Menyenangkan ketika kita melihat
orang yang dibantu tersenyum bahagia dan mengucapkan terima kasih. Akhirnya
yang memberi bantuan pun ikut tersenyum dan secara lahir juga terlihat ikhlas.
Nah, bagaimana kalau si peminta bantuan ini esoknya meminta bantuan lagi
padanya, kemudian esoknya lagi, dan esoknya lagi…
Kita mungkin sering melihat
teman, saudara atau tetangga kita meminta bantuan kepada orang lain, atau
bahkan ke diri kita sendiri. Seperti ada yang kurang ketika bantuan itu tidak
kunjung datang atau tidak ada yang memenuhi. Akhirnya kita yang tidak dimintai
bantuan sedikit-sedikit mencoba membantu. Apalagi jika ingat sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barang siapa menghilangkan satu
kesulitan dari orang muslim maka Allah mebalasnya dengan menghilangkan
daripadanya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan yang ada pada hari kiamat”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Namun, bagaimanakah jadinya bila
orang tersebut terus menerus meminta bantuan kepada kita, atau kepada
orang-orang sekitarnya. Alhasil, setiap ia memanggil seseorang, sudah dapat
diperkirakan ia akan merepotkan orang tersebut kalau tidak bisa dibilang
menyusahkan.
Seorang muslim yang beriman
disyari’atkan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan mencegah dari
kemungkaran. Namun, tidak berarti setiap saat kita boleh terus menerus meminta
bantuan kepada orang lain. Karena di samping diperintahkan untuk saling tolong
menolong, kita juga diperintahkan untuk menjadi muslim yang kuat. Kita dapat
melihat contoh salah satu sahabat dari kalangan muhajirin yaitu Abdurrahman bin
‘Auf radhiallahu ‘anhu. Ketika baru saja hijrah ke Madinah, ia tidak membawa
harta kekayaannya yang ada di Mekah. Ia yang dipersaudarakan oleh Rasulullah
dengan Sa’ad bin Ar Rabi’ Al-Anshari radhiallahu ‘anhu ditawari begitu banyak
kenikmatan berupa istri, harta dan kebun. Tetapi ia menolak semua itu dan
memilih untuk berusaha sendiri dan mengembangkan usahanya sendiri lewat jual
beli di pasar. Allah Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang. Sepulang dari pasar itu,
ia sudah dapat membawa pulang sebiji emas.
Yang perlu diingat lagi adalah,
ketika kita mendapat kebaikan dari orang lain (dan mendapat bantuan itu sama
saja dengan mendapat kebaikan dari orang lain), maka kita juga diperintahkan
untuk membalas kebaikan tersebut dengan kebaikan yang serupa atau yang lebih
baik lagi. Kalaupun tidak dapat membalasnya, maka kita dapat mendoakan kebaikan
untuk orang tersebut. Ada dua syarat utama dalam Islam ketika kita meminta
tolong kepada makhluk (manusia).
1.Yang dimintai bantuan memiliki
kemampuan. Kemampuan di sini adalah kemampuan untuk memenuhi permintaan
tersebut. Karena sesungguhnya manusia adalah makhluk yang sangat lemah dan
memiliki banyak kekurangan. Hanya Allah-lah yang Maha Kuasa untuk mengabulkan
semua permintaan hamba-Nya.
2.Hadir atau berstatus hadir.
Maksudnya di sini adalah orang tersebut ada di hadapan kita sehingga dapat
melaksanakannya, atau bisa juga ketika kita menggunakan sarana komunikasi yang
mengatasi masalah jarak. Nah, lain lagi kalau kita meminta tolong kepada yang
sudah meninggal. Misalnya dengan mengatakan, “Mbah, atau Bu, saya mau ujian
nasional besok, doain saya ya Bu, Mbah”. Padahal keduanya telah meninggal atau
berada di tempat jauh, sementara tidak ada komunikasi langsung dengan mereka.
Dengan kalimat ini, kita sudah melakukan dosa yang sangat besar, yang dapat
mengeluarkan kita dari Islam. karena dosa itu statusnya berbuat kesyirikan
kepada Allah Azza wa Jalla.
Di samping syarat utama tadi, ada
beberapa hal yang perlu diingat dan diperhatikan ketika kita meminta bantuan
kepada orang lain untuk menjaga hubungan baik kita dengan saudara muslim
lainnya.
Waktu.
Apakah kita akan menyita banyak
waktunya atau tidak. Kalau ya, akan lebih baik kita berusaha sendiri, atau
kalau perlu membalas dengan kebaikan yang lebih besar lagi. Karena waktu
merupakan harta yang tidak dapat dikembalikan kepada seseorang. Dan setiap
orang diperintahkan untuk memanfaatkan waktu yang dimilikinya dengan
sebaik-baiknya.
Kondisi
Bagaimana keadaan orang yang
dimintai bantuan. Apakah lebih sibuk dari kita. Kalau seperti ini keadaannya, maka kita perlu mencari orang lain atau lebih
baik lagi berusaha sendiri. Apalagi jika ternyata orang tersebut sedang sakit
atau terkena musibah. Maka menjadi giliran kita untuk memberi bantuan padanya.
Kontinuitas
Meminta
bantuan sekali-kali memang masih membuat orang yang dimintai bantuan tersenyum
atau melakukannya dengan senang hati. Akan tetapi kalau berlangsung terus
menerus, setiap hari, atau bahkan menjadi rutinitas si pemberi bantuan, ini
mesti dihindari. Hal ini bisa menyebabkan sesuatu yang menjadi ladang kebaikan
bagi si pemberi bantuan, malah menjadi sebuah kedzoliman untuknya. Sudah
dimintai bantuan, didzolimi pula. Duh, siapa yang senang kalau keadaannya
seperti ini. Padahal seorang muslim dilarang untuk mendzolimi saudaranya.
Empati
Inilah yang
perlu diperbesar dan dilatih dari diri kita. Ketika kita memperbesar rasa
empati kita, maka kita dapat memperkirakan, bagaimana jika kita dalam posisi
yang dimintai bantuan. Kalau kemudian kamu membela diri, “Ah, kalau aku
diminta, kalau aku bisa ya aku lakuin kok!”. Nah, kalimat seperti ini
sebenarnya telah menunjukkan rasa empati yang kurang. Masalahnya, kalau kita yang terus meminta tolong, bagaimana kita bisa
berempati.
“Tolong menolong” merupakan kata
yang menunjukkan adanya dua orang yang melakukan pekerjaan “saling” menolong.
Jangan menjadikan ayat atau hadits tentang berbuat kebaikan sebagai pembenaran
bagi kita untuk terus menerus membuat beban bagi orang lain dengan mengatakan,
“Kamu kan jadi tambah pahala!”. Bagaimana jadinya kalau tidak ada yang ingin
dekat-dekat dengan kita karena takut akan terus menerus dimintai tolong. Kalau
sudah begitu, siapa juga yang rugi.
Wallahu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Kasih Jempolnya..