang sekarang sedang aku dan Yusuf usahakan dalam mengisi hidup ini.
* * *
Sesampainya dirumah, aku dan Yusuf langsung disambut hangat oleh orang tua Yusuf yang kini telah menjadi mertuaku, dan juga orang tuaku yang kini telah menjadi mertua Yusuf. Mereka begitu bergembira melihat kedatangan kami. Aku peluki Mama dan Papa dengan penuh kerinduan. Entah mengapa, aku benar-benar merindukan mereka. Tak lupa aku memeluk Bu Rahayu yang tak lain adalah ibu mertuaku dan mencium tangan Pak Sardi yang tak lain adalah ayah mertuaku. Hari itu kami habiskan dengan memperbincangkan hal-hal kecil seputar pernikahan dan bulan madu kami selama tiga hari di hotel.
Setelah cukup lama di rumah mertuaku, Mama dan Papa memutuskan untuk pulang. Mulai hari ini, aku telah resmi menjadi bagian dari keluarga Pak Sardi dan Bu Rahayu. Sebelum mereka pulang, aku memeluk mereka dengan erat sambil menangis di pelukannya. Sungguh, aku tak bisa menahan tangis haruku ketika mereka memutuskan untuk melepasku dan menyerahkanku pada Yusuf dan keluarganya. Mereka hanya menenangkanku dengan ucapan-ucapan yang tidak bisa aku terima dalam hati.
"Sudahlah Din. Kamu ini sudah berkeluarga. Ikutlah apa yang suamimu bilang. Jangan sampai mengecewakannya ya? Mama dan Papa akan sering-sering menghubungimu. Kami yakin kamu akan bahagia hidup bersama mereka. Ya?"
Itulah perkataan yang diucapkan Mama sebelum dia pulang bersama Papa. Aku memandangi mereka dari kejauhan. Semakin lama mereka hilang dari pandanganku. Jauh, jauh, dan akhirnya hanya tinggal bayangan mereka saja yang selalu aku ingat dalam pikiranku.
Aku, Yusuf, dan orang tuanya masuk kembali ke dalam rumah. Hari sudah semakin malam. Ayah mertuaku memutuskan untuk segera tidur. Aku dan Bu Rahayu membereskan gelas-gelas dan piring kotor untuk dicuci di dapur. Yusuf masih tenang di depan televisi sambil menonton siaran berita malam. Tak pernah ada senyum yang mengembang di wajahnya.
Aku membantu ibu mertuaku mencuci piring. Kami banyak berbincang tentang pengalaman beliau selama berumah tangga dengan Pak Sardi. Dari perbincangan itu aku banyak menemukan pelajaran-pelajaran baru dalam berumah tangga. Bagaimana caranya membuat suami bahagia, apa yang harus dilakukan seorang istri jika suaminya marah, dan masih banyak lagi yang ibu mertuaku beri tahukan padaku soal kehidupan suami istri. Termasuk hal-hal intim yang menurut sebagian orang tabu untuk dibicarakan.
Aku melihat sosok Bu Rahayu begitu terbuka. Begitu ramah dan baik dalam bersikap. Kelembutannya sebagai seorang ibu tidak mengalahkan sikap ketegasannya dalam bertindak. Apa yang menurutnya benar, ya maka dibenarkannya. Tapi jika menurutnya salah, maka diapun tak segan-segan memberikan peringatan pada siapapun dengan tegas dan baik tapi tidak terkesan menghakimi.
Hal itu aku ketahui ketika dia bercerita tentang Yusuf yang ketika kecil sering membuat onar dengan teman bermainnya. Suatu ketika, orang tua temannya itu pernah mengadu pada Bu Rahayu kalau Yusuf telah memukul anaknya itu sampai berdarah. Sebagai ibu yang adil dan bijaksana, Bu Rahayu memberikan hukuman yang setimpal pada Yusuf. Dia akhirnya jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Diam-diam aku salut pada ibu mertuaku. Dia sosok yang sekarang ini menjadi pengganti Mama di kehidupan baruku. Dia pula yang secara tidak langsung dapat menguatkanku dalam menghadapi masalahku dengan Yusuf.
Tak terasa waktu sudah beranjak malam mendekati dini hari. Aku dan ibu mertuaku memutuskan untuk segera tidur. Di ruang tamu tidak lagi aku dapati Yusuf disana. Mungkin sudah masuk kamar. Semua lampu sudah dimatikan. Sebelum masuk kekamarnya, Bu Rahayu memberikan senyumannya padaku. Aku membalasnya. Aku masih berdiri di depan kamar Yusuf yang kini juga menjadi kamarku. Kutarik nafasku dalam-dalam dan kupejamkan mataku. Perlahan kusentuh gagang pintu kamarku dan mulai kubuka. Tiba-tiba saja dari dalam, Yusuf membukanya dan mendapatiku tengah terkejut menatap wajahnya.
"Kenapa berdiri saja disitu? Ayo masuk!" Perintahnya padaku. Aku hanya mengangguk dan mengikutinya masuk ke kamar. Dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya yang empuk. Lampu yang ada disebelahnya sudah dimatikan. Cahaya yang ada tinggal dari lampu yang ada disebelah tempat aku tidur. Aku belum mau mematikannya. Aku membuka jilbabku dan aku duduk di depan cermin. Kusisiri rambutku perlahan sambil memandangi Yusuf dari balik cermin. Tubuhnya membelakangiku.
Setelah selesai menyisir, aku melangkah ketempat tidur dan bersiap untuk tidur. Posisiku sama seperti posisi dia membelakangiku. Kumatikan lampu yang ada disebelahku dan kupejamkan mataku. Suasana malam ini begitu dingin. Selimut yang menutupi tubuhku dan Yusuf seolah tak bisa memberikan rasa hangat yang lebih pada hatiku yang semakin membeku. Dalam pejam malamku, aku berdo'a,
"Ya Allah, kuatkanlah aku untuk bisa menghadapi semua kenyataan ini. Amin"
Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari, dan minggu berganti minggu. Tak terasa sudah lima bulan lamanya aku hidup sebagai seorang istri. Menjalani hidup ini dengan seorang suami yang sampai sekarang belum bisa 10 puasa
menerimaku sebagai istrinya. Sampai sekarang pula tak pernah sedikitpun aku lihat sebuah kilatan cinta dimatanya untukku. Tak pernah ada tatapan mesra penuh kehangatan yang dia berikan padaku ketika dia pulang dari kerjanya ataupun ketika aku pulang dari kewajibanku bekerja di sebuah perusahaan majalah Islam. Karena hal ini juga, novel ketigaku yang harusnya sudah rampung beberapa bulan yang lalu, kini harus rela tertunda karena masalah hatiku.
Suasana di rumah dan di kantor sangat berbeda sekali. Di rumah tak bisa aku temukan kemesraan seikitpun dari suamiku, Yusuf. Tetapi dikantor, aku justru menemui Arini dan Fauzi yang kian hari kulihat kian mesra. Tak jarang aku mendengar cerita Arini tentang Fauzi, suaminya, yang menurutnya sangat lembut dan mesra sekali pada dirinya. Aku semakin iri dibuatnya. Andai saja Arini tahu apa yang aku alami selama hidup berumah tangga, aku yakin Arinipun akan menangis dibuatnya. Dia adalah tipe perempuan yang mudah sekali menangis bila melihat atau mendengar kabar atau berita yang menyedihkan. Saat ini dia tengah mengandung dua bulan, hasil buah cintanya dengan Fauzi. Aku hanya bisa tersenyum kecil kala mendengar ceritanya tentang pengalamannya selama dia mengandung. Tak jarang aku dibuatnya kebingungan tatkala dia menanyaiku kapan aku mau menyusulnya. Aku kembali tersenyum dan hanya menjawab,
"Do'akan saja ya Rin? Mudah-mudahan Allah berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku dan suami"
"Amin", Sahut Arini mengamini.
Mengingat hal itu, aku jadi teringat akan bulan maduku bersama Yusuf di hotel Maharani lima bulan yang lalu. Aku ingat betul, sejak kejadian itu sampai sekarang, kami baru melakukannya lima kali. Ya, bisa diperhitungkan dalam sebulan itu hanya sekali kami melakukannya. Maka tak jarang, sebelum subuh aku terbangun untuk makan sahur agar keesokannya aku kuat melakukan shaum10. Hal itu sengaja aku lakukan untuk menahan keinginan biologisku yang tak tersalurkan.
Terkadang pula sebelum aku makan sahur, aku terlebih dulu melaksanakan shalat tahajud dan sedikit bermunajat pada Sang Maha Pencipta. Meminta kekuatan untuk bisa menjalani hidup ini, meminta kesabaran agar aku bisa lebih tabah menerima keadaan suamiku, dan tak lupa, meminta kepada Sang Maha Pemberi nikmat agar berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku. Bidadari kecil yang sudah lama aku nantikan. Bidadari mungil yang sebenarnya sudah aku impikan sebelum aku menikah. Bidadari cantik yang sesungguhnya menjadi harapanku ketika kelak aku hidup bersama seorang suami. Bidadari yang mungkin kini akan lama hadir dalam kehidupanku.
Ditengah munajatku kepadaNya, tak jarang air mataku jatuh membasahi putihnya warna mukena yang kukenakan. Selesai bermunajat, aku tutup tahajudku dengan shalat witir 3 rakaat lalu kemudian aku makan sahur. Seadanya saja. Biasanya setelah sahur, aku mengambil buku harianku dan kutuliskan semua keadaan hatiku disana. Tentang Yusuf suamiku, tentang alasanku melakukan puasa sunnah, dan tentang harapan-harapanku di masa depan.
Terkadang ayah dan ibu mertuaku bertanya padaku kenapa sering sekali melakukan puasa sunnah. Aku hanya menjawab,
"Ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak melakukan ibadah-ibadah sunnah"
Biasanya ayah dan ibu mertuaku hanya mengangguk-angguk pelan.
Aku juga sering mandi sebelum subuh. Hal itu aku lakukan agar mereka tak menaruh curiga padaku. Mereka pasti akan berpikir kalau aku mandi sebelum subuh, itu artinya semalam aku dan Yusuf baru memadu kasih. Aku hanya ingin mereka berpikiran yang baik-baik terhadap aku dan Yusuf. Itulah hal-hal yang sering aku lakukan ketika aku masih tinggal dirumah mereka.
Tapi kini, hal itu tak perlu lagi aku lakukan. Beberapa hari yang lalu aku dan Yusuf memutuskan untuk mengontrak rumah di darerah Lenteng Agung. Tak besar memang, tapi aku rasa inilah yang terbaik yang harus kami lakukan.
Tempat tidur, lemari pakaian, komputer, bufet, televisi, kursi, dan meja, semuanya telah tertata dengan rapi dirumah kontrakan baruku. Mama, Papa, Ayah, dan Ibu mertuaku turut membantuku merapikan rumah. Mereka benar-benar mengira kalau kehidupanku dan Yusuf amatlah bahagia, sampai-sampai kami memilih untuk mengontrak rumah karena ingin belajar hidup mandiri. Aku hanya bisa meminta do'a restu mereka agar aku dan Yusuf memang benar-benar Bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dirumah ini.
* * *
Malam ini Yusuf tengah bergelut dengan laptopnya. Aku sendiri tak tahu apa yang sedari tadi dikerjakannya. Selepas Maghrib tadi dia sudah mulai duduk di depan laptop sambil mengetik beberapa tulisan yang ada dihadapannya. Beberapa lembar kertas berserakan di meja dan itu membuatnya tampak sangat sibuk. Sepertinya tak ada jeda untuk dia melakukan aktivitas lain. Dia menjeda kegiatannya tatkala azan Isya berkumandang dari masjid dekat rumah baru kami. Masjid Al Mustofa namanya. Kali ini dia memilih untuk shalat Isya dirumah ketimbang di masjid. Alasannya kalau di masjid, selesai shalat tidak Bisa langsung pulang karena bapak-bapak disana sering mengajaknya berbincang-bincang terlebih dahulu. Kalau itu sampai terjadi, maka malam ini dia harus ekstra lembur karena banyak sekali ketikan yang yang harus diselesaikan.
Selesai shalat Isya, dia kembali lagi bergelut dengan laptopnya di ruang tamu. Aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya padanya sambil membawakan segelas wedang jahe untuknya agar tidak masuk angin, karena malam ini ia harus lembur.
"Ngetik apa sih Mas, dari tadi? Sepertinya kelihatan sibuk sekali?" Tanyaku sambil memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. Ya, memang semenjak aku menikah dengannya, aku memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. Diapun tidak keberatan aku memanggilnya seperti itu.
Mendengar pertanyaanku tadi, dia sepertinya agak kesal. Wajahnya tak tampak seguratpun senyuman. Mungkin karena dia yang sudah sibuk, ditambah lagi dengan pertanyaanku yang sebenarnya tidak Bisa membantunya. Mungkin. Itu hanya sebuah kemungkinan saja dariku. Dia menjawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
"Ngetik soal buat UTS11 besok" Jawabnya singkat.
"Memang sebanyak itu?" Tanyaku lagi.
Dia hanya mengangguk. Aku terdiam sesaat lalu beranjak pergi dari hadapannya.
"Jangan tidur terlalu malam ya? Khawatir besoknya kurang fit malah tidak Bisa ngajar. Wedang jahenya jangan lupa diminum, biar kamu tidak masuk angin. Aku tidur duluan ya?" Ucapku sebelum beranjak pergi ke kamar.
Lagi-lagi dia hanya mengangguk lirih. Aku jadi merasa kasihan padanya. Ketika aku hendak membuka pintu kamar, dia bersuara.
"Terima kasih ya? Dinda" Ucapnya sambil memandang kearahku. Spontan akupun menoleh padanya dan memberikannya senyuman. Diapun tersenyum kecil dan kembali lagi mengetik. Aku masuk ke dalam kamar dengan perasaan bahagia. Entah mengapa mendengar dia memanggil namaku seolah mendadak berubah menjadi panggilan sayang untukku. Dinda. Ya, nama itu seolah menjelma menjadi panggilan, 'Dindaku sayang'.
Ah, andai saja itu benar-benar terjadi, pasti saat ini aku tengah berbahagia dengan kehidupan baruku. Tapi paling tidak, mendengar dia memanggil namaku saja aku sudah sangat senang. Malam ini, aku Bisa tidur nyenyak.
"Terima kasih ya? Dinda" Suaranya terus menggema di telingaku, sampai aku memejamkan mata.
* * *
Nantikan kelanjutannya sesaat lagi di (BAG. 6 )
Karya : Nurlaila Zahara
Tiga hari kami berada di hotel. Tak banyak waktu yang kami gunakan untuk melakukan segala aktivitas yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri yang sedang berbulan madu pada umumnya. Jalan-jalan bersama, melihat pemandangan suasana malam di beranda kamar hotel, atau sekedar sarapan bersama sambil bercerita hal-hal yang indah yang Bisa membangkitkan keromantisan dalam berumah tangga. Semua itu hanya impian belaka bagi kehidupanku yang sekarang. Selepas shalat Subuh, Yusuf pergi keluar dan baru akan kembali setelah waktu dhuha sudah hampir hilang. Sedangkan aku, kuhabiskan waktuku sendirian di dalam kamar sambil membaca buku atau tilawah qur'an sambil sedikit menghafalnya.
Tadi pagi Yusuf tak pergi kemana-mana. Dia bilang tugasnya disekolah sudah menumpuk. Dia tak ingin tidak masuk mengajar lebih lama lagi karena kasihan murid-muridnya. Ya, Yusuf memang seorang guru fisika di Sekolah Menengah Pertama Labschool di kawasan Kebayoran. Dari sekolahnya sebenarnya mengizinkan dia untuk libur sampai lima hari, tapi dengan alasan banyak kerjaan yang tertunda kalau dia libur sampai lima hari, akhirnya dia memutuskan untuk pulang hari ini. Akupun menerima keputusannya dan berusaha menerima alasannya juga.
Semua barang sudah dikemas dengan rapi. Tak banyak barang yang kami bawa sebab kami datang kesini langsung dari pesta walimatul ursy. Hari ini kami sepakat untuk pulang kerumah orang tua Yusuf yang terletak di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Setelah dirasa cukup, kamipun pulang meninggalkan hotel. Tak banyak yang kami perbincangkan selama dalam perjalanan pulang, bahkan seolah tak ada topik yang enak untuk dibahas bersama. Suasana didalam taksi benar-benar hening, sunyi, dan senyap. Sesekali supir taksi yang kuketahui bernama Pah Burhan, berseloroh mengenai cerita-cerita lucu. Aku dan Yusuf hanya tersenyum kecil lalu kembali diam. Kadang-kadang Yusuf menimpali dan menyahuti celotehan Pak Burhan itu. Aku jadi tak berselera.
Di sekitar kawasan Jalan MT. Haryono taksi yang kami tumpangi berhenti. Bukan karena mogok atau kehabisan bensin, tapi karena macet tengah menghadang kami. Cukup lama taksi terjebak oleh kemacetan itu. Ditengah hiruk pikuk kota Jakarta, tiba-tiba saja Pak Burhan mengeluarkan pertanyaan yang membuatku dan Yusuf saling bertatap muka.
"Oh iya, kalian ini suami istri kan?" Tanyanya sambil melihat kaca spion yang ada di atas kepalanya. Aku dan Yusuf mengangguk.
"Kenapa memang Pak?" Tanya Yusuf.
"Ah tidak. Saya takut saja kalau kalian ini bukan suami istri tapi kok keluar dari hotel. Ternyata kalian memang benar-benar suami istri. Syukurlah" Ucap Pak Burhan sambil sesekali membasuh peluh yang mengalir di pelipisnya. Suaranya menunjukkan sekali keciri khasannya bahwa dia ini orang Batak. "Kenapa Bapak bertanya seperti itu?" Tanyaku tiba-tiba.
"Tidak. Tidak kenapa-kenapa. Habis saya perhatikan dari tadi, kalian ini kok hanya diam-diaman saja tanpa berbicara sedikitpun. Kenapa rupanya kalau saya boleh tahu?" Tukas Pak Burhan.
Aku dan Yusuf terdiam. Aku mengalihkan pandanganku kearahnya dan diapun begitu. Lalu kami mengembalikan pandangan kami ke luar. Aku tak tahu jawaban apa yang harus aku berikan untuk pertanyaan Pak Burhan yang sebenarnya bisa aku jawab dengan jawaban, "Kami seperti ini karena suami saya tidak mencintai saya Pak". Tapi aku hanya bergumam dalam hati. Pak Burhan kembali bertanya.
"Waduh!! kalian ini kenapa malah diam lagi? Kalau memang saya tidak boleh tahu, ya tidak apa-apa. Tapi kalau saya boleh saran, janganlah suami istri itu saling diam dan acuh tak acuh. Tidak baik itu. Kalian itu dipertemukan oleh Allah dan sepatutnyalah kalian bersyukur akan hal itu. Kalau memang kalin punya masalah, maka selesaikanlah secara baik-baik. Dibicarakan apa permasalahannya lalu carilah jalan keluarnya secara bersama-sama. Dan semua itu butuh komunikasi yang kuat. Tidak diam-diaman seperti ini. Macam mana pula kalian ini. Saya ini hidup berkeluarga itu sudah hampir 36 tahun, tapi keadaan rumah tangga saya dan istri baik-baik saja, karena kami selalu membicarakan apapun yang menurut kami mengganjal dihati. Seperti itulah kalian berdua." Jelas Pak Burhan panjang lebar.
Aku yang mendengarnya benar-benar tersentuh. Memang benar apa yang di katakan Pak Burhan. Segala sesuatunya itu memang harus dibicarakan agar tidak ada kesalah pahaman. Tapi apa yang mau dibicarakan kalau semuanya sudah jelas kalau keadaan seperti ini disebabkan oleh ketidak mampuan suamiku untuk mencintaiku. Aku perhatikan Yusuf hanya terdiam. Mungkin diapun tengah memikirkan perkataan Pak Burhan barusan.
"Kalau saya boleh tahu lagi, sudah berapa lama kalian ini menikah?" Tanya Pak Burhan lagi mengejutkanku. Kuarahkan pandanganku padanya. Kali ini Yusuf menjawab,
"Baru tiga hari Pak"
"Wah! Wah! Wah! Baru tiga hari rupanya. Pengantin barulah kailan. Kuucapkan selamat ya? Berarti, ke hotel kemarin itu untuk bulan madu ya? Wah! Bergembiralah kalian. Berapa ronde sudah kalian mainkan?" Tanya Pak Burhan membuatku bingung.
"Berapa ronde apanya Pak?" Yusuf balik bertanya.
"Ah! Masa kalian tidak mengerti. Itu, ronde kalian bermain cinta. Masa tidak mengerti. Kaulah anak muda. Pura-pura saja kau tidak mengerti. Tapi maklumlah aku, namanya juga pengantin baru. Jadi masih perlu banyak belajar" Tukas Pak Burhan santai. Aku dan Yusuf saling berpandangan sesaat lalu kembali terdiam.
Taksi sudah mulai berjalan. Kamipun terlepas dari jebakan macet. Yusuf lebih memilih diam tanpa mau menjawab pertanyaan Pak Burhan tadi. Aku sendiri memikirkan perkataan Pak Burhan. "Namanya juga pengantin baru, jadi masih perlu banyak belajar"
Ya, aku dan Yusuf memang masih harus banyak belajar. Belajar untuk lebih sabar dalam menghadapi kenyataan hidup, belajar untuk lebih bisa menerima keadaan kami satu sama lain, belajar untuk bisa lebih bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah, dan belajar untuk lebih bisa menghargai dalam mencintai. Belajar, belajar, dan belajar. Itulah yang sekarang sedang aku dan Yusuf usahakan dalam mengisi hidup ini.
* * *
Sesampainya dirumah, aku dan Yusuf langsung disambut hangat oleh orang tua Yusuf yang kini telah menjadi mertuaku, dan juga orang tuaku yang kini telah menjadi mertua Yusuf. Mereka begitu bergembira melihat kedatangan kami. Aku peluki Mama dan Papa dengan penuh kerinduan. Entah mengapa, aku benar-benar merindukan mereka. Tak lupa aku memeluk Bu Rahayu yang tak lain adalah ibu mertuaku dan mencium tangan Pak Sardi yang tak lain adalah ayah mertuaku. Hari itu kami habiskan dengan memperbincangkan hal-hal kecil seputar pernikahan dan bulan madu kami selama tiga hari di hotel.
Setelah cukup lama di rumah mertuaku, Mama dan Papa memutuskan untuk pulang. Mulai hari ini, aku telah resmi menjadi bagian dari keluarga Pak Sardi dan Bu Rahayu. Sebelum mereka pulang, aku memeluk mereka dengan erat sambil menangis di pelukannya. Sungguh, aku tak bisa menahan tangis haruku ketika mereka memutuskan untuk melepasku dan menyerahkanku pada Yusuf dan keluarganya. Mereka hanya menenangkanku dengan ucapan-ucapan yang tidak bisa aku terima dalam hati.
"Sudahlah Din. Kamu ini sudah berkeluarga. Ikutlah apa yang suamimu bilang. Jangan sampai mengecewakannya ya? Mama dan Papa akan sering-sering menghubungimu. Kami yakin kamu akan bahagia hidup bersama mereka. Ya?"
Itulah perkataan yang diucapkan Mama sebelum dia pulang bersama Papa. Aku memandangi mereka dari kejauhan. Semakin lama mereka hilang dari pandanganku. Jauh, jauh, dan akhirnya hanya tinggal bayangan mereka saja yang selalu aku ingat dalam pikiranku.
Aku, Yusuf, dan orang tuanya masuk kembali ke dalam rumah. Hari sudah semakin malam. Ayah mertuaku memutuskan untuk segera tidur. Aku dan Bu Rahayu membereskan gelas-gelas dan piring kotor untuk dicuci di dapur. Yusuf masih tenang di depan televisi sambil menonton siaran berita malam. Tak pernah ada senyum yang mengembang di wajahnya.
Aku membantu ibu mertuaku mencuci piring. Kami banyak berbincang tentang pengalaman beliau selama berumah tangga dengan Pak Sardi. Dari perbincangan itu aku banyak menemukan pelajaran-pelajaran baru dalam berumah tangga. Bagaimana caranya membuat suami bahagia, apa yang harus dilakukan seorang istri jika suaminya marah, dan masih banyak lagi yang ibu mertuaku beri tahukan padaku soal kehidupan suami istri. Termasuk hal-hal intim yang menurut sebagian orang tabu untuk dibicarakan.
Aku melihat sosok Bu Rahayu begitu terbuka. Begitu ramah dan baik dalam bersikap. Kelembutannya sebagai seorang ibu tidak mengalahkan sikap ketegasannya dalam bertindak. Apa yang menurutnya benar, ya maka dibenarkannya. Tapi jika menurutnya salah, maka diapun tak segan-segan memberikan peringatan pada siapapun dengan tegas dan baik tapi tidak terkesan menghakimi.
Hal itu aku ketahui ketika dia bercerita tentang Yusuf yang ketika kecil sering membuat onar dengan teman bermainnya. Suatu ketika, orang tua temannya itu pernah mengadu pada Bu Rahayu kalau Yusuf telah memukul anaknya itu sampai berdarah. Sebagai ibu yang adil dan bijaksana, Bu Rahayu memberikan hukuman yang setimpal pada Yusuf. Dia akhirnya jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Diam-diam aku salut pada ibu mertuaku. Dia sosok yang sekarang ini menjadi pengganti Mama di kehidupan baruku. Dia pula yang secara tidak langsung dapat menguatkanku dalam menghadapi masalahku dengan Yusuf.
Tak terasa waktu sudah beranjak malam mendekati dini hari. Aku dan ibu mertuaku memutuskan untuk segera tidur. Di ruang tamu tidak lagi aku dapati Yusuf disana. Mungkin sudah masuk kamar. Semua lampu sudah dimatikan. Sebelum masuk kekamarnya, Bu Rahayu memberikan senyumannya padaku. Aku membalasnya. Aku masih berdiri di depan kamar Yusuf yang kini juga menjadi kamarku. Kutarik nafasku dalam-dalam dan kupejamkan mataku. Perlahan kusentuh gagang pintu kamarku dan mulai kubuka. Tiba-tiba saja dari dalam, Yusuf membukanya dan mendapatiku tengah terkejut menatap wajahnya.
"Kenapa berdiri saja disitu? Ayo masuk!" Perintahnya padaku. Aku hanya mengangguk dan mengikutinya masuk ke kamar. Dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya yang empuk. Lampu yang ada disebelahnya sudah dimatikan. Cahaya yang ada tinggal dari lampu yang ada disebelah tempat aku tidur. Aku belum mau mematikannya. Aku membuka jilbabku dan aku duduk di depan cermin. Kusisiri rambutku perlahan sambil memandangi Yusuf dari balik cermin. Tubuhnya membelakangiku.
Setelah selesai menyisir, aku melangkah ketempat tidur dan bersiap untuk tidur. Posisiku sama seperti posisi dia membelakangiku. Kumatikan lampu yang ada disebelahku dan kupejamkan mataku. Suasana malam ini begitu dingin. Selimut yang menutupi tubuhku dan Yusuf seolah tak bisa memberikan rasa hangat yang lebih pada hatiku yang semakin membeku. Dalam pejam malamku, aku berdo'a,
"Ya Allah, kuatkanlah aku untuk bisa menghadapi semua kenyataan ini. Amin"
Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari, dan minggu berganti minggu. Tak terasa sudah lima bulan lamanya aku hidup sebagai seorang istri. Menjalani hidup ini dengan seorang suami yang sampai sekarang belum bisa 10 puasa
menerimaku sebagai istrinya. Sampai sekarang pula tak pernah sedikitpun aku lihat sebuah kilatan cinta dimatanya untukku. Tak pernah ada tatapan mesra penuh kehangatan yang dia berikan padaku ketika dia pulang dari kerjanya ataupun ketika aku pulang dari kewajibanku bekerja di sebuah perusahaan majalah Islam. Karena hal ini juga, novel ketigaku yang harusnya sudah rampung beberapa bulan yang lalu, kini harus rela tertunda karena masalah hatiku.
Suasana di rumah dan di kantor sangat berbeda sekali. Di rumah tak bisa aku temukan kemesraan seikitpun dari suamiku, Yusuf. Tetapi dikantor, aku justru menemui Arini dan Fauzi yang kian hari kulihat kian mesra. Tak jarang aku mendengar cerita Arini tentang Fauzi, suaminya, yang menurutnya sangat lembut dan mesra sekali pada dirinya. Aku semakin iri dibuatnya. Andai saja Arini tahu apa yang aku alami selama hidup berumah tangga, aku yakin Arinipun akan menangis dibuatnya. Dia adalah tipe perempuan yang mudah sekali menangis bila melihat atau mendengar kabar atau berita yang menyedihkan. Saat ini dia tengah mengandung dua bulan, hasil buah cintanya dengan Fauzi. Aku hanya bisa tersenyum kecil kala mendengar ceritanya tentang pengalamannya selama dia mengandung. Tak jarang aku dibuatnya kebingungan tatkala dia menanyaiku kapan aku mau menyusulnya. Aku kembali tersenyum dan hanya menjawab,
"Do'akan saja ya Rin? Mudah-mudahan Allah berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku dan suami"
"Amin", Sahut Arini mengamini.
Mengingat hal itu, aku jadi teringat akan bulan maduku bersama Yusuf di hotel Maharani lima bulan yang lalu. Aku ingat betul, sejak kejadian itu sampai sekarang, kami baru melakukannya lima kali. Ya, bisa diperhitungkan dalam sebulan itu hanya sekali kami melakukannya. Maka tak jarang, sebelum subuh aku terbangun untuk makan sahur agar keesokannya aku kuat melakukan shaum10. Hal itu sengaja aku lakukan untuk menahan keinginan biologisku yang tak tersalurkan.
Terkadang pula sebelum aku makan sahur, aku terlebih dulu melaksanakan shalat tahajud dan sedikit bermunajat pada Sang Maha Pencipta. Meminta kekuatan untuk bisa menjalani hidup ini, meminta kesabaran agar aku bisa lebih tabah menerima keadaan suamiku, dan tak lupa, meminta kepada Sang Maha Pemberi nikmat agar berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku. Bidadari kecil yang sudah lama aku nantikan. Bidadari mungil yang sebenarnya sudah aku impikan sebelum aku menikah. Bidadari cantik yang sesungguhnya menjadi harapanku ketika kelak aku hidup bersama seorang suami. Bidadari yang mungkin kini akan lama hadir dalam kehidupanku.
Ditengah munajatku kepadaNya, tak jarang air mataku jatuh membasahi putihnya warna mukena yang kukenakan. Selesai bermunajat, aku tutup tahajudku dengan shalat witir 3 rakaat lalu kemudian aku makan sahur. Seadanya saja. Biasanya setelah sahur, aku mengambil buku harianku dan kutuliskan semua keadaan hatiku disana. Tentang Yusuf suamiku, tentang alasanku melakukan puasa sunnah, dan tentang harapan-harapanku di masa depan.
Terkadang ayah dan ibu mertuaku bertanya padaku kenapa sering sekali melakukan puasa sunnah. Aku hanya menjawab,
"Ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak melakukan ibadah-ibadah sunnah"
Biasanya ayah dan ibu mertuaku hanya mengangguk-angguk pelan.
Aku juga sering mandi sebelum subuh. Hal itu aku lakukan agar mereka tak menaruh curiga padaku. Mereka pasti akan berpikir kalau aku mandi sebelum subuh, itu artinya semalam aku dan Yusuf baru memadu kasih. Aku hanya ingin mereka berpikiran yang baik-baik terhadap aku dan Yusuf. Itulah hal-hal yang sering aku lakukan ketika aku masih tinggal dirumah mereka.
Tapi kini, hal itu tak perlu lagi aku lakukan. Beberapa hari yang lalu aku dan Yusuf memutuskan untuk mengontrak rumah di darerah Lenteng Agung. Tak besar memang, tapi aku rasa inilah yang terbaik yang harus kami lakukan.
Tempat tidur, lemari pakaian, komputer, bufet, televisi, kursi, dan meja, semuanya telah tertata dengan rapi dirumah kontrakan baruku. Mama, Papa, Ayah, dan Ibu mertuaku turut membantuku merapikan rumah. Mereka benar-benar mengira kalau kehidupanku dan Yusuf amatlah bahagia, sampai-sampai kami memilih untuk mengontrak rumah karena ingin belajar hidup mandiri. Aku hanya bisa meminta do'a restu mereka agar aku dan Yusuf memang benar-benar Bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dirumah ini.
* * *
Malam ini Yusuf tengah bergelut dengan laptopnya. Aku sendiri tak tahu apa yang sedari tadi dikerjakannya. Selepas Maghrib tadi dia sudah mulai duduk di depan laptop sambil mengetik beberapa tulisan yang ada dihadapannya. Beberapa lembar kertas berserakan di meja dan itu membuatnya tampak sangat sibuk. Sepertinya tak ada jeda untuk dia melakukan aktivitas lain. Dia menjeda kegiatannya tatkala azan Isya berkumandang dari masjid dekat rumah baru kami. Masjid Al Mustofa namanya. Kali ini dia memilih untuk shalat Isya dirumah ketimbang di masjid. Alasannya kalau di masjid, selesai shalat tidak Bisa langsung pulang karena bapak-bapak disana sering mengajaknya berbincang-bincang terlebih dahulu. Kalau itu sampai terjadi, maka malam ini dia harus ekstra lembur karena banyak sekali ketikan yang yang harus diselesaikan.
Selesai shalat Isya, dia kembali lagi bergelut dengan laptopnya di ruang tamu. Aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya padanya sambil membawakan segelas wedang jahe untuknya agar tidak masuk angin, karena malam ini ia harus lembur.
"Ngetik apa sih Mas, dari tadi? Sepertinya kelihatan sibuk sekali?" Tanyaku sambil memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. Ya, memang semenjak aku menikah dengannya, aku memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. Diapun tidak keberatan aku memanggilnya seperti itu.
Mendengar pertanyaanku tadi, dia sepertinya agak kesal. Wajahnya tak tampak seguratpun senyuman. Mungkin karena dia yang sudah sibuk, ditambah lagi dengan pertanyaanku yang sebenarnya tidak Bisa membantunya. Mungkin. Itu hanya sebuah kemungkinan saja dariku. Dia menjawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
"Ngetik soal buat UTS11 besok" Jawabnya singkat.
"Memang sebanyak itu?" Tanyaku lagi.
Dia hanya mengangguk. Aku terdiam sesaat lalu beranjak pergi dari hadapannya.
"Jangan tidur terlalu malam ya? Khawatir besoknya kurang fit malah tidak Bisa ngajar. Wedang jahenya jangan lupa diminum, biar kamu tidak masuk angin. Aku tidur duluan ya?" Ucapku sebelum beranjak pergi ke kamar.
Lagi-lagi dia hanya mengangguk lirih. Aku jadi merasa kasihan padanya. Ketika aku hendak membuka pintu kamar, dia bersuara.
"Terima kasih ya? Dinda" Ucapnya sambil memandang kearahku. Spontan akupun menoleh padanya dan memberikannya senyuman. Diapun tersenyum kecil dan kembali lagi mengetik. Aku masuk ke dalam kamar dengan perasaan bahagia. Entah mengapa mendengar dia memanggil namaku seolah mendadak berubah menjadi panggilan sayang untukku. Dinda. Ya, nama itu seolah menjelma menjadi panggilan, 'Dindaku sayang'.
Ah, andai saja itu benar-benar terjadi, pasti saat ini aku tengah berbahagia dengan kehidupan baruku. Tapi paling tidak, mendengar dia memanggil namaku saja aku sudah sangat senang. Malam ini, aku Bisa tidur nyenyak.
"Terima kasih ya? Dinda" Suaranya terus menggema di telingaku, sampai aku memejamkan mata.
* * *
Nantikan kelanjutannya sesaat lagi di (BAG. 6 )
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Kasih Jempolnya..